Korupsi yang Berevolusi
loading...
A
A
A
Darmawan Sigit Pranoto
Mahasiswa Pascasarjana FIA UI, Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana FIA UI
KORUPSI berevolusi menurut tingkat pendapatan dan kualitas demokrasi suatu negara (Ali, 2015; Graycar & Monaghan, 2015).
Di negara miskin dan kurang demokratis, korupsi berwujud dalam bentuk pemerasan, penyelundupan, dan penimbunan komoditas vital dalam lingkungan politik yang tidak stabil. Mayoritas korupsi terjadi secara kasatmata dan didominasi penggunaan uang tunai. Korupsi konvensional merajalela di berbagai sektor akibat tidak dipercayainya institusi publik.
Sementara itu, di negara kaya dan demokratis, korupsi menjelma dalam bentuk konflik kepentingan yang dilegalkan, skandal keuangan korporasi, dan kolusi bisnis dengan birokrasi. Korupsi modern melibatkan nilai yang besar, samar di permukaan, dan disertai adanya penyembunyian aset yang rumit. Sepanjang tidak mengganggu supremasi hukum, korupsi terstruktur ini dapat ditoleransi: publik percaya adanya korupsi, namun yakin hukum akan ditegakkan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Jika korupsi konvensional dan korupsi modern menjadi dua ujung sumbu berseberangan, korupsi negara berkembang menjadi transisi di antara keduanya. Korupsi transisional ini biasanya berbentuk pelarian kekayaan strategis negara ke segelintir pihak. Penyembunyian pendapatan riil di sektor sumber daya alam, penghindaran pajak, dan likuidasi aset negara dalam bentuk privatisasi menjadi praktik yang lazim. Suap akar rumput berevolusi menjadi suap kepada pejabat publik di tingkatan yang lebih tinggi, khususnya untuk memuluskan keputusan-keputusan penting.
Embrio perselingkuhan swasta dengan pemerintah muncul saat jaringan politik yang memegang margin kritis kekuasaan menjalin hubungan dengan kepentingan privat yang batas-batasnya tidak terdefinisikan dengan patut. Konflik kepentingan mulai dilindungi dengan produk-produk kebijakan yang timpang.
Korupsi konvensional di negara berkembang masih ramai terjadi, tetapi praktiknya di tingkat elite sulit terendus. Di sisi lain, korupsi modern mulai muncul dengan menguatnya oligarki politik dan ekonomi.
Bagaimana Wajah Korupsi di Indonesia?
Menurut Bank Dunia, dengan PDB per kapita USD4.291,8, Indonesia termasuk ke dalam negara berpendapatan menengah. Secara teori dan berdasarkan indikasi berikut, korupsi di Indonesia cenderung transisional.
Pertama, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tren skor Indeks Persepsi Anti-Korupsi (IPAK)—indeks untuk mengukur toleransi terhadap korupsi berskala kecil—Indonesia meningkat. Skor IPAK Indonesia per Agustus 2022 adalah sebesar 3,93 dari 5, naik dari 3,88 di tahun sebelumnya. Artinya, tingkat persepsi dan pengalaman antikorupsi masyarakat terhadap korupsi kasatmata semakin bagus. Maraknya pembangunan zona integritas dalam kerangka reformasi birokrasi di berbagai instansi pemerintah diduga juga turut memberikan andil dalam berkurangnya praktik korupsi tingkat bawah ini.
Kedua, perilaku suap mengalami eskalasi ke tingkatan birokrasi yang lebih tinggi. Kasus suap kepada direktur jenderal di Kementerian Perdagangan untuk menerbitkan izin ekspor CPO, kasus suap terhadap anggota DPR, atau kasus suap terhadap rektor beberapa waktu yang lalu menjadi contohnya. Ketiga, bentuk-bentuk korupsi modern mulai marak. Kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri serta sejumlah kasus korupsi perbankan yang melibatkan bank BUMN, menjadi bukti bahwa modus skandal keuangan juga telah terjadi. Penyembunyian aset yang kompleks seperti dalam kasus e-KTP juga menjadi fenomena empiris berikutnya.
