Penenggelaman Kapal Asing Bukan Solusi

Minggu, 12 Juli 2020 - 18:50 WIB
Ancaman kerusakan ekosistem di laut yang tak kalah menarik adalah persoalan sampah. Lautan di Indonesia semakin dicemari dan dipenuhi sampah buangan manusia, mulai dari kantong plastik, botol sampai puntung rokok. Terlebih lagi saat ini, Indonesia tercatat sebagai penyumbang sampah plastik di lautan terbesar kedua setelah China. Keadaan ini juga turut diperparah dengan adanya sampah kapal-kapal yang ditenggelamkan. Banyak serpihan kapal tersebut berserakan di tengah laut. Miris ketika sampah plastik saja belum habis terurai, sudah datang lagi sampah baru. Padahal, merujuk laporan Ocean Conservacy, sebuah organisasi yang concern atas konservasi laut di Amerika Serikat, bahwa sebanyak 95% sampah justru terendam di bawah permukaan. Polusi laut akibat sampah ini tidak hanya berimbas buruk terhadap lingkungan, namun juga merugikan dari sisi ekonomi karena pendapatan negara dari sektor kelautan juga akan menurun.

Tak sampai disitu saja, bangkai kapal yang telah dihancurkan justru mencemari dan mengotori laut, oli kapal pun menjadi limbah berbahaya beracun yang mencemari laut, kesemuanya mengarah pada dapat menggangu keselamatan pelayaran. Oleh sebab itu, wajar jika penenggelaman kapal yang telah dilakukan, dianggap juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17/2015 tentang Pelayaran. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa kapal yang tenggelam wajib diangkat atau diapungkan, terlebih jika kapal tersebut mengganggu alur pelayaran.

Pemborosan Anggaran Negara

Selama periode Menteri Kelautan dan Perikanan tempo lalu, menenggelamkan kapal sepertinya menjadi prioritas dari KKP. Wajar akhirnya, penenggelaman kapal sudah dilakukan terhadap 556 kapal. Selain tidak memberikan efek jera, ternyata biaya pemusnahan kapal asing memboros anggaran negara, setidaknya menghabiskan anggaran Rp50 juta - Rp100 juta per kasus. Dapat kita bayangkan penenggelaman kapal ternyata membutuhkan penyerapan anggaran yang amat besar, yang semestinya bisa dialihkan untuk yang lebih bermanfaat dengan menyasar kepada para nelayan.

Penenggelaman kapal bukan berarti ditafsirkan dihapuskan. Tetapi, pada kepemimpinan Edhy Prabowo, penenggelaman kapal tidak lagi menjadi prioritas. Meski begitu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, juga sempat melanjutkan kebijakan yang pernah dilakukan pendahulunya yakni dengan menenggelamkan delapan kapal asing illegal tatkala tiga bulan di awal masa jabatannya.

Prioritas penanganan kapal-kapal tersebut dialihkan terhadap kesejahteraan nelayan, seperti melakukan pembinaan kepada nelayan dan pembudidaya ikan. Jadi, di era kepemimpinan KKP yang baru, penenggelaman kapal diganti dengan prioritas pemanfaatan kapal. Dengan menurunkan intensitas penenggelaman kapal dan memanfaatkan kapal-kapal tangkapan sebagai aset negara, Indonesia dapat memperoleh keuntungan atas polemik tersebut. Dengan memilih memanfaatkan, seperti menghibahkan kapal tangkapan kepada nelayan, universitas, maupun digunakan oleh KKP, sehingga negara bisa menghemat anggaran sekaligus menambah aset negara tanpa membeli kapal baru.

Pelanggaran Berdasarkan Aspek Hukum

Mengkaji dari aspek hukum tampak pula beberapa kebijakan yang dilanggar dengan melakukan penghancuran kapal di laut. Seperti, kebijakan penghancuran kapal bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17/2008 tentang Pelayaran dalam Pasal 116 ayat (1) menjelaskan bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran berkaitan dengan keselamatan dan keamanan angkutan di perairan, pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim. Selanjutnya, yang terkandung dalam Pasal 123 tentang tanggung jawab perlindungan maritim meliputi sistem pengamanan fasilitas pelabuhan yang mencakup menjaga laut dari pencemaran limbah dan bahan berbahaya seperti bahan yang beracun. Kedua aspek yang ditegaskan tersebut, nyata diabaikan dengan kebijakan pengeboman kapal di laut.

Selain mengabaikan menjaga lingkungan laut dari bahan yang berbahaya. Tindakan penenggelaman kapal tersebut, sekali lagi ditegaskan, mengabaikan pula keselamatan aktivitas pelayaran akibat dari serpihan kapal. Bahkan, penenggelaman kapal juga melanggar aturan dari United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang melarang bahan non organik dibuang ke laut. UNCLOS telah lama menjadi hukum positif di Indonesia setelah Indonesia melakukan ratifikasi, ini menunjukan bahwa dalam melakukan kegiatan di wilayah perairan dan laut, Indonesia harus pula melihat UNCLOS 1982 tersebut sebagai bagian ketentuan rujukan hukum. Disamping itu, jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 45/2009 tentang Perikanan, dalam Pasal 7 ayat (1) huruf o adalah semestinya negara melakukan upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungan.

Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa penenggelaman kapal, bukan saja tidak memperoleh efek jera, tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan bahkan tindakan itu dianggap mengabaikan keselamatan dan keamanan pelayaran. Artinya, apa yang telah dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, dengan tidak lagi menjadikan penenggelaman kapal sebagai prioritas, hemat penulis, telah tepat.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More