Belajar Mundur dari Arena Piala Dunia Qatar
Jum'at, 16 Desember 2022 - 17:35 WIB
MUNDUR dari jabatan strategis bukan perkara gampang sejak dahulu kala. Apalagi, mengundurkan diri saat menduduki puncak kekuasaan, hampir mustahil dilakukan jika dilihat dari asas manfaat kekuasaan secara pragmatis. Meski hampir mustahil, mundur di puncak karier ternyata masih ada di dunia nyata. Bukan dalam dongeng pengantar tidur maupun novel-novel politik yang menjadi best seller internasional.
Contoh nyata mundur di puncak karier adalah apa yang dilakukan sejumlah pelatih tim nasional yang merasa gagal mencapai target tertentu di ajang sepak bola paling bergengsi di jagat raya, Piala Dunia Qatar 2022. Para pelatih tim yang mundur ini tentu bukan orang sembarangan. Juga bukan sosok yang minim prestasi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Bahkan, mungkin sebaliknya, cemerlang dan gemilang sepanjang karier kepelatihannya. Meloloskan tim nasional mereka ke Qatar tentu prestasi yang tidak main-main. Tidak semua pelatih mampu. Tidak semua negara bisa lolos dan lebih banyak yang gagal.
Dari sudut pandang ini, seorang pelatih yang memilih mundur setelah gagal di fase tertentu (babak penyisihan, 16 besar, 8 besar, 4 besar, hingga final) berarti memilih jalan para kesatria. Bukan jalan pragmatis yang biasa ditempuh para pecundang dan para pemburu jabatan. Memang, tidak semua pelatih yang tidak memilih mundur alias bertahan bisa serta merta disebut pecundang atau pemburu jabatan. Perlu dilihat konteks kebutuhan negaranya seperti apa.
Namun, mereka yang memilih mundur begitu hasil di lapangan tidak sesuai harapan tim dan fans-nya yang fanatik memiliki nilai tambah dan nilai lebih. Minimal, mereka memberikan jalan dan solusi yang lebih longgar bagi masa depan timnya. Tidak egois dengan menyalahkan anak asuhannya. Apalagi, menyalahkan wasit, penonton lawan, kondisi stadion, cuaca, dan segala hal yang tidak terkait langsung dengan kekalahan timnya.
Kalau mau menggunakan alasan dan pembenaran, seribu satu item bisa dimanfaatkan agar posisi sebagai pelatih timnas tidak tergantikan. Tapi, sejumlah pelatih ini memilih tidak memilih cara itu. Jalur sunyi dengan sadar tanpa desakan siapa pun untuk meletakkan jabatan pelatih lebih melegakan batin mereka ketika pulang ke tanah air masing-masing.
Mengapa mundur menjadi begitu istimewa di tengah dunia yang semakin pragmatis? Ya, karena sikap kesatria semakin ke belakang semakin sulit ditemui. Apa yang dilakukan Louis van Gaal, pelatih timnas Belanda, Tite (Brasil), Luis Enrique (Spanyol), Roberto Martinez (Belgia), Gerardo Martino (Meksiko), Paulo Bento (Korea Selatan), dan Ota Addo (Ghana) mewakili topik bahasan di atas. Bisa jadi akan bertambah lagi nama-nama besar di dunia sepak bola akan mengikuti jejak mereka.
Mereka adalah nama-nama besar yang pasti akan menjadi incaran klub-klub elite di Eropa, Asia, Amerika, Timur Tengah, Afrika, dan lain-lain. Apakah mereka sudah berhitung begitu mundur akan menerima posisi yang baru di tempat lain? Belum tentu. Mereka mundur lebih pada spontanitas sebagai bentuk tanggung jawab moral atas sebuah kegagalan di antara sekian banyak keberhasilan dan prestasi yang diraih.
Contoh nyata mundur di puncak karier adalah apa yang dilakukan sejumlah pelatih tim nasional yang merasa gagal mencapai target tertentu di ajang sepak bola paling bergengsi di jagat raya, Piala Dunia Qatar 2022. Para pelatih tim yang mundur ini tentu bukan orang sembarangan. Juga bukan sosok yang minim prestasi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Bahkan, mungkin sebaliknya, cemerlang dan gemilang sepanjang karier kepelatihannya. Meloloskan tim nasional mereka ke Qatar tentu prestasi yang tidak main-main. Tidak semua pelatih mampu. Tidak semua negara bisa lolos dan lebih banyak yang gagal.
Dari sudut pandang ini, seorang pelatih yang memilih mundur setelah gagal di fase tertentu (babak penyisihan, 16 besar, 8 besar, 4 besar, hingga final) berarti memilih jalan para kesatria. Bukan jalan pragmatis yang biasa ditempuh para pecundang dan para pemburu jabatan. Memang, tidak semua pelatih yang tidak memilih mundur alias bertahan bisa serta merta disebut pecundang atau pemburu jabatan. Perlu dilihat konteks kebutuhan negaranya seperti apa.
Namun, mereka yang memilih mundur begitu hasil di lapangan tidak sesuai harapan tim dan fans-nya yang fanatik memiliki nilai tambah dan nilai lebih. Minimal, mereka memberikan jalan dan solusi yang lebih longgar bagi masa depan timnya. Tidak egois dengan menyalahkan anak asuhannya. Apalagi, menyalahkan wasit, penonton lawan, kondisi stadion, cuaca, dan segala hal yang tidak terkait langsung dengan kekalahan timnya.
Kalau mau menggunakan alasan dan pembenaran, seribu satu item bisa dimanfaatkan agar posisi sebagai pelatih timnas tidak tergantikan. Tapi, sejumlah pelatih ini memilih tidak memilih cara itu. Jalur sunyi dengan sadar tanpa desakan siapa pun untuk meletakkan jabatan pelatih lebih melegakan batin mereka ketika pulang ke tanah air masing-masing.
Mengapa mundur menjadi begitu istimewa di tengah dunia yang semakin pragmatis? Ya, karena sikap kesatria semakin ke belakang semakin sulit ditemui. Apa yang dilakukan Louis van Gaal, pelatih timnas Belanda, Tite (Brasil), Luis Enrique (Spanyol), Roberto Martinez (Belgia), Gerardo Martino (Meksiko), Paulo Bento (Korea Selatan), dan Ota Addo (Ghana) mewakili topik bahasan di atas. Bisa jadi akan bertambah lagi nama-nama besar di dunia sepak bola akan mengikuti jejak mereka.
Mereka adalah nama-nama besar yang pasti akan menjadi incaran klub-klub elite di Eropa, Asia, Amerika, Timur Tengah, Afrika, dan lain-lain. Apakah mereka sudah berhitung begitu mundur akan menerima posisi yang baru di tempat lain? Belum tentu. Mereka mundur lebih pada spontanitas sebagai bentuk tanggung jawab moral atas sebuah kegagalan di antara sekian banyak keberhasilan dan prestasi yang diraih.
Lihat Juga :
tulis komentar anda