Masalah Klasik Penyerapan Anggaran Daerah
Sabtu, 17 Desember 2022 - 12:00 WIB
MOH ILHAM A HAMUDY
Pemerhati pemerintahan dan politik, berkhidmat di Pusat Penerangan Kemendagri
Perbedaan yang mencolok antara organisasi pemerintah dan swasta adalah soal laba, yang secara umum didefinisikan sebagai uang. Organisasi swasta diwajibkan mencari laba sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan sejumlah modal tertentu.
Untuk mendapatkan laba, organisasi swasta menjual produk, bisa barang atau pun jasa. Laba yang dihasilkan itu didapat dari upaya keras para pegawainya. Mereka dibebani target dan tenggat waktu. Kalau tidak memenuhi keduanya, para pegawai tentu akan mendapatkan hukuman administrasi berupa: pemotongan tunjangan, bonus, demosi jabatan, atau bahkan sampai pemecatan.
Hal itu berbeda dengan organisasi pemerintah (termasuk pemerintah daerah/pemda), yang umumnya tidak ada kewajiban mencari laba. Para pegawainya tidak dibebani secara khusus untuk menjual produk barang atau pun jasa.
Malahan, yang diwajibkan negara adalah menghabiskan uang setiap tahun melalui daftar isian pelaksanaan anggaran dalam waktu singkat, minimal sesuai tenggat waktu yang telah ditentukan. Intinya, serapan anggaran harus habis, tuntas dalam periode tertentu setiap tahun anggaran.
Akan tetapi, meski cuma diminta menghabiskan uang, organisasi pemerintah acap tidak bisa. Inilah yang membuat Menteri Keuangan, bahkan Presiden marah, khususnya, kepada pemda yang selalu lambat dan menyisakan anggaran yang sudah diberikan. Negara sudah susah payah mencari uang yang berasal dari ekspor komoditi, pajak, retribusi, dan sebagian utang, tetapi tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, malahan mengendap di bank.
Kondisi itulah yang terjadi daerah. Sampai ujung November 2022, daerah-daerah yang dana APBD-nya masih mengendap di bank antara lain Sulawesi Tengah dengan realisasi baru 44%, diikuti Kalimantan Timur 49%, Papua Barat 53%, Bangka Belitung 54%, Jambi 61%, dan Papua 62%.
Masalah Klasik
Pemerhati pemerintahan dan politik, berkhidmat di Pusat Penerangan Kemendagri
Perbedaan yang mencolok antara organisasi pemerintah dan swasta adalah soal laba, yang secara umum didefinisikan sebagai uang. Organisasi swasta diwajibkan mencari laba sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan sejumlah modal tertentu.
Untuk mendapatkan laba, organisasi swasta menjual produk, bisa barang atau pun jasa. Laba yang dihasilkan itu didapat dari upaya keras para pegawainya. Mereka dibebani target dan tenggat waktu. Kalau tidak memenuhi keduanya, para pegawai tentu akan mendapatkan hukuman administrasi berupa: pemotongan tunjangan, bonus, demosi jabatan, atau bahkan sampai pemecatan.
Hal itu berbeda dengan organisasi pemerintah (termasuk pemerintah daerah/pemda), yang umumnya tidak ada kewajiban mencari laba. Para pegawainya tidak dibebani secara khusus untuk menjual produk barang atau pun jasa.
Malahan, yang diwajibkan negara adalah menghabiskan uang setiap tahun melalui daftar isian pelaksanaan anggaran dalam waktu singkat, minimal sesuai tenggat waktu yang telah ditentukan. Intinya, serapan anggaran harus habis, tuntas dalam periode tertentu setiap tahun anggaran.
Akan tetapi, meski cuma diminta menghabiskan uang, organisasi pemerintah acap tidak bisa. Inilah yang membuat Menteri Keuangan, bahkan Presiden marah, khususnya, kepada pemda yang selalu lambat dan menyisakan anggaran yang sudah diberikan. Negara sudah susah payah mencari uang yang berasal dari ekspor komoditi, pajak, retribusi, dan sebagian utang, tetapi tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, malahan mengendap di bank.
Kondisi itulah yang terjadi daerah. Sampai ujung November 2022, daerah-daerah yang dana APBD-nya masih mengendap di bank antara lain Sulawesi Tengah dengan realisasi baru 44%, diikuti Kalimantan Timur 49%, Papua Barat 53%, Bangka Belitung 54%, Jambi 61%, dan Papua 62%.
Masalah Klasik
tulis komentar anda