Menatap Masa Depan Pendidikan Agama
Sabtu, 14 Januari 2023 - 12:04 WIB
Hal ini tentu sangat disayangkan. Sudah beberapa tahun belakangan ini pemerintah terus menggaungkan paham moderasi beragama. Namun, pada buku yang dipegang siswa tahun ajaran 2022/2023 terdapat hal yang sebaliknya. Anehnya lagi, soal semacam ini digunakan para guru untuk mengukur pengetahuan dan kemahiran siswa dalam mata pelajaran agama.
Menanggapi hal itu, alangkah baiknya jika izin penerbitan buku pelajaran agama dilakukan pengawasan langsung dari pemerintah dan harus ditulis oleh para ahli tersertifikasi. Hal ini pantas dilakukan sebagai upaya membatasi buku-buku yang berpotensi memecah belah bangsa.
Adapun terkait buku LKS, jika memang pemerintah mengeluarkan larangan penggunaannya, maka pengadaan buku paket resmi harus dilakukan secara merata di seluruh sekolah. Masalahnya sampai saat ini ketersediaan buku pemerintah masih terbatas.
Selain itu para pakar perlu menelaah kembali, sudahkah buku-buku agama mencakup materi esensial yang dibutuhkan bangsa saat ini. Menurut penulis, menambahkan materi kesetaraan gender dalam pelajaran agama perlu dilakukan sebagai respons cepat terhadap kasus kekerasan pada perempuan yang cukup banyak terjadi akhir-akhir ini.
Guru Agama
Sejatinya sebaik apa pun buku didesain, pembelajaran tidak akan berhasil tanpa peran guru. Sayangnya, guru agama masih lemah dalam mengkontekstualisasikan materi pelajaran. Jika begini pelajaran agama terasa kering dan materinya terkesan diulang-ulang.
Kelemahan guru mengkontekstualisasikan materi diduga karena rendahnya semangat mengembangkan diri dan menurunnya minat baca. Padahal kontekstualisasi membutuhkan keluasan wawasan. Parahnya lagi masih banyak guru yang memiliki pandangan bahwa seluruh ilmu sudah ada dalam Al Qur’an dan tidak perlu mempelajari ilmu dari Barat. (Survei PPIM 2018).
Para pengambil kebijakan tentu mafhum bahwa misi menjadikan agama sebagai solusi tak mungkin dilakukan sendiri oleh elite agama. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara dan pembentuk kepribadian perlu disiapkan untuk turut serta mewujudkannya.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Dadi Darmadi, peneliti PPIM UIN Jakarta, bahwa pendidikan agama memiliki dua tujuan, yaitucivic missiondanreligious mission.Jika ini benar-benar diterapkan dalam pendidikan agama, para siswa tidak hanya akan mendapat pemahaman tentang agama tetapi juga menjadi warga negara yang baik.
Pemerintah harus menolong para guru dengan menyediakan pelatihan yang bermutu. Pelatihan guru akhir-akhir ini lebih banyak berfokus pada pengenalan kurikulum baru dan peningkatan kompetensi pedagogi. Ini bukannya tidak baik, tetapi pelatihan profesionalisme guru dalam hal keilmuan dan penguasaan materi sering terabaikan.
Menanggapi hal itu, alangkah baiknya jika izin penerbitan buku pelajaran agama dilakukan pengawasan langsung dari pemerintah dan harus ditulis oleh para ahli tersertifikasi. Hal ini pantas dilakukan sebagai upaya membatasi buku-buku yang berpotensi memecah belah bangsa.
Adapun terkait buku LKS, jika memang pemerintah mengeluarkan larangan penggunaannya, maka pengadaan buku paket resmi harus dilakukan secara merata di seluruh sekolah. Masalahnya sampai saat ini ketersediaan buku pemerintah masih terbatas.
Selain itu para pakar perlu menelaah kembali, sudahkah buku-buku agama mencakup materi esensial yang dibutuhkan bangsa saat ini. Menurut penulis, menambahkan materi kesetaraan gender dalam pelajaran agama perlu dilakukan sebagai respons cepat terhadap kasus kekerasan pada perempuan yang cukup banyak terjadi akhir-akhir ini.
Guru Agama
Sejatinya sebaik apa pun buku didesain, pembelajaran tidak akan berhasil tanpa peran guru. Sayangnya, guru agama masih lemah dalam mengkontekstualisasikan materi pelajaran. Jika begini pelajaran agama terasa kering dan materinya terkesan diulang-ulang.
Kelemahan guru mengkontekstualisasikan materi diduga karena rendahnya semangat mengembangkan diri dan menurunnya minat baca. Padahal kontekstualisasi membutuhkan keluasan wawasan. Parahnya lagi masih banyak guru yang memiliki pandangan bahwa seluruh ilmu sudah ada dalam Al Qur’an dan tidak perlu mempelajari ilmu dari Barat. (Survei PPIM 2018).
Para pengambil kebijakan tentu mafhum bahwa misi menjadikan agama sebagai solusi tak mungkin dilakukan sendiri oleh elite agama. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara dan pembentuk kepribadian perlu disiapkan untuk turut serta mewujudkannya.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Dadi Darmadi, peneliti PPIM UIN Jakarta, bahwa pendidikan agama memiliki dua tujuan, yaitucivic missiondanreligious mission.Jika ini benar-benar diterapkan dalam pendidikan agama, para siswa tidak hanya akan mendapat pemahaman tentang agama tetapi juga menjadi warga negara yang baik.
Pemerintah harus menolong para guru dengan menyediakan pelatihan yang bermutu. Pelatihan guru akhir-akhir ini lebih banyak berfokus pada pengenalan kurikulum baru dan peningkatan kompetensi pedagogi. Ini bukannya tidak baik, tetapi pelatihan profesionalisme guru dalam hal keilmuan dan penguasaan materi sering terabaikan.
tulis komentar anda