Utamakan Pejalan Kaki
loading...
A
A
A
Pejalan kaki sebenarnya sudah mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Salah satunya, dengan ditetapkannya tanggal 22 Januari sebagai Hari Pejalan Kaki Nasional .
Namun, dalam kenyataannya nasib para pejalan kaki masih ‘’kalah’’ bahkan tersisih dari dominasi kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Kesadaran masyarakat untuk menghargai hak para pejalan kaki harus terus digaungkan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan mereka.
Penetapan 22 Januari sebagai hari pejalan kaki nasional mengandung makna mendalam. Sebuah tragedi kecelakaan yang menewaskan sembilan orang pejalan kaki di dekat Kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat, pada 22 januari 2012 menjadi awal mula ditetapkannya tanggal tersebut sebagai hari pejalan kaki nasional.
Kala itu, sebuah mobil minibus yang dikendarai Afriyani Susanti dan beberapa temannya menabrak belasan orang yang sedang berjalan di trotoar. Tragis, sembilan orang meninggal akibat sang pengemudi yang ternyata mengendarai kendaraan tersebut dalam kondisi mabuk berat. Semalaman Afriyani dan teman-temannya itu diketahui berpesta narkoba.
Begitulah rapuhnya keamanan para pejalan kaki meski telah memiliki jalur sendiri yaitu trotoar. Kasus para pejalan kaki yang tertabrak kendaraan tentu tidak hanya terjadi pada kisah di atas. Ada banyak kejadian serupa meski tidak setragis tragedi di Tugu Tani tersebut. Berdasarkan data yang dilansir Koalisi Pejalan Kaki, pejalan kaki menempati urutan kedua yang menjadi korban kecelakaan di Indonesia, dengan jumlah korban meninggal rata-rata 14 orang setiap hari.
Sehingga, penghormatan para pejalan kaki memang harus selalu terus dihembuskan ke masyarakat. Karena masih banyak para pengendara baik kendaraan roda dua maupun roda empat yang kerap melanggar hak pejalan kaki.
Di kota-kota besar yang mecet seperti Jakarta sudah menjadi pemandangan yang jamak para bikers seringkali melintas di trotoar yang seharusnya menjadi tempat khusus para pejalan kaki. Mereka dengan seenaknya melewati trotoar meski ada banyak pejalan kaki yang lewat.
Karena jumlahnya banyak, para pejalan kaki seringkali harus mengalah demi keselamatan mereka. Sebagian masyarakat ada yang berani menghalau para bikers untuk kembali ke jalan raya.
Masih banyaknya para bikers yang nyelonong ke trotoar karena tidak ada kesadaran mereka untuk menghormati para pejalan kaki. Apalagi, selama ini tidak ada sanksi hukuman.
Belum lagi, banyak trotoar kita lihat dijadikan parkir liar sehingga akses pejalan kaki semakin sempit. Seharusnya pemerintah menertibkan praktik-praktir liar semacam itu sehingga tidak mengganggu kenyamanan para pejalan kaki.
Kurangnya kesadaran dan tidak adanya hukuman tersebut membuat para pengendara seenaknya melewati trotoar yang seharusnya menjadi hak para pejalan kaki. Di sejumlah jalanan di Jakarta, terpaksa harus memasang besi berjejer di sepanjang trotoar agar motor tidak bisa melewatinya.
Namun, jumlah troroar yang dipasang besi juga tidak banyak. Selama tidak ada sikap yang saling menghargai antar pengguna jalan, pejalan kaki sebagai pihak yang lemah akan terus terancam.
Bisa jadi Jakarta merupakan kota yang tergolong cukup ramah terhadap para pejalan kaki. Karena memang dalam lima tahun terakhir, Jakarta sangat massif membangun, memperluas dan memperbaiki trotoar untuk para pejalan kaki.
Seharusnya kota-kota lain meniru Jakarta untuk menghormati hak pejalan kaki. Tanpa dukungan regulasi dan infrastruktur dari pemerintah baik pusat maupun daerah, nasib para pejalan kaki akan terus terlunta-lunta. Bagaimana pun jumlah trotoar masih jauh dari memadai.
Kalau kita lihat di Jabodetabek saja, masih banyak jalan yang dibangun tanpa trotoar. Apalagi, di kota-kota lain di Indonesia. Fenomena ini sudah seharusnya menjadi perhatian serius para kepala daerah dan seluruh stakeholder sehingga jumlah pejalan kaki yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas bisa dikurangi bahkan dihilangkan.
