Menatap Masa Depan Pendidikan Agama
loading...
A
A
A
J. Masruroh
Guru MAN 2 Lamongan, Jawa Timur
Pada November 2022 para pemimpin agama dunia menggelar pertemuan di Bali dalam forum yang kita kenal dengan sebutan R20. Agama sebagai bagian dari solusi adalah tema yang diusung dalam forum tersebut.
Kini para tokoh agama didorong untuk berpikir agar agama bisa menjadi inspirasi spiritual dalam menyelesaikan permasalahan global. Terkait hal tersebut, kita patut bertanya perihal pendidikan agama di sekolah.
Kira-kira sudah siapkah pendidikan agama yang ada saat ini turut serta dalam mewujudkan cita-cita mulia R20? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya diperlukan pengakuan secara jujur atas realitas pendidikan agama yang ada saat ini.
Tampaknya tak perlu malu mengakui bahwa pendidikan agama belum bisa dikatakan menjadi solusi untuk permasalahan umat. Menyedihkannya lagi, pendidikan agama justru ditengarai turut serta menjadi salah satu penyebab tumbuhnya perilaku intoleransi dan kekerasan terhadap perempuan yang masih saja terjadi hingga saat ini. Bahkhan 47% anggota DPR RI pernah mengakui adanya masalah serius dalam pendidikan agama di sekolah negeri. (Survei PPIM 2019)
Buku Agama di Sekolah
Salah satu penyebab masih banyaknya perilaku menyimpang dengan dalih agama ditengarai berasal dari buku. Sudah banyak diketahui di beberapa sekolah penggunaan buku paket dari pemerintah justru jarang dilakukan. Maraknya penggunaan buku lembar kerja siswa (LKS) menjadikan buku pemeritah semakin tersingkir. Padahal semua guru mengetahui bahwa LKS hanya merupakan salah satu sumber belajar, bukan satu-satunya.
Masalahnya buku-buku LKS tidak semuanya memiliki kualitas yang bagus. Saya pernah menjumpai soal latihan Al Qur’an Hadis yang jauh dari nilai kebaikan. Dalam soal tersebut tertulis, “Setiap muslim dituntut untuk selalu waspada terhadap gerakan yang dilakukan oleh kelompok Yahudi dan Nasrani karena, a) menakutkan, b) menyeramkan, c) menghancurkan Islam, d) menyesatkan, e) menjauhkan muslim dari nilai-nilai ajaran ilahi.”
Hal ini tentu sangat disayangkan. Sudah beberapa tahun belakangan ini pemerintah terus menggaungkan paham moderasi beragama. Namun, pada buku yang dipegang siswa tahun ajaran 2022/2023 terdapat hal yang sebaliknya. Anehnya lagi, soal semacam ini digunakan para guru untuk mengukur pengetahuan dan kemahiran siswa dalam mata pelajaran agama.
Menanggapi hal itu, alangkah baiknya jika izin penerbitan buku pelajaran agama dilakukan pengawasan langsung dari pemerintah dan harus ditulis oleh para ahli tersertifikasi. Hal ini pantas dilakukan sebagai upaya membatasi buku-buku yang berpotensi memecah belah bangsa.
Adapun terkait buku LKS, jika memang pemerintah mengeluarkan larangan penggunaannya, maka pengadaan buku paket resmi harus dilakukan secara merata di seluruh sekolah. Masalahnya sampai saat ini ketersediaan buku pemerintah masih terbatas.
Selain itu para pakar perlu menelaah kembali, sudahkah buku-buku agama mencakup materi esensial yang dibutuhkan bangsa saat ini. Menurut penulis, menambahkan materi kesetaraan gender dalam pelajaran agama perlu dilakukan sebagai respons cepat terhadap kasus kekerasan pada perempuan yang cukup banyak terjadi akhir-akhir ini.
Guru Agama
Sejatinya sebaik apa pun buku didesain, pembelajaran tidak akan berhasil tanpa peran guru. Sayangnya, guru agama masih lemah dalam mengkontekstualisasikan materi pelajaran. Jika begini pelajaran agama terasa kering dan materinya terkesan diulang-ulang.
Kelemahan guru mengkontekstualisasikan materi diduga karena rendahnya semangat mengembangkan diri dan menurunnya minat baca. Padahal kontekstualisasi membutuhkan keluasan wawasan. Parahnya lagi masih banyak guru yang memiliki pandangan bahwa seluruh ilmu sudah ada dalam Al Qur’an dan tidak perlu mempelajari ilmu dari Barat. (Survei PPIM 2018).
Para pengambil kebijakan tentu mafhum bahwa misi menjadikan agama sebagai solusi tak mungkin dilakukan sendiri oleh elite agama. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara dan pembentuk kepribadian perlu disiapkan untuk turut serta mewujudkannya.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Dadi Darmadi, peneliti PPIM UIN Jakarta, bahwa pendidikan agama memiliki dua tujuan, yaitucivic missiondanreligious mission.Jika ini benar-benar diterapkan dalam pendidikan agama, para siswa tidak hanya akan mendapat pemahaman tentang agama tetapi juga menjadi warga negara yang baik.