Perlu Pendekatan Baru
Dengan wajah korupsi yang berevolusi, harus dipikirkan pendekatan pemberantasan yang baru. Pertama, sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap perlu diperkuat. Dari 1.194 kasus yang ditangani KPK sejak 2004 hingga 2021, mayoritas (65%) adalah kasus suap yang merupakan bentuk korupsi konvensional. Akibatnya, akumulasi pengalaman yang dimiliki KPK hampir didominasi seputar penanganan kasus suap sehingga KPK perlu ditingkatkan kapasitasnya.
Kedua, sebagai titik sentral dalam korupsi transisional, sektor sumber daya alam belum menjadi prioritas pembenahan. Dalam Perpres Nomor 54/2018, fokus pemerintah adalah pada sektor perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Mengingat potensi kekayaan alam Indonesia yang besar, perlu dilakukan mitigasi serius risiko korupsi di sektor ini, termasuk kemungkinan dapat terjadinya persinggungan bisnis dan birokrasi dalam bentuk konflik kepentingan yang ditutupi dengan kebijakan.
Ketiga, kualitas demokrasi perlu ditingkatkan. Agar berbanding lurus dengan turunnya angka korupsi, peningkatan perekonomian harus dibarengi dengan demokrasi yang baik. Kenaikan PDB dan realisasi investasi Indonesia saat ini memang dapat mencerminkan penurunan tingkat korupsi. Namun, komponen demokrasi Indonesia dalam penghitungan indeks persepsi korupsi Bertelsmann Transform Index serta Varieties of Democracy Project mengalami penurunan.
Ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Jangan sampai pengalaman Sudan terjadi di sini. Karena tidak dibarengi dengan reformasi politik, peningkatan PDB dan investasi di Sudan justru menyuburkan korupsi. Endemi korupsi kecil meluas ke penggarongan yang lebih besar, seperti penjualan serampangan tanah negara di Darfur atau larinya pendapatan minyak negara ke rekening pribadi Presiden Bashir.
Pendekatan baru pemberantasan korupsi memerlukan dukungan berkelanjutan pemerintah terhadap penguatan kelembagaan antikorupsi. Selain itu, diperlukan juga upaya penyeimbangan antara pembangunan ekonomi dengan perbaikan kualitas demokrasi.
Mahasiswa Pascasarjana FIA UI, Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana FIA UI
KORUPSI berevolusi menurut tingkat pendapatan dan kualitas demokrasi suatu negara (Ali, 2015; Graycar & Monaghan, 2015).
Di negara miskin dan kurang demokratis, korupsi berwujud dalam bentuk pemerasan, penyelundupan, dan penimbunan komoditas vital dalam lingkungan politik yang tidak stabil. Mayoritas korupsi terjadi secara kasatmata dan didominasi penggunaan uang tunai. Korupsi konvensional merajalela di berbagai sektor akibat tidak dipercayainya institusi publik.
Sementara itu, di negara kaya dan demokratis, korupsi menjelma dalam bentuk konflik kepentingan yang dilegalkan, skandal keuangan korporasi, dan kolusi bisnis dengan birokrasi. Korupsi modern melibatkan nilai yang besar, samar di permukaan, dan disertai adanya penyembunyian aset yang rumit. Sepanjang tidak mengganggu supremasi hukum, korupsi terstruktur ini dapat ditoleransi: publik percaya adanya korupsi, namun yakin hukum akan ditegakkan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Jika korupsi konvensional dan korupsi modern menjadi dua ujung sumbu berseberangan, korupsi negara berkembang menjadi transisi di antara keduanya. Korupsi transisional ini biasanya berbentuk pelarian kekayaan strategis negara ke segelintir pihak. Penyembunyian pendapatan riil di sektor sumber daya alam, penghindaran pajak, dan likuidasi aset negara dalam bentuk privatisasi menjadi praktik yang lazim. Suap akar rumput berevolusi menjadi suap kepada pejabat publik di tingkatan yang lebih tinggi, khususnya untuk memuluskan keputusan-keputusan penting.
Embrio perselingkuhan swasta dengan pemerintah muncul saat jaringan politik yang memegang margin kritis kekuasaan menjalin hubungan dengan kepentingan privat yang batas-batasnya tidak terdefinisikan dengan patut. Konflik kepentingan mulai dilindungi dengan produk-produk kebijakan yang timpang.
