Muktamar Internasional Fikih Peradaban NU Akan Dihadiri 60 Ulama Dunia
loading...
A
A
A
"Kita hendak memulai satu perbincangan satu wacana yang serius di kalangan para ulama ahli fikih tentang bagaimana sebetulnya wawasan peradaban itu dikaitkan dengan nilai syariah yang valid," ujarnya.
Gus Yahya menegaskan Muktamar Fikih Peradaban bukan agenda kecil, tapi raksasa. Sebab, hal tersebut melewati pergulatan yang tidak ringan. Ia memberanikan diri untuk melaksanakannya sebagai proses keilmuan yang valid untuk kebaikan di masa depan.
Sementara itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menjelaskan urgensi pembahasan dalam Muktamar Fikih Peradaban. Salah satunya karena umat Islam sedang menghadapi realitas baru.
Munculnya institusi negara bangsa di era modern, kata dia, mengubah konstelasi banyak hal pada kehidupan di muka bumi ini. Di antaranya ada konsep kewarganegaraan serta konsep mengenai hukum yang terdikotomi menjadi dua, yakni hukum negara dan hukum agama. Kemudian ada pula konsep mengenai minoritas.
Di samping itu, kemunculan negara bangsa di era modern juga disertai dengan munculnya lembaga multilateral yang mengatur hubungan antarbangsa, yaitu PBB. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan institusi yang secara de facto menjaga ketertiban dunia meskipun tentu saja tidak sempurna dalam bekerja untuk perdamaian dunia.
PBB adalah institusi yang tidak pernah ada di dalam sejarah pengalaman umat Islam. Di PBB, ada suatu dokumen yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia di muka bumi, yaitu Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Universal.
"Nah, kalau kita menganggap PBB ini adalah institusi yang valid secara keagamaan atau fikih, artinya kita harus mengikuti kesepakatan yang disepakati oleh negara-negara modern, berupa konvensi-konvensi yang diputuskan oleh PBB," kata Gus Ulil.
Apabila ulama dan negara-negara muslim di dunia sepakat bergabung dengan PBB, maka seluruh dokumen yang dihasilkan harus mengikat seluruh umat Islam sedunia.
Lihat Juga: Ulama Sepuh dan Ribuan Warga 21 Kecamatan Lombok Timur Kukuhkan Dukungan untuk Rohmi-Firin
Gus Yahya menegaskan Muktamar Fikih Peradaban bukan agenda kecil, tapi raksasa. Sebab, hal tersebut melewati pergulatan yang tidak ringan. Ia memberanikan diri untuk melaksanakannya sebagai proses keilmuan yang valid untuk kebaikan di masa depan.
Sementara itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menjelaskan urgensi pembahasan dalam Muktamar Fikih Peradaban. Salah satunya karena umat Islam sedang menghadapi realitas baru.
Munculnya institusi negara bangsa di era modern, kata dia, mengubah konstelasi banyak hal pada kehidupan di muka bumi ini. Di antaranya ada konsep kewarganegaraan serta konsep mengenai hukum yang terdikotomi menjadi dua, yakni hukum negara dan hukum agama. Kemudian ada pula konsep mengenai minoritas.
Di samping itu, kemunculan negara bangsa di era modern juga disertai dengan munculnya lembaga multilateral yang mengatur hubungan antarbangsa, yaitu PBB. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan institusi yang secara de facto menjaga ketertiban dunia meskipun tentu saja tidak sempurna dalam bekerja untuk perdamaian dunia.
PBB adalah institusi yang tidak pernah ada di dalam sejarah pengalaman umat Islam. Di PBB, ada suatu dokumen yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia di muka bumi, yaitu Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Universal.
"Nah, kalau kita menganggap PBB ini adalah institusi yang valid secara keagamaan atau fikih, artinya kita harus mengikuti kesepakatan yang disepakati oleh negara-negara modern, berupa konvensi-konvensi yang diputuskan oleh PBB," kata Gus Ulil.
Apabila ulama dan negara-negara muslim di dunia sepakat bergabung dengan PBB, maka seluruh dokumen yang dihasilkan harus mengikat seluruh umat Islam sedunia.
Lihat Juga: Ulama Sepuh dan Ribuan Warga 21 Kecamatan Lombok Timur Kukuhkan Dukungan untuk Rohmi-Firin
(abd)