Namun, dalam kenyataannya nasib para pejalan kaki masih ‘’kalah’’ bahkan tersisih dari dominasi kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Kesadaran masyarakat untuk menghargai hak para pejalan kaki harus terus digaungkan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan mereka.
Penetapan 22 Januari sebagai hari pejalan kaki nasional mengandung makna mendalam. Sebuah tragedi kecelakaan yang menewaskan sembilan orang pejalan kaki di dekat Kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat, pada 22 januari 2012 menjadi awal mula ditetapkannya tanggal tersebut sebagai hari pejalan kaki nasional.
Kala itu, sebuah mobil minibus yang dikendarai Afriyani Susanti dan beberapa temannya menabrak belasan orang yang sedang berjalan di trotoar. Tragis, sembilan orang meninggal akibat sang pengemudi yang ternyata mengendarai kendaraan tersebut dalam kondisi mabuk berat. Semalaman Afriyani dan teman-temannya itu diketahui berpesta narkoba.
Begitulah rapuhnya keamanan para pejalan kaki meski telah memiliki jalur sendiri yaitu trotoar. Kasus para pejalan kaki yang tertabrak kendaraan tentu tidak hanya terjadi pada kisah di atas. Ada banyak kejadian serupa meski tidak setragis tragedi di Tugu Tani tersebut. Berdasarkan data yang dilansir Koalisi Pejalan Kaki, pejalan kaki menempati urutan kedua yang menjadi korban kecelakaan di Indonesia, dengan jumlah korban meninggal rata-rata 14 orang setiap hari.
Sehingga, penghormatan para pejalan kaki memang harus selalu terus dihembuskan ke masyarakat. Karena masih banyak para pengendara baik kendaraan roda dua maupun roda empat yang kerap melanggar hak pejalan kaki.
Di kota-kota besar yang mecet seperti Jakarta sudah menjadi pemandangan yang jamak para bikers seringkali melintas di trotoar yang seharusnya menjadi tempat khusus para pejalan kaki. Mereka dengan seenaknya melewati trotoar meski ada banyak pejalan kaki yang lewat.
Karena jumlahnya banyak, para pejalan kaki seringkali harus mengalah demi keselamatan mereka. Sebagian masyarakat ada yang berani menghalau para bikers untuk kembali ke jalan raya.
Masih banyaknya para bikers yang nyelonong ke trotoar karena tidak ada kesadaran mereka untuk menghormati para pejalan kaki. Apalagi, selama ini tidak ada sanksi hukuman.
Belum lagi, banyak trotoar kita lihat dijadikan parkir liar sehingga akses pejalan kaki semakin sempit. Seharusnya pemerintah menertibkan praktik-praktir liar semacam itu sehingga tidak mengganggu kenyamanan para pejalan kaki.
Kurangnya kesadaran dan tidak adanya hukuman tersebut membuat para pengendara seenaknya melewati trotoar yang seharusnya menjadi hak para pejalan kaki. Di sejumlah jalanan di Jakarta, terpaksa harus memasang besi berjejer di sepanjang trotoar agar motor tidak bisa melewatinya.
Namun, jumlah troroar yang dipasang besi juga tidak banyak. Selama tidak ada sikap yang saling menghargai antar pengguna jalan, pejalan kaki sebagai pihak yang lemah akan terus terancam.
Bisa jadi Jakarta merupakan kota yang tergolong cukup ramah terhadap para pejalan kaki. Karena memang dalam lima tahun terakhir, Jakarta sangat massif membangun, memperluas dan memperbaiki trotoar untuk para pejalan kaki.
Seharusnya kota-kota lain meniru Jakarta untuk menghormati hak pejalan kaki. Tanpa dukungan regulasi dan infrastruktur dari pemerintah baik pusat maupun daerah, nasib para pejalan kaki akan terus terlunta-lunta. Bagaimana pun jumlah trotoar masih jauh dari memadai.
Kalau kita lihat di Jabodetabek saja, masih banyak jalan yang dibangun tanpa trotoar. Apalagi, di kota-kota lain di Indonesia. Fenomena ini sudah seharusnya menjadi perhatian serius para kepala daerah dan seluruh stakeholder sehingga jumlah pejalan kaki yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas bisa dikurangi bahkan dihilangkan.
(ynt)