Hindari Kesalahan Persepsi, Sosialisasi KUHP Baru Harus Digencarkan

Jum'at, 13 Januari 2023 - 11:54 WIB
Acara Sosialisasi KUHP yang digelar Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bersama Universitas Andalas di Hotel Santika, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (11/1/2023). Foto/Dok. SINDONews
PADANG - Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KHUP ) baru layak disebut KUHP nasional. Kehadirannya patut disambut baik dan harus benar-benar disosialisasikan ke tengah masyarakat.

KUHP nasional ini akan mulai berlaku efektif tiga tahun terhitung sejak diundangkan. Selama masa transisi itu, perlu sosialisasi substansi KUHP ini kepada seluruh masyarakat serta aparat penegak hukum agar tidak terjadi salah penafsiran serta meminimalisir penyalahgunaan kewenangan.

“Sejalan dengan itu, pemerintah juga akan mempersiapkan berbagai peraturan pelaksanaan,” kata Guru Besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) R Benny Riyanto di sela acara Sosialisasi KUHP yang digelar Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bersama Universitas Andalas di Hotel Santika, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (11/1/2023).

Prof Benny mengusulkan perlunya training of trainers agar para akademisi, praktisi, dan penegak hukum betul-betul menguasai norma, semangat, serta nilai-nilai yang dikandung KUHP nasional ini. Ini merupakan sarana pemahaman kepada para stakeholder yang terlibat, terutama penegak hukum.

“Karena ini kan merupakan suatu modernisasi sistem hukum Indonesia. Tidak hanya penegak hukum saja, tetapi para akademisi juga, kedepannya perlu kita melakukan training of trainers (ToT) kepada para seluruh stakeholder yang ada," ujarnya.



Guru Besar Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, kesalahan persepsi yang sempat muncul antara lain terkait diakuinya hukum adat (living law) dalam KUHP baru. Hal ini seharusnya diapresiasi sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan negara kepada masyarakat hukum adat, sebagaimana juga diakui dalam UUD 1945.

Menurut Harkristuti, sementara ini memang ada kekeliruan persepsi di sebagian masyarakat yang mengatakan dengan adanya pengakuan terhadap living law, maka terjadilah penyimpangan atas asas legalitas. Ini yang perlu diluruskan.

“Karena baru bisa disebut living law bila memang merupakan suatu ketentuan yang masih hidup di masyarakat dan ini ditemukan secara ilmiah oleh para peneliti. Jadi tidak boleh nanti DPRD atau pemerintah meletakkan ketentuan dalam perda tanpa adanya bukti ilmiah bahwa ketentuan tersebut masih hidup dalam masyarakat,” ujar Prof Harkristuti.

Ketua Umum Mahupiki, Yenti Garnasih mengatakan, wajar bila dalam proses penyusunan KUHP nasional ini banyak ditemukan pro dan kontra. Hal ini tak terlepas dari kebinekaan Indonesia yang memiliki beragam etnis, agama dan kultur.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More