Cerita Danjen Kopassus 3 Hari Tak Makan saat Mendaki Everest, Makan Muntah dan Alami Kejadian Aneh

Sabtu, 04 Februari 2023 - 06:40 WIB
loading...
Cerita Danjen Kopassus...
Danjen Kopassus Mayjen TNI Iwan Setiawan menceritakan pengalamannya mendaki Mount Everest. Foto/Tangkapan Layar
A A A
JAKARTA - Mendaki gunung tertinggi di dunia Mount Everest merupakan pengalaman yang tidak bisa dilupakan oleh Danjen Kopassus Mayjen TNI Iwan Setiawan. Bagaimana tidak, dalam ekspedisi tersebut pria kelahiran Bandung Jawa Barat, 16 Februari 1968 nyaris tewas membeku.

Bahkan, lulusan Akademi Militer (Akmil) 1992 ini bersama anggotanya sempat dikira telah mati saat pendakian. Namun keajaiban dan pesan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebelum mendaki gunung es tersebut membuat nyawanya selamat.

”Kita kemalaman di ketinggian 8.500, belum pernah ada orang hidup diketinggian 8.500 dengan cuaca minus 50 derajat celcius tanpa oksigen, tanpa sleeping bag, tanpa matras. Orang yang di base camp mengiranya kita sudah mati semua,” kenangnya di Podcast Deddy Corbuzier, dikutip SINDOnews Sabtu (4/2/2023).

Ekspedisi Mount Everest pada 1997 yang digagas Danjen Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto ketika itu berawal dari rencana Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad yang ingin menaklukan gunung tersebut.



Mendengar rencana tersebut, Prabowo kemudian langsung menyeleksi dan mencari prajurit-prajurit terbaik Kopassus untuk melakukan pendakian gunung tersebut.

”Waktu itu Pak Mahatir Muhammad sudah memproklamirkan bahwa Malaysia mau mengibarkan Asia pertama untuk pendakian Mount Everest. Pak Prabowo waktu itu Danjen Kopassus terpanggilah nasionalismenya. Jangan sampai bangsa yang besar kalah,” ucapnya.

Dalam seleksi tersebut Iwan Setiawan yang saat itu baru lulus Akmil dan masih berpangkat Letnan Satu (Lettu) dinyatakan lolos. Iwan Setiawan pun menjadi satu-satunya lulusan Akmil yang terpilih menjadi Duta Kopassus untuk pendakian Mount Everest guna mengharumkan nama bangsa di pentas dunia.


Meski Iwan menyadari, mendaki Mount Everest setinggi 8.884 meter dari permukaan laut sama dengan bertaruh nyawa. Namun, hal itu tidak menjadi penghalang, baginya tugas merupakan sebuah kehormatan yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. “Saat itu saya tidak tahu Mount Everest, cuaca seperti apa. Yang penting ini tugas,” ucapnya.

Cerita Danjen Kopassus 3 Hari Tak Makan saat Mendaki Everest, Makan Muntah dan Alami Kejadian Aneh


Mengemban tugas tersebut, Iwan kemudian berlatih di Mako Kopassus Cijantung, Gunung Gede Pangrango, Bogor, Jawa Barat selama tiga bulan. Waktu yang relatif singkat untuk mendaki gunung es yang berada di perbatasan Nepal dan Tibet.

“Mendaki Mount Everest butuh latihan selama 3 sampai 5 tahun, itu harus pernah mendaki gunung ketinggian 3.000, 4.000, beberapa gunung es, ketinggian 6.000, 7.000 terakhir 8.000 Mount Everest. sedangkan kita dari negara tropis, belum berpengalaman, dan belum pernah lihat es,” ucapnya.



Selama latihan tersebut, Iwan Setiawan bersama timnya tidur di atas gunung dan bangun pukul 04.00 WIB selanjutnya lari dari Gunung Gede ke Pangrango setiap hari. Namun dibandingkan dengan Mount Everest tidak ada apa-apanya.

