Mengapa Jabatan Kepala Desa Harus Diperpanjang?
loading...
A
A
A
Bagaimana fakta di lapangan? Ada desa yang semakin makmur dan sejahtera. Tapi ada juga yang tetap stagnan bahkan semakin mundur karena kepala desa terlalu lama berkuasa dan hanya sibuk membangun dinasti politik di desa. Ini fakta yang mestinya juga harus dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan sebelum memutuskan merevisi UU Desa utamanya perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun.
Argumentasi yang dibangun sebagian fraksi di DPR dan Kementerian Desa juga sama dan sebangun. Bahwa banyak keluhan kepala desa tidak bisa membangun karena terlalu direpotkan penyelesaian konflik pasapemilihan kepala desa (pilkades). Menurut mereka pembelahan warga desa akibat beda pilihan saat pilkades memerlukan upaya besar untuk menyelesaikannya. Solusinya ada perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Alasan ini sangat patut diuji secara nalar dan pengalaman empirik di lapangan. Para pembuat UU ini pasti sudah berdiskusi panjang lebar sebelum memutuskan masa jabatan kepala desa 6 tahun. Apakah benar alasan pembelahan warga pascapilkades ini terjadi secara mayoritas? Apakah demonstrasi ratusan orang di Senayan itu mewakili semua aspirasi kepala desa di seluruh Indonesia yang menurut data BPS jumlahnya 81.000?
Apakah secara empiris ada data yang memperkuat argumentasi bahwa penyelesaian konflik akibat beda pilihan itu menjadi penghambat yang luar biasa dalam membangun desa? Lantas bagaimana dengan aspirasi dari sisi warga desa yang dipimpin? Apakah sudah diukur seberapa besar penerimaannya terhadap perpanjangan masa jabatan ini? Benarkah mereka mendukung? Jangan-jangan warganya justru banyak yang menentang.
Karena itu masih diperlukan banyak masukan dari berbagai pihak, termasuk para ahli, perwakilan masyarakat dan seluruh stakeholder sebelum revisi terbatas UU Desa ini benar benar dilakukan setelah dimasukkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2023. Pesan Presiden Joko Widodo sudah sangat terang,ojo grusa grusu (jangan terburu buru) dalam mengambil keputusan.
Argumentasi yang dibangun sebagian fraksi di DPR dan Kementerian Desa juga sama dan sebangun. Bahwa banyak keluhan kepala desa tidak bisa membangun karena terlalu direpotkan penyelesaian konflik pasapemilihan kepala desa (pilkades). Menurut mereka pembelahan warga desa akibat beda pilihan saat pilkades memerlukan upaya besar untuk menyelesaikannya. Solusinya ada perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Alasan ini sangat patut diuji secara nalar dan pengalaman empirik di lapangan. Para pembuat UU ini pasti sudah berdiskusi panjang lebar sebelum memutuskan masa jabatan kepala desa 6 tahun. Apakah benar alasan pembelahan warga pascapilkades ini terjadi secara mayoritas? Apakah demonstrasi ratusan orang di Senayan itu mewakili semua aspirasi kepala desa di seluruh Indonesia yang menurut data BPS jumlahnya 81.000?
Apakah secara empiris ada data yang memperkuat argumentasi bahwa penyelesaian konflik akibat beda pilihan itu menjadi penghambat yang luar biasa dalam membangun desa? Lantas bagaimana dengan aspirasi dari sisi warga desa yang dipimpin? Apakah sudah diukur seberapa besar penerimaannya terhadap perpanjangan masa jabatan ini? Benarkah mereka mendukung? Jangan-jangan warganya justru banyak yang menentang.
Karena itu masih diperlukan banyak masukan dari berbagai pihak, termasuk para ahli, perwakilan masyarakat dan seluruh stakeholder sebelum revisi terbatas UU Desa ini benar benar dilakukan setelah dimasukkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2023. Pesan Presiden Joko Widodo sudah sangat terang,ojo grusa grusu (jangan terburu buru) dalam mengambil keputusan.
(bmm)