Pemerintah harus menolong para guru dengan menyediakan pelatihan yang bermutu. Pelatihan guru akhir-akhir ini lebih banyak berfokus pada pengenalan kurikulum baru dan peningkatan kompetensi pedagogi. Ini bukannya tidak baik, tetapi pelatihan profesionalisme guru dalam hal keilmuan dan penguasaan materi sering terabaikan.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah guru-guru agama masih membutuhkan pelatihan penguatan konten materi? Berdasar beberapa alasan dan hasil survei yang telah saya kemukakan di atas, dengan segala kerendahan hati harus diakui bahwa para guru masih membutuhkan.
Dalam materi tertentu, misalnya toleransi beragama, guru agama perlu diberi rambu-rambu tentang apa yang sebaiknya disampaikan. Hal ini penting agar guru tidak memberikan tafsir sendiri yang justru menjerumuskan dan membingungkan peserta didik. Terlebih lagi untuk sekolah di bawah naungan Kementerian Agama yang guru agamanya berbeda pada tiap mata pelajaran.
Pendidikan agama justru akan membawa masalah jika para gurunya tidak satu suara dan menyampaikan persepsinya sendiri yang mungkin saja bertentangan dengan pesan-pesan toleransi. Untuk itu para ahli perlu mendefinisikan toleransi sesuai kebutuhan zaman agar semua umat dapat hidup berdampingan. Definisi toleransi juga perlu dituliskan dengan jelas dalam buku pelajaran.
Pelatihan penguasaan materi dapat didesain per guru mata pelajaran. Dengan cara ini konten materi yang disampaikan tutor bisa langsung ditularkan pada peserta didik dan diharapkan dapat berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan agama.
Dalam pidatonya pada puncak peringatan HUT PGRI ke-77, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan agar para guru tidak memberikan materi yang sudah usang dan agar terus meng-updatepengetahuan.
Untuk itu para guru agama perlu dibimbing agar mahir mengkontekstualisasikan mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian pendidikan agama tidak hanya tentang ceramah dan menghafal dalil-dalil tetapi juga memiliki relevansi dan menjadi solusi spiritual bagi kehidupan.
Para elite agama dalam R20 telah diminta melakukan refleksi dan meninjau ulang wawasan keagamaannya. Kini sudah saatnya para guru agama diajak melakukan hal yang sama. Mereka tak hanya mengajarkan pendidikan agama di sekolah tetapi juga merupakan tokoh di masyarakat kecilnya.
Guru MAN 2 Lamongan, Jawa Timur
Pada November 2022 para pemimpin agama dunia menggelar pertemuan di Bali dalam forum yang kita kenal dengan sebutan R20. Agama sebagai bagian dari solusi adalah tema yang diusung dalam forum tersebut.
Kini para tokoh agama didorong untuk berpikir agar agama bisa menjadi inspirasi spiritual dalam menyelesaikan permasalahan global. Terkait hal tersebut, kita patut bertanya perihal pendidikan agama di sekolah.
Kira-kira sudah siapkah pendidikan agama yang ada saat ini turut serta dalam mewujudkan cita-cita mulia R20? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya diperlukan pengakuan secara jujur atas realitas pendidikan agama yang ada saat ini.
Tampaknya tak perlu malu mengakui bahwa pendidikan agama belum bisa dikatakan menjadi solusi untuk permasalahan umat. Menyedihkannya lagi, pendidikan agama justru ditengarai turut serta menjadi salah satu penyebab tumbuhnya perilaku intoleransi dan kekerasan terhadap perempuan yang masih saja terjadi hingga saat ini. Bahkhan 47% anggota DPR RI pernah mengakui adanya masalah serius dalam pendidikan agama di sekolah negeri. (Survei PPIM 2019)
Buku Agama di Sekolah
Salah satu penyebab masih banyaknya perilaku menyimpang dengan dalih agama ditengarai berasal dari buku. Sudah banyak diketahui di beberapa sekolah penggunaan buku paket dari pemerintah justru jarang dilakukan. Maraknya penggunaan buku lembar kerja siswa (LKS) menjadikan buku pemeritah semakin tersingkir. Padahal semua guru mengetahui bahwa LKS hanya merupakan salah satu sumber belajar, bukan satu-satunya.
Masalahnya buku-buku LKS tidak semuanya memiliki kualitas yang bagus. Saya pernah menjumpai soal latihan Al Qur’an Hadis yang jauh dari nilai kebaikan. Dalam soal tersebut tertulis, “Setiap muslim dituntut untuk selalu waspada terhadap gerakan yang dilakukan oleh kelompok Yahudi dan Nasrani karena, a) menakutkan, b) menyeramkan, c) menghancurkan Islam, d) menyesatkan, e) menjauhkan muslim dari nilai-nilai ajaran ilahi.”