”Memang ada saran dari pendaki sipil, latihan di Jaya Wijaya karena masih dingin. Tetapi Pak Prabowo tidak boleh karena waktu itu baru ada penyanderaan Mapenduma. Kita langsung latihan di sana saja di medan sebenarnya,” ujarnya.

Setelah berlatih tiga bulan di Indonesia, pada 18 Desember Iwan dan tim berangkat ke Nepal untuk berlatih lagi di dua gunung bersalju, yakni Gunung Paldor dan Gunung Island Peak.

”Kita di drop di suatu ketinggian, tapi baru berjalan saya muntah-muntah, saya tidak bisa lanjut karena hipoksia. Penyebabnya karena beda ketinggian dari Indonesia langsung ke Himalaya. Jadi saya tidak bisa, saya tumbang,” tuturnya.

Dalam kondisi tidak berdaya, salah seorang pelatih bernama Anatolo Boukreev yang mendampinginya memberikan dua opsi yakni, tinggal selama dua hari lalu menyusul kalau bisa atau pulang.

”Saya di situ merenung, sedih dan malu. Masa pulang, saya perwira satu-satunya Akmil yang diharapkan untuk memimpin Everest, masa saya gagal menjalankan tugas. Lebih baik mati daripada gagal dalam tugas,” ucap Iwan.

Dengan kegigihan dan tekadnya, selama lima hari Iwan berhasil menyusul timnya yang lebih dahulu mendaki. Setelah kejadian itu, mantan Danrindam Jaya ini mengaku tidak pernah lagi terserang penyakit. Iwan selanjutnya terpilih memimpin tim terkuat dari selatan Nepal bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin. Satu tim lagi dipimpin Letnan Sudarto dari Tibet.

Perjuangan Iwan bersama timnya kembali diuji, di camp 4 timnya kehabisan logistik. Kondisi ini membuat Iwan tidak bisa mengonsumsi makanan sementara puncak gunung masih belum dicapai. “Tiga hari itu saya tidak makan, hanya makan muntah saja. Tidak ada makanan kan sudah habis,” paparnya.

Meski begitu, Lettu Iwan Setiawan bersama Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin telah bertekad menancapkan Merah Putih di Puncak Everest meski nyawa sebagai taruhannya.

“Dari Camp 4 sampai puncak sampai jam 15.20 padahal aturannya jam 2 kalau tidak sampai, pasti pulangnya mati. Saya bertiga Asmujiono dan Misirin sudah berikrar lebih baik pulang nama dari pada gagal dalam tugas. Akhirnya 15.10 sampai di puncak, 10 menit foto-foto kita turun,” kenangnya.

Karena terlambat mencapai puncak, Iwan mengaku kemalaman di ketinggian 8.500 meter tanpa oksigen, sleeping bag, dan matras. Kondisi ini semakin diperparah dengan terputusnya hubungan dengan Kolat. Namun, keajiban dan peristiwa aneh dialami oleh ketiga pendaki dari Kopassus tersebut.

“Besoknya kita seperti ada yang membangunkan, cuaca cerah, semuanya putih, kita turun ke bawah semuanya kaget ternyata kita masih hidup,” kenangnya.

Mantan Danpusdikpassus ini mengingat pesan Danjen Kopassus Prabowo Subianto ketika akan mendaki untuk meluruskan niat jangan sekali-kali tebersit untuk menaklukan Mount Everest.

“Tugas kita ke sana adalah untuk menziarahi, menaklukan itu terkesan sombong dan angkuh karena itu alam yang punya Tuhan yang Maha Kuasa, banyak hal-hal mustahil yang di luar akal manusia normal terjadi. Kenapa bisa selamat, makanya bukan karena kita kuat, tapi Tuhan memberi kita kesempatan untuk kita menziarahi puncak tertinggi di dunia. Dari 24 negara hanya kita yang sampai duluan di 1997,” tutupnya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1418 seconds (0.1#10.140)