Korupsi konvensional di negara berkembang masih ramai terjadi, tetapi praktiknya di tingkat elite sulit terendus. Di sisi lain, korupsi modern mulai muncul dengan menguatnya oligarki politik dan ekonomi.
Bagaimana Wajah Korupsi di Indonesia?
Menurut Bank Dunia, dengan PDB per kapita USD4.291,8, Indonesia termasuk ke dalam negara berpendapatan menengah. Secara teori dan berdasarkan indikasi berikut, korupsi di Indonesia cenderung transisional.
Pertama, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tren skor Indeks Persepsi Anti-Korupsi (IPAK)—indeks untuk mengukur toleransi terhadap korupsi berskala kecil—Indonesia meningkat. Skor IPAK Indonesia per Agustus 2022 adalah sebesar 3,93 dari 5, naik dari 3,88 di tahun sebelumnya. Artinya, tingkat persepsi dan pengalaman antikorupsi masyarakat terhadap korupsi kasatmata semakin bagus. Maraknya pembangunan zona integritas dalam kerangka reformasi birokrasi di berbagai instansi pemerintah diduga juga turut memberikan andil dalam berkurangnya praktik korupsi tingkat bawah ini.
Kedua, perilaku suap mengalami eskalasi ke tingkatan birokrasi yang lebih tinggi. Kasus suap kepada direktur jenderal di Kementerian Perdagangan untuk menerbitkan izin ekspor CPO, kasus suap terhadap anggota DPR, atau kasus suap terhadap rektor beberapa waktu yang lalu menjadi contohnya. Ketiga, bentuk-bentuk korupsi modern mulai marak. Kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri serta sejumlah kasus korupsi perbankan yang melibatkan bank BUMN, menjadi bukti bahwa modus skandal keuangan juga telah terjadi. Penyembunyian aset yang kompleks seperti dalam kasus e-KTP juga menjadi fenomena empiris berikutnya.
Perlu Pendekatan Baru
Dengan wajah korupsi yang berevolusi, harus dipikirkan pendekatan pemberantasan yang baru. Pertama, sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap perlu diperkuat. Dari 1.194 kasus yang ditangani KPK sejak 2004 hingga 2021, mayoritas (65%) adalah kasus suap yang merupakan bentuk korupsi konvensional. Akibatnya, akumulasi pengalaman yang dimiliki KPK hampir didominasi seputar penanganan kasus suap sehingga KPK perlu ditingkatkan kapasitasnya.
Kedua, sebagai titik sentral dalam korupsi transisional, sektor sumber daya alam belum menjadi prioritas pembenahan. Dalam Perpres Nomor 54/2018, fokus pemerintah adalah pada sektor perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Mengingat potensi kekayaan alam Indonesia yang besar, perlu dilakukan mitigasi serius risiko korupsi di sektor ini, termasuk kemungkinan dapat terjadinya persinggungan bisnis dan birokrasi dalam bentuk konflik kepentingan yang ditutupi dengan kebijakan.
Ketiga, kualitas demokrasi perlu ditingkatkan. Agar berbanding lurus dengan turunnya angka korupsi, peningkatan perekonomian harus dibarengi dengan demokrasi yang baik. Kenaikan PDB dan realisasi investasi Indonesia saat ini memang dapat mencerminkan penurunan tingkat korupsi. Namun, komponen demokrasi Indonesia dalam penghitungan indeks persepsi korupsi Bertelsmann Transform Index serta Varieties of Democracy Project mengalami penurunan.
Ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Jangan sampai pengalaman Sudan terjadi di sini. Karena tidak dibarengi dengan reformasi politik, peningkatan PDB dan investasi di Sudan justru menyuburkan korupsi. Endemi korupsi kecil meluas ke penggarongan yang lebih besar, seperti penjualan serampangan tanah negara di Darfur atau larinya pendapatan minyak negara ke rekening pribadi Presiden Bashir.
Pendekatan baru pemberantasan korupsi memerlukan dukungan berkelanjutan pemerintah terhadap penguatan kelembagaan antikorupsi. Selain itu, diperlukan juga upaya penyeimbangan antara pembangunan ekonomi dengan perbaikan kualitas demokrasi.
(bmm)