Korupsi yang Berevolusi
Sabtu, 17 Desember 2022 - 07:38 WIB
Bagaimana Wajah Korupsi di Indonesia?
Menurut Bank Dunia, dengan PDB per kapita USD4.291,8, Indonesia termasuk ke dalam negara berpendapatan menengah. Secara teori dan berdasarkan indikasi berikut, korupsi di Indonesia cenderung transisional.
Pertama, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tren skor Indeks Persepsi Anti-Korupsi (IPAK)—indeks untuk mengukur toleransi terhadap korupsi berskala kecil—Indonesia meningkat. Skor IPAK Indonesia per Agustus 2022 adalah sebesar 3,93 dari 5, naik dari 3,88 di tahun sebelumnya. Artinya, tingkat persepsi dan pengalaman antikorupsi masyarakat terhadap korupsi kasatmata semakin bagus. Maraknya pembangunan zona integritas dalam kerangka reformasi birokrasi di berbagai instansi pemerintah diduga juga turut memberikan andil dalam berkurangnya praktik korupsi tingkat bawah ini.
Kedua, perilaku suap mengalami eskalasi ke tingkatan birokrasi yang lebih tinggi. Kasus suap kepada direktur jenderal di Kementerian Perdagangan untuk menerbitkan izin ekspor CPO, kasus suap terhadap anggota DPR, atau kasus suap terhadap rektor beberapa waktu yang lalu menjadi contohnya. Ketiga, bentuk-bentuk korupsi modern mulai marak. Kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri serta sejumlah kasus korupsi perbankan yang melibatkan bank BUMN, menjadi bukti bahwa modus skandal keuangan juga telah terjadi. Penyembunyian aset yang kompleks seperti dalam kasus e-KTP juga menjadi fenomena empiris berikutnya.
Perlu Pendekatan Baru
Dengan wajah korupsi yang berevolusi, harus dipikirkan pendekatan pemberantasan yang baru. Pertama, sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap perlu diperkuat. Dari 1.194 kasus yang ditangani KPK sejak 2004 hingga 2021, mayoritas (65%) adalah kasus suap yang merupakan bentuk korupsi konvensional. Akibatnya, akumulasi pengalaman yang dimiliki KPK hampir didominasi seputar penanganan kasus suap sehingga KPK perlu ditingkatkan kapasitasnya.
Kedua, sebagai titik sentral dalam korupsi transisional, sektor sumber daya alam belum menjadi prioritas pembenahan. Dalam Perpres Nomor 54/2018, fokus pemerintah adalah pada sektor perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Mengingat potensi kekayaan alam Indonesia yang besar, perlu dilakukan mitigasi serius risiko korupsi di sektor ini, termasuk kemungkinan dapat terjadinya persinggungan bisnis dan birokrasi dalam bentuk konflik kepentingan yang ditutupi dengan kebijakan.
Ketiga, kualitas demokrasi perlu ditingkatkan. Agar berbanding lurus dengan turunnya angka korupsi, peningkatan perekonomian harus dibarengi dengan demokrasi yang baik. Kenaikan PDB dan realisasi investasi Indonesia saat ini memang dapat mencerminkan penurunan tingkat korupsi. Namun, komponen demokrasi Indonesia dalam penghitungan indeks persepsi korupsi Bertelsmann Transform Index serta Varieties of Democracy Project mengalami penurunan.
Ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Jangan sampai pengalaman Sudan terjadi di sini. Karena tidak dibarengi dengan reformasi politik, peningkatan PDB dan investasi di Sudan justru menyuburkan korupsi. Endemi korupsi kecil meluas ke penggarongan yang lebih besar, seperti penjualan serampangan tanah negara di Darfur atau larinya pendapatan minyak negara ke rekening pribadi Presiden Bashir.
Pendekatan baru pemberantasan korupsi memerlukan dukungan berkelanjutan pemerintah terhadap penguatan kelembagaan antikorupsi. Selain itu, diperlukan juga upaya penyeimbangan antara pembangunan ekonomi dengan perbaikan kualitas demokrasi.
