TII Sebut Simplifikasi Cukai Rokok Dukung Optimalisasi Penerimaan Negara
Kamis, 09 Juli 2020 - 08:47 WIB
JAKARTA - Sekjen Transparansi International Indonesia ( TII ) Danang Widoyoko menilai, langkah pemerintah dalam memproyeksikan kebijakan simplifikasi atau penyederhanaan struktur tarif cukai sebagai program strategis pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) sangatlah tepat.
Apalagi baru-baru ini Kementerian Keuangan juga telah menerbitkan PMK 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020 – 2024, yang menetapkan penyederhanaan struktur cukai hasil tembakau sebagai salah satu bagian strategi reformasi fiskal. (Baca juga: Pendiri KSP Indosurya Jamin Dana Nasabah Aman)
“Kebijakan cukai rokok jangka panjang tetap diperlukan untuk membangun iklim usaha yang baik, transparan, dan memberikan kepastian hukum. Karena itu, pembuatan kebijakan cukai jangka panjang perlu diformulasikan dan dituangkan pada peraturan yang memiliki kekuatan hukum dan dijalankan dengan konsisten,” jelas Danang dalam rilis yang diterima SINDOnews, Kamis (9/7/2020).
Menurut Danang, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui RPJMN yang kemudian diturunkan dalam PMK 77/2020 mengenai penyederhanaan struktur tarif cukai rokok, mencerminkan sikap dan komitmen pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus sebagai upaya pencapaian visi Presiden.
“Berbagai studi telah menyