Tata Kelola Keamanan Laut Indonesia
Jum'at, 10 Juli 2020 - 07:01 WIB
Perbaikan atas pola koordinasi penegakan hukum di laut sejatinya telah diusahakan sejak 1972. Sayangnya, usaha tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal. Banyak pihak menduga ketidakberhasilan usaha tersebut karena kuatnya ego sektoral dari kementerian lembaga yang memang memiliki kewenangan berdasarkan aturan setingkat undang-undang. Selama ini usaha pembenahan tidak efektif karena hanya dilakukan pada tingkat keputusan bersama beberapa pejabat kementerian/lembaga dan terakhir melalui Peraturan Presiden Tahun 2005 untuk memperkuat Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla).
Presiden Jokowi, sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang, merespons aspirasi di atas dengan melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 32/2014 tentang Kelautan (UU Kelautan) dengan perintahnya untuk memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla). Hal ini disampaikan pada beberapa kesempatan, termasuk saat melantik kepala Bakamla yang terbaru. Arahan dari pimpinan tertinggi di Indonesia ini sangat perlu untuk didukung secara penuh dengan kehati-hatian.
UU Kelautan ini merupakan peraturan nasional terakhir yang mengatur secara luas mengenai laut dan isu kelautan. Khusus mengenai isu penegakan hukum, UU Kelautan secara gamblang menyebut sebuah lembaga nonkementerian yang bertugas untuk hal tersebut, yaitu Badan Keamanan Laut (Bakamla). Sebuah pilihan kebijakan hukum yang sudah tercantum dalam produk hukum nasional di mana eksekutif dan legislatif telah menyetujuinya. Sayangnya, jalan kelahiran atas sebuah lembaga tunggal dalam penegakan hukum di laut masih banyak terdapat hambatan.
Paling tidak, hambatan tersebut ada tiga hal. Pertama, kekhawatiran sektor terkait akan "penggabungan" kewenangan. Kedua, dualisme lembaga penjaga pantai dan laut. Dan ketiga, keberadaan isu keamanan laut dalam tataran regulasi.
Penggabungan Kewenangan
Dengan semangat lembaga tunggal (single agency) dalam penegakan hukum di laut, banyak reaksi yang muncul dari sektor terkait yang memang memiliki kewenangan isu di laut. Dapat dipahami bahwa sebuah lembaga yang relatif baru lahir belum tentu mampu langsung efektif menangani semua kewenangan dalam menjaga laut Indonesia yang begitu luas.
UU Kelautan pun mencoba untuk mengerti proses ini dengan memberikan "tugas prioritas" Bakamla dengan menyatakan dalam Pasal 59 ayat 3, yaitu "khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia". Hal ini sesuai dengan mukadimah UU Kelautan yang bertujuan untuk "memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat". Ke depan diharapkan para pengguna wilayah laut Indonesia tidak lagi khawatir akan banyaknya "pintu penjagaan" di laut dari instansi yang berbeda.
Dualisme Lembaga Penjagaan Laut
Sebelum terbentuk Bakamla berdasarkan UU Kelautan, Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) sudah terbentuk terlebih dahulu di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Hal ini seolah-olah terjadi dualisme lembaga penjaga pantai dan laut (coast guard) di Indonesia.
Terkait dengan penegakan hukum di bawah UU Pelayaran, sejatinya mandat pembentukan Penjaga Laut dan Pantai perlu dibuat peraturan lanjutan dalam tingkat peraturan pemerintah. Namun, hingga saat ini amanat UU Pelayaran ini belum juga terwujudkan. Hal ini mungkin saja merupakan keraguan dari pembuat hukum atas ruang lingkup kewenangan penegak hukum dalam UU Pelayaran itu. Jika memang ditujukan untuk penegakan hukum secara umum di laut, maka sektor lain akan menolak karena kewenangannya yang berada dalam lingkup pelayaran.
Presiden Jokowi, sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang, merespons aspirasi di atas dengan melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 32/2014 tentang Kelautan (UU Kelautan) dengan perintahnya untuk memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla). Hal ini disampaikan pada beberapa kesempatan, termasuk saat melantik kepala Bakamla yang terbaru. Arahan dari pimpinan tertinggi di Indonesia ini sangat perlu untuk didukung secara penuh dengan kehati-hatian.
UU Kelautan ini merupakan peraturan nasional terakhir yang mengatur secara luas mengenai laut dan isu kelautan. Khusus mengenai isu penegakan hukum, UU Kelautan secara gamblang menyebut sebuah lembaga nonkementerian yang bertugas untuk hal tersebut, yaitu Badan Keamanan Laut (Bakamla). Sebuah pilihan kebijakan hukum yang sudah tercantum dalam produk hukum nasional di mana eksekutif dan legislatif telah menyetujuinya. Sayangnya, jalan kelahiran atas sebuah lembaga tunggal dalam penegakan hukum di laut masih banyak terdapat hambatan.
Paling tidak, hambatan tersebut ada tiga hal. Pertama, kekhawatiran sektor terkait akan "penggabungan" kewenangan. Kedua, dualisme lembaga penjaga pantai dan laut. Dan ketiga, keberadaan isu keamanan laut dalam tataran regulasi.
Penggabungan Kewenangan
Dengan semangat lembaga tunggal (single agency) dalam penegakan hukum di laut, banyak reaksi yang muncul dari sektor terkait yang memang memiliki kewenangan isu di laut. Dapat dipahami bahwa sebuah lembaga yang relatif baru lahir belum tentu mampu langsung efektif menangani semua kewenangan dalam menjaga laut Indonesia yang begitu luas.
UU Kelautan pun mencoba untuk mengerti proses ini dengan memberikan "tugas prioritas" Bakamla dengan menyatakan dalam Pasal 59 ayat 3, yaitu "khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia". Hal ini sesuai dengan mukadimah UU Kelautan yang bertujuan untuk "memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat". Ke depan diharapkan para pengguna wilayah laut Indonesia tidak lagi khawatir akan banyaknya "pintu penjagaan" di laut dari instansi yang berbeda.
Dualisme Lembaga Penjagaan Laut
Sebelum terbentuk Bakamla berdasarkan UU Kelautan, Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) sudah terbentuk terlebih dahulu di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Hal ini seolah-olah terjadi dualisme lembaga penjaga pantai dan laut (coast guard) di Indonesia.
Terkait dengan penegakan hukum di bawah UU Pelayaran, sejatinya mandat pembentukan Penjaga Laut dan Pantai perlu dibuat peraturan lanjutan dalam tingkat peraturan pemerintah. Namun, hingga saat ini amanat UU Pelayaran ini belum juga terwujudkan. Hal ini mungkin saja merupakan keraguan dari pembuat hukum atas ruang lingkup kewenangan penegak hukum dalam UU Pelayaran itu. Jika memang ditujukan untuk penegakan hukum secara umum di laut, maka sektor lain akan menolak karena kewenangannya yang berada dalam lingkup pelayaran.
tulis komentar anda