Menurut Bank Dunia, dengan PDB per kapita USD4.291,8, Indonesia termasuk ke dalam negara berpendapatan menengah. Secara teori dan berdasarkan indikasi berikut, korupsi di Indonesia cenderung transisional.
Pertama, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tren skor Indeks Persepsi Anti-Korupsi (IPAK)—indeks untuk mengukur toleransi terhadap korupsi berskala kecil—Indonesia meningkat. Skor IPAK Indonesia per Agustus 2022 adalah sebesar 3,93 dari 5, naik dari 3,88 di tahun sebelumnya. Artinya, tingkat persepsi dan pengalaman antikorupsi masyarakat terhadap korupsi kasatmata semakin bagus. Maraknya pembangunan zona integritas dalam kerangka reformasi birokrasi di berbagai instansi pemerintah diduga juga turut memberikan andil dalam berkurangnya praktik korupsi tingkat bawah ini.
Kedua, perilaku suap mengalami eskalasi ke tingkatan birokrasi yang lebih tinggi. Kasus suap kepada direktur jenderal di Kementerian Perdagangan untuk menerbitkan izin ekspor CPO, kasus suap terhadap anggota DPR, atau kasus suap terhadap rektor beberapa waktu yang lalu menjadi contohnya. Ketiga, bentuk-bentuk korupsi modern mulai marak. Kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri serta sejumlah kasus korupsi perbankan yang melibatkan bank BUMN, menjadi bukti bahwa modus skandal keuangan juga telah terjadi. Penyembunyian aset yang kompleks seperti dalam kasus e-KTP juga menjadi fenomena empiris berikutnya.
Perlu Pendekatan Baru
Dengan wajah korupsi yang berevolusi, harus dipikirkan pendekatan pemberantasan yang baru. Pertama, sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap perlu diperkuat. Dari 1.194 kasus yang ditangani KPK sejak 2004 hingga 2021, mayoritas (65%) adalah kasus suap yang merupakan bentuk korupsi konvensional. Akibatnya, akumulasi pengalaman yang dimiliki KPK hampir didominasi seputar penanganan kasus suap sehingga KPK perlu ditingkatkan kapasitasnya.
Kedua, sebagai titik sentral dalam korupsi transisional, sektor sumber daya alam belum menjadi prioritas pembenahan. Dalam Perpres Nomor 54/2018, fokus pemerintah adalah pada sektor perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Mengingat potensi kekayaan alam Indonesia yang besar, perlu dilakukan mitigasi serius risiko korupsi di sektor ini, termasuk kemungkinan dapat terjadinya persinggungan bisnis dan birokrasi dalam bentuk konflik kepentingan yang ditutupi dengan kebijakan.
Ketiga, kualitas demokrasi perlu ditingkatkan. Agar berbanding lurus dengan turunnya angka korupsi, peningkatan perekonomian harus dibarengi dengan demokrasi yang baik. Kenaikan PDB dan realisasi investasi Indonesia saat ini memang dapat mencerminkan penurunan tingkat korupsi. Namun, komponen demokrasi Indonesia dalam penghitungan indeks persepsi korupsi Bertelsmann Transform Index serta Varieties of Democracy Project mengalami penurunan.
Ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Jangan sampai pengalaman Sudan terjadi di sini. Karena tidak dibarengi dengan reformasi politik, peningkatan PDB dan investasi di Sudan justru menyuburkan korupsi. Endemi korupsi kecil meluas ke penggarongan yang lebih besar, seperti penjualan serampangan tanah negara di Darfur atau larinya pendapatan minyak negara ke rekening pribadi Presiden Bashir.
Pendekatan baru pemberantasan korupsi memerlukan dukungan berkelanjutan pemerintah terhadap penguatan kelembagaan antikorupsi. Selain itu, diperlukan juga upaya penyeimbangan antara pembangunan ekonomi dengan perbaikan kualitas demokrasi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda