Mengapa Jabatan Kepala Desa Harus Diperpanjang?
loading...
A
A
A
NALAR publik kembali diuji. Kali ini masih seputar perpanjangan masa jabatan kekuasaan eksekutif. Tahun lalu, saat konsentrasi semua orang masih fokus pada isu pemulihan pasca pandemi Covid-19 muncul pemikiran dan gagasan untuk perpanjangan masa jabatan presiden.
Perpanjangan itu bisa berupa penambahan masa jabatan presidendua atau tiga tahun ke depan atau satu periode sekaligus yakni lima tahun. Keduanya didasarkan pada kebutuhan keberlanjutan pemerintahan sekarang yang dinilai sudah baik dan berpengalaman melalui masa masa sulit menghadapi krisis ekonomi global dan pandemi Covid-19 dengan baik. Keberlanjutan ini diperlukan karena tantangan tahun 2023 dan sesudahnya semakin berat dan sulit diprediksi.
Hasil Pemilu 2024 (pemilihan Presiden dan DPR) dikhawatirkan tidak mampu menjaga dan mengawal situasi krisis multimedimensi yang masih menjadi ancaman besar.
Baca Juga: koran-sindo.com
Praktis wacana dan gagasan ini menyulut reaksi keras. Apapun argumentasi yang dibangun, gagasan ini jelas sulit diterima nalar publik. Tidak ada urgensi yang sangat riil yang mengharuskan ketentuan konstitusional pemilu setiap lima tahun dilanggar. Hingga detik ini pun belum ada situasi ekonomi, sosial, politik yang bisa menjadi rujukan adanya perpanjangan masa jabatan pemerintahan yang kabarnya akan dibarengkan dengan perpanjangan masa jabatan di legislatif (DPR dan DPD).
Sejumlah elite di kabinet juga mencoba mengambil posisi atas nama iklim investasi yang membutuhkan kepastian keberlanjutan kekuasaan. Proyek-proyek besar yang sedang dikerjakan butuh jaminan itu yang belum tentu bisa diberikan oleh pemerintahan baru hasil Pemilu 2024. Alasannya pemerintahan baru butuh waktu minimal satu tahun untuk menyakinkan banyak pihak, terutama investor agar penanaman uangnya di Indonesia aman dan menguntungkan. Sedangkan proses yang dibangun oleh pemerintahan sebelumnya sudah tertata baik, rapi dan dipercaya. Demikian argumentasi yang dibangun.
Kelompok yang menentang argumentasi ini juga memiliki alasan kuat. Demokrasi dan konsitusi ada pijakan bersama yang tidak boleh dikorbankan atas nama apapun. Apalagi untuk memperpanjang kekuasaan yang juga tidak ada jaminan di periode selanjutnya akan menjadi lebih baik.
Situasi global yang tidak menentu itu tidak harus direspons dengan cara uang tidak menentu juga yakni menabrak pakem dan kesepakatan bersama sebagai bangsa yang plural dan majemuk. Istilah Jawanya “Ngono ya ngono ning ojo ngono” (begitu ya begitu tapi jangan begitu). Pesan persisnya jika berbuat sesuatu janganlah berlebihan.
Wacana 3 periode atau penambahan masa jabatan itu kini mulai sayup sayup meski tidak hilang sama sekali.Nah, belakangan isu yang hampir mirip mencuat kembali. Ratusan kepada desa dari berbagai daerah menggelar demonstasi ke Gedung DPR Senayan untuk mendesak dilakukannya revisi Undang Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Poin yang paling diminta untuk direvisi adalah masa jabatan kepala desa yang hanya 6 tahun dan bisa diperpanjang 3 periode. Menurut para kepala desa jabatan 6 tahun itu terlalu singkat dan tidak cukup untuk menjalankan tugas membangun desa. Karena itu idealnya satu periode masa jabatan kepala desa 9 tahun dan bisa dipilih kembali. Artinya kepala desa bisa menjabat 18 tahun berturut turut. Waktu yang sangat panjang untuk membangun dan memakmurkan masyarakat desa.
Bagaimana fakta di lapangan? Ada desa yang semakin makmur dan sejahtera. Tapi ada juga yang tetap stagnan bahkan semakin mundur karena kepala desa terlalu lama berkuasa dan hanya sibuk membangun dinasti politik di desa. Ini fakta yang mestinya juga harus dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan sebelum memutuskan merevisi UU Desa utamanya perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun.
Argumentasi yang dibangun sebagian fraksi di DPR dan Kementerian Desa juga sama dan sebangun. Bahwa banyak keluhan kepala desa tidak bisa membangun karena terlalu direpotkan penyelesaian konflik pasapemilihan kepala desa (pilkades). Menurut mereka pembelahan warga desa akibat beda pilihan saat pilkades memerlukan upaya besar untuk menyelesaikannya. Solusinya ada perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Alasan ini sangat patut diuji secara nalar dan pengalaman empirik di lapangan. Para pembuat UU ini pasti sudah berdiskusi panjang lebar sebelum memutuskan masa jabatan kepala desa 6 tahun. Apakah benar alasan pembelahan warga pascapilkades ini terjadi secara mayoritas? Apakah demonstrasi ratusan orang di Senayan itu mewakili semua aspirasi kepala desa di seluruh Indonesia yang menurut data BPS jumlahnya 81.000?
Apakah secara empiris ada data yang memperkuat argumentasi bahwa penyelesaian konflik akibat beda pilihan itu menjadi penghambat yang luar biasa dalam membangun desa? Lantas bagaimana dengan aspirasi dari sisi warga desa yang dipimpin? Apakah sudah diukur seberapa besar penerimaannya terhadap perpanjangan masa jabatan ini? Benarkah mereka mendukung? Jangan-jangan warganya justru banyak yang menentang.
Karena itu masih diperlukan banyak masukan dari berbagai pihak, termasuk para ahli, perwakilan masyarakat dan seluruh stakeholder sebelum revisi terbatas UU Desa ini benar benar dilakukan setelah dimasukkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2023. Pesan Presiden Joko Widodo sudah sangat terang,ojo grusa grusu (jangan terburu buru) dalam mengambil keputusan.
Perpanjangan itu bisa berupa penambahan masa jabatan presidendua atau tiga tahun ke depan atau satu periode sekaligus yakni lima tahun. Keduanya didasarkan pada kebutuhan keberlanjutan pemerintahan sekarang yang dinilai sudah baik dan berpengalaman melalui masa masa sulit menghadapi krisis ekonomi global dan pandemi Covid-19 dengan baik. Keberlanjutan ini diperlukan karena tantangan tahun 2023 dan sesudahnya semakin berat dan sulit diprediksi.
Hasil Pemilu 2024 (pemilihan Presiden dan DPR) dikhawatirkan tidak mampu menjaga dan mengawal situasi krisis multimedimensi yang masih menjadi ancaman besar.
Baca Juga: koran-sindo.com
Praktis wacana dan gagasan ini menyulut reaksi keras. Apapun argumentasi yang dibangun, gagasan ini jelas sulit diterima nalar publik. Tidak ada urgensi yang sangat riil yang mengharuskan ketentuan konstitusional pemilu setiap lima tahun dilanggar. Hingga detik ini pun belum ada situasi ekonomi, sosial, politik yang bisa menjadi rujukan adanya perpanjangan masa jabatan pemerintahan yang kabarnya akan dibarengkan dengan perpanjangan masa jabatan di legislatif (DPR dan DPD).
Sejumlah elite di kabinet juga mencoba mengambil posisi atas nama iklim investasi yang membutuhkan kepastian keberlanjutan kekuasaan. Proyek-proyek besar yang sedang dikerjakan butuh jaminan itu yang belum tentu bisa diberikan oleh pemerintahan baru hasil Pemilu 2024. Alasannya pemerintahan baru butuh waktu minimal satu tahun untuk menyakinkan banyak pihak, terutama investor agar penanaman uangnya di Indonesia aman dan menguntungkan. Sedangkan proses yang dibangun oleh pemerintahan sebelumnya sudah tertata baik, rapi dan dipercaya. Demikian argumentasi yang dibangun.