Hal ini tentu sangat disayangkan. Sudah beberapa tahun belakangan ini pemerintah terus menggaungkan paham moderasi beragama. Namun, pada buku yang dipegang siswa tahun ajaran 2022/2023 terdapat hal yang sebaliknya. Anehnya lagi, soal semacam ini digunakan para guru untuk mengukur pengetahuan dan kemahiran siswa dalam mata pelajaran agama.
Menanggapi hal itu, alangkah baiknya jika izin penerbitan buku pelajaran agama dilakukan pengawasan langsung dari pemerintah dan harus ditulis oleh para ahli tersertifikasi. Hal ini pantas dilakukan sebagai upaya membatasi buku-buku yang berpotensi memecah belah bangsa.
Adapun terkait buku LKS, jika memang pemerintah mengeluarkan larangan penggunaannya, maka pengadaan buku paket resmi harus dilakukan secara merata di seluruh sekolah. Masalahnya sampai saat ini ketersediaan buku pemerintah masih terbatas.
Selain itu para pakar perlu menelaah kembali, sudahkah buku-buku agama mencakup materi esensial yang dibutuhkan bangsa saat ini. Menurut penulis, menambahkan materi kesetaraan gender dalam pelajaran agama perlu dilakukan sebagai respons cepat terhadap kasus kekerasan pada perempuan yang cukup banyak terjadi akhir-akhir ini.
Guru Agama
Sejatinya sebaik apa pun buku didesain, pembelajaran tidak akan berhasil tanpa peran guru. Sayangnya, guru agama masih lemah dalam mengkontekstualisasikan materi pelajaran. Jika begini pelajaran agama terasa kering dan materinya terkesan diulang-ulang.
Kelemahan guru mengkontekstualisasikan materi diduga karena rendahnya semangat mengembangkan diri dan menurunnya minat baca. Padahal kontekstualisasi membutuhkan keluasan wawasan. Parahnya lagi masih banyak guru yang memiliki pandangan bahwa seluruh ilmu sudah ada dalam Al Qur’an dan tidak perlu mempelajari ilmu dari Barat. (Survei PPIM 2018).
Para pengambil kebijakan tentu mafhum bahwa misi menjadikan agama sebagai solusi tak mungkin dilakukan sendiri oleh elite agama. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara dan pembentuk kepribadian perlu disiapkan untuk turut serta mewujudkannya.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Dadi Darmadi, peneliti PPIM UIN Jakarta, bahwa pendidikan agama memiliki dua tujuan, yaitucivic missiondanreligious mission.Jika ini benar-benar diterapkan dalam pendidikan agama, para siswa tidak hanya akan mendapat pemahaman tentang agama tetapi juga menjadi warga negara yang baik.
Pemerintah harus menolong para guru dengan menyediakan pelatihan yang bermutu. Pelatihan guru akhir-akhir ini lebih banyak berfokus pada pengenalan kurikulum baru dan peningkatan kompetensi pedagogi. Ini bukannya tidak baik, tetapi pelatihan profesionalisme guru dalam hal keilmuan dan penguasaan materi sering terabaikan.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah guru-guru agama masih membutuhkan pelatihan penguatan konten materi? Berdasar beberapa alasan dan hasil survei yang telah saya kemukakan di atas, dengan segala kerendahan hati harus diakui bahwa para guru masih membutuhkan.
Dalam materi tertentu, misalnya toleransi beragama, guru agama perlu diberi rambu-rambu tentang apa yang sebaiknya disampaikan. Hal ini penting agar guru tidak memberikan tafsir sendiri yang justru menjerumuskan dan membingungkan peserta didik. Terlebih lagi untuk sekolah di bawah naungan Kementerian Agama yang guru agamanya berbeda pada tiap mata pelajaran.
Pendidikan agama justru akan membawa masalah jika para gurunya tidak satu suara dan menyampaikan persepsinya sendiri yang mungkin saja bertentangan dengan pesan-pesan toleransi. Untuk itu para ahli perlu mendefinisikan toleransi sesuai kebutuhan zaman agar semua umat dapat hidup berdampingan. Definisi toleransi juga perlu dituliskan dengan jelas dalam buku pelajaran.
Pelatihan penguasaan materi dapat didesain per guru mata pelajaran. Dengan cara ini konten materi yang disampaikan tutor bisa langsung ditularkan pada peserta didik dan diharapkan dapat berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan agama.
Dalam pidatonya pada puncak peringatan HUT PGRI ke-77, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan agar para guru tidak memberikan materi yang sudah usang dan agar terus meng-updatepengetahuan.
Untuk itu para guru agama perlu dibimbing agar mahir mengkontekstualisasikan mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian pendidikan agama tidak hanya tentang ceramah dan menghafal dalil-dalil tetapi juga memiliki relevansi dan menjadi solusi spiritual bagi kehidupan.
Para elite agama dalam R20 telah diminta melakukan refleksi dan meninjau ulang wawasan keagamaannya. Kini sudah saatnya para guru agama diajak melakukan hal yang sama. Mereka tak hanya mengajarkan pendidikan agama di sekolah tetapi juga merupakan tokoh di masyarakat kecilnya.
(ynt)