Kontestasi Aliran tentang Hukum Pidana Berkeadilan
loading...
A
A
A
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Perbincangan mengenai tujuan hukum tidak lekang oleh zaman. Sejak penjajahan kolonial Belanda sampai dengan saat ini, ahli hukum nasional sering bertanya atau mempertanyakan tentang keadilan sebagai tujuan hukum. Kondisi ini memperlihatkan adanya keraguan yang tergambar dalam berbagai diskusi hukum di Tanah Air.
Sebagian ahli berpegang pada Aristoteles dan pengikutnya yang diperkuat pandangan J Bentham sehingga menghasilkan keteguhan pendapat mengenai tujuan hukum adalah, kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Sampai saat ini, ketiga tujuan hukum itulah yang masih bersemayam dalam hati nurani pemikir-pemikir hukum termasuk praktisi hukum di Indonesia, seolah tidak ada lainnya.
Keadilan merupakan perasaan hukum berbeda dengan logika hukum yang selalu diutamakan khususnya oleh praktisi hukum pada umumnya. Perasaan hukum dalam konteks sistem peradilan hanya boleh dimiliki oleh hakim, penentu dan pemutus akhir dalam persidangan untuk memperhalus logika hukum hakim dalam memutus suatu perkara.
Sistem peradilan pidana Indonesia yang menganut Civil Law System, menempatkan hukum tertulis (Undang-Undang) sebagai alas hukum utama atau azas legalitas. Sampai saat ini sistem tersebut merupakan pengendali pemikiran hukum termasuk hakim sehingga berpikir dengan rasio legis akan selalu mengemuka padahal secara historis- sosiologis.
Selain itu, kultural masyarakat Indonesia jauh sangat berbeda dengam karakteristik dan budaya barat (western culture). Karakter masyarakat kita menganut paham ke-kitaan atau paguyuban dan komunalistik serta mereka yang berkarater petembayan dan individualistik.
Keadilan dalam pandangan hukum berbasis budaya barat telah dinyatakan secaragamblingoleh seorang tokoh hukum terkenal, John Stuart Mill, dalam bukunya ‘On Liberty’. Miil menyatakan,“the only purpose for power can rightfully be exercised over any member of a civilized community against his will is to prevent harm to others His own good either physical or moral is not a sufficient warrant. He cannot rightfully be compelled to do or forbear because it will be better for him to do so, because it will make him happier, because in the opinion of others, to do so would be wise or even right”.
Pernyataan Mill yang kemudian telah diakui merupakan fondasi ajaran hukum barat pada umumnya mencerminkan filosofi individualistik yang kemudian mempengaruhi filosofi pemidanaan penjeraan di mana pelaku tindak pidana dibuat tobat selama menjalani hukuman.
Padakerangka budaya timur atau Indonesia, dengan filosofi Pancasila jelas filosofi barat tidak lagi dapat diakomodasi di mana komunalitas dari tujuan pemidanaan merupakan keniscayaan, yang dikenal dengan pemasyarakatan telah ditetap sejak tahun 1960.
Tujuan filosofi pemidanaan, pemasyarakatan mengembalikan ke masyarakat sebagai warga binaan yang berguna bagi kapsitas lembaga pemasyarakatan (Lapas) di seluruh pidana modern dengan KUHP baru. Sistem penidanaan Indonesia dapat mengurangi overcrowdeddi Lapas untuk mencegah overkriminalisasi di dalam sistem peradilan pidana.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Perbincangan mengenai tujuan hukum tidak lekang oleh zaman. Sejak penjajahan kolonial Belanda sampai dengan saat ini, ahli hukum nasional sering bertanya atau mempertanyakan tentang keadilan sebagai tujuan hukum. Kondisi ini memperlihatkan adanya keraguan yang tergambar dalam berbagai diskusi hukum di Tanah Air.
Sebagian ahli berpegang pada Aristoteles dan pengikutnya yang diperkuat pandangan J Bentham sehingga menghasilkan keteguhan pendapat mengenai tujuan hukum adalah, kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Sampai saat ini, ketiga tujuan hukum itulah yang masih bersemayam dalam hati nurani pemikir-pemikir hukum termasuk praktisi hukum di Indonesia, seolah tidak ada lainnya.
Keadilan merupakan perasaan hukum berbeda dengan logika hukum yang selalu diutamakan khususnya oleh praktisi hukum pada umumnya. Perasaan hukum dalam konteks sistem peradilan hanya boleh dimiliki oleh hakim, penentu dan pemutus akhir dalam persidangan untuk memperhalus logika hukum hakim dalam memutus suatu perkara.
Sistem peradilan pidana Indonesia yang menganut Civil Law System, menempatkan hukum tertulis (Undang-Undang) sebagai alas hukum utama atau azas legalitas. Sampai saat ini sistem tersebut merupakan pengendali pemikiran hukum termasuk hakim sehingga berpikir dengan rasio legis akan selalu mengemuka padahal secara historis- sosiologis.
Selain itu, kultural masyarakat Indonesia jauh sangat berbeda dengam karakteristik dan budaya barat (western culture). Karakter masyarakat kita menganut paham ke-kitaan atau paguyuban dan komunalistik serta mereka yang berkarater petembayan dan individualistik.
Keadilan dalam pandangan hukum berbasis budaya barat telah dinyatakan secaragamblingoleh seorang tokoh hukum terkenal, John Stuart Mill, dalam bukunya ‘On Liberty’. Miil menyatakan,“the only purpose for power can rightfully be exercised over any member of a civilized community against his will is to prevent harm to others His own good either physical or moral is not a sufficient warrant. He cannot rightfully be compelled to do or forbear because it will be better for him to do so, because it will make him happier, because in the opinion of others, to do so would be wise or even right”.
Pernyataan Mill yang kemudian telah diakui merupakan fondasi ajaran hukum barat pada umumnya mencerminkan filosofi individualistik yang kemudian mempengaruhi filosofi pemidanaan penjeraan di mana pelaku tindak pidana dibuat tobat selama menjalani hukuman.
Padakerangka budaya timur atau Indonesia, dengan filosofi Pancasila jelas filosofi barat tidak lagi dapat diakomodasi di mana komunalitas dari tujuan pemidanaan merupakan keniscayaan, yang dikenal dengan pemasyarakatan telah ditetap sejak tahun 1960.
Tujuan filosofi pemidanaan, pemasyarakatan mengembalikan ke masyarakat sebagai warga binaan yang berguna bagi kapsitas lembaga pemasyarakatan (Lapas) di seluruh pidana modern dengan KUHP baru. Sistem penidanaan Indonesia dapat mengurangi overcrowdeddi Lapas untuk mencegah overkriminalisasi di dalam sistem peradilan pidana.
(ynt)