Kelompok yang menentang argumentasi ini juga memiliki alasan kuat. Demokrasi dan konsitusi ada pijakan bersama yang tidak boleh dikorbankan atas nama apapun. Apalagi untuk memperpanjang kekuasaan yang juga tidak ada jaminan di periode selanjutnya akan menjadi lebih baik.
Situasi global yang tidak menentu itu tidak harus direspons dengan cara uang tidak menentu juga yakni menabrak pakem dan kesepakatan bersama sebagai bangsa yang plural dan majemuk. Istilah Jawanya “Ngono ya ngono ning ojo ngono” (begitu ya begitu tapi jangan begitu). Pesan persisnya jika berbuat sesuatu janganlah berlebihan.
Wacana 3 periode atau penambahan masa jabatan itu kini mulai sayup sayup meski tidak hilang sama sekali.Nah, belakangan isu yang hampir mirip mencuat kembali. Ratusan kepada desa dari berbagai daerah menggelar demonstasi ke Gedung DPR Senayan untuk mendesak dilakukannya revisi Undang Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Poin yang paling diminta untuk direvisi adalah masa jabatan kepala desa yang hanya 6 tahun dan bisa diperpanjang 3 periode. Menurut para kepala desa jabatan 6 tahun itu terlalu singkat dan tidak cukup untuk menjalankan tugas membangun desa. Karena itu idealnya satu periode masa jabatan kepala desa 9 tahun dan bisa dipilih kembali. Artinya kepala desa bisa menjabat 18 tahun berturut turut. Waktu yang sangat panjang untuk membangun dan memakmurkan masyarakat desa.
Bagaimana fakta di lapangan? Ada desa yang semakin makmur dan sejahtera. Tapi ada juga yang tetap stagnan bahkan semakin mundur karena kepala desa terlalu lama berkuasa dan hanya sibuk membangun dinasti politik di desa. Ini fakta yang mestinya juga harus dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan sebelum memutuskan merevisi UU Desa utamanya perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun.
Argumentasi yang dibangun sebagian fraksi di DPR dan Kementerian Desa juga sama dan sebangun. Bahwa banyak keluhan kepala desa tidak bisa membangun karena terlalu direpotkan penyelesaian konflik pasapemilihan kepala desa (pilkades). Menurut mereka pembelahan warga desa akibat beda pilihan saat pilkades memerlukan upaya besar untuk menyelesaikannya. Solusinya ada perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Alasan ini sangat patut diuji secara nalar dan pengalaman empirik di lapangan. Para pembuat UU ini pasti sudah berdiskusi panjang lebar sebelum memutuskan masa jabatan kepala desa 6 tahun. Apakah benar alasan pembelahan warga pascapilkades ini terjadi secara mayoritas? Apakah demonstrasi ratusan orang di Senayan itu mewakili semua aspirasi kepala desa di seluruh Indonesia yang menurut data BPS jumlahnya 81.000?
Apakah secara empiris ada data yang memperkuat argumentasi bahwa penyelesaian konflik akibat beda pilihan itu menjadi penghambat yang luar biasa dalam membangun desa? Lantas bagaimana dengan aspirasi dari sisi warga desa yang dipimpin? Apakah sudah diukur seberapa besar penerimaannya terhadap perpanjangan masa jabatan ini? Benarkah mereka mendukung? Jangan-jangan warganya justru banyak yang menentang.
Karena itu masih diperlukan banyak masukan dari berbagai pihak, termasuk para ahli, perwakilan masyarakat dan seluruh stakeholder sebelum revisi terbatas UU Desa ini benar benar dilakukan setelah dimasukkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2023. Pesan Presiden Joko Widodo sudah sangat terang,ojo grusa grusu (jangan terburu buru) dalam mengambil keputusan.
(bmm)