Tata Kelola Keamanan Laut Indonesia
Jum'at, 10 Juli 2020 - 07:01 WIB
Isu Keamanan Laut dalam Regulasi
Di sinilah UU Kelautan Tahun 2014 diharapkan untuk menjawab keraguan hukum ini. Namun, sebagai faktor penghambat ketiga, UU Kelautan juga dirasakan masih terdapat catatan yang perlu dipikirkan untuk perbaikan. Secara ruang lingkup materi, UU Kelautan ini sudah memenuhi pengaturan di laut yang lintas sektor. Akan tetapi, UU Kelautan ini tidak melakukan harmonisasi terhadap undang-undang terkait yang telah terbit terlebih dahulu. Hal ini membuat keadaan tumpang tindih kewenangan, tugas dan fungsi terus berlanjut.
Selanjutnya, UU Kelautan ini tidak menggantikan UU Nomor 6/1996 tentang Perairan Indonesia, tetapi hanya mencabut satu pasal terkait Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). UU Kelautan kemudian menyatakan bahwa Bakamla menggantikan lembaga tersebut. Di sinilah terbaca seolah-olah semangat tugas Bakamla sama dengan Bakorkamla yang hanya melakukan koordinasi. Hal ini jelas sangat tidak sinkron dengan semangat yang ada di pasal mengenai kewenangan, tugas, dan fungsi Bakamla luas dalam penegakan hukum lintas sektor di bawah UU Kelautan. Kelemahan lain dari UU Kelautan ini adalah tidak diberikannya kewenangan penyidikan kepada Bakamla. Hal mana sangat disayangkan berbagai pihak.
Pilihan ke Depan
UU Kelautan secara khusus memberikan amanat kepada Pemerintah Indonesia untuk membuat peraturan pemerintah atas kebijakan tata kelola dan kelembagaan laut dengan melakukan penataan hukum laut, termasuk aspek publik dengan memperhatikan hukum internasional yang berlaku. Substansi aturan ini dapat diartikan bahwa pemerintah dapat membuat sebuah kebijakan hukum berdasarkan UU Kelautan ini untuk penguatan Bakamla.
Dengan prioritas tugas penyinergian dan pengawasan pelaksanaan patroli, Bakamla menjadi lembaga kolaborator dari semua elemen patroli yang ada di wilayah laut Indonesia. Sentralisasi pengaturan patroli penegakan hukum oleh Bakamla diharapkan bisa mewujudkan efisiensi pengawasan aktivitas di laut. Dalam hal ini, keterbatasan sumber daya kapal dan personel dari semua instansi terkait dapat diakumulasikan dan diatur oleh Bakamla sehingga wilayah laut Indonesia dapat dijaga secara merata.
Pilihan lain untuk memperbaiki kelemahan dalam kebijakan keamanan dan penegakan hukum adalah dengan melakukan revisi UU Kelautan. Dengan identifikasi segala isu yang perlu diatur lebih banyak dalam mewujudkan penegakan hukum yang ideal, maka ihwal tersebut dapat ditambahkan ke dalam undang-undang revisi di kemudian hari. Pilihan lain yang lebih ideal adalah untuk membuat kebijakan yang lebih komprehensif dengan membuat klausul dalam undang-undang revisi agar pengaturan pengelolaan penegakan hukum di wilayah laut diatur khusus dalam undang-undang tersendiri.
Di sinilah UU Kelautan Tahun 2014 diharapkan untuk menjawab keraguan hukum ini. Namun, sebagai faktor penghambat ketiga, UU Kelautan juga dirasakan masih terdapat catatan yang perlu dipikirkan untuk perbaikan. Secara ruang lingkup materi, UU Kelautan ini sudah memenuhi pengaturan di laut yang lintas sektor. Akan tetapi, UU Kelautan ini tidak melakukan harmonisasi terhadap undang-undang terkait yang telah terbit terlebih dahulu. Hal ini membuat keadaan tumpang tindih kewenangan, tugas dan fungsi terus berlanjut.
Selanjutnya, UU Kelautan ini tidak menggantikan UU Nomor 6/1996 tentang Perairan Indonesia, tetapi hanya mencabut satu pasal terkait Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). UU Kelautan kemudian menyatakan bahwa Bakamla menggantikan lembaga tersebut. Di sinilah terbaca seolah-olah semangat tugas Bakamla sama dengan Bakorkamla yang hanya melakukan koordinasi. Hal ini jelas sangat tidak sinkron dengan semangat yang ada di pasal mengenai kewenangan, tugas, dan fungsi Bakamla luas dalam penegakan hukum lintas sektor di bawah UU Kelautan. Kelemahan lain dari UU Kelautan ini adalah tidak diberikannya kewenangan penyidikan kepada Bakamla. Hal mana sangat disayangkan berbagai pihak.
Pilihan ke Depan
UU Kelautan secara khusus memberikan amanat kepada Pemerintah Indonesia untuk membuat peraturan pemerintah atas kebijakan tata kelola dan kelembagaan laut dengan melakukan penataan hukum laut, termasuk aspek publik dengan memperhatikan hukum internasional yang berlaku. Substansi aturan ini dapat diartikan bahwa pemerintah dapat membuat sebuah kebijakan hukum berdasarkan UU Kelautan ini untuk penguatan Bakamla.
Dengan prioritas tugas penyinergian dan pengawasan pelaksanaan patroli, Bakamla menjadi lembaga kolaborator dari semua elemen patroli yang ada di wilayah laut Indonesia. Sentralisasi pengaturan patroli penegakan hukum oleh Bakamla diharapkan bisa mewujudkan efisiensi pengawasan aktivitas di laut. Dalam hal ini, keterbatasan sumber daya kapal dan personel dari semua instansi terkait dapat diakumulasikan dan diatur oleh Bakamla sehingga wilayah laut Indonesia dapat dijaga secara merata.
Pilihan lain untuk memperbaiki kelemahan dalam kebijakan keamanan dan penegakan hukum adalah dengan melakukan revisi UU Kelautan. Dengan identifikasi segala isu yang perlu diatur lebih banyak dalam mewujudkan penegakan hukum yang ideal, maka ihwal tersebut dapat ditambahkan ke dalam undang-undang revisi di kemudian hari. Pilihan lain yang lebih ideal adalah untuk membuat kebijakan yang lebih komprehensif dengan membuat klausul dalam undang-undang revisi agar pengaturan pengelolaan penegakan hukum di wilayah laut diatur khusus dalam undang-undang tersendiri.
(ras)
tulis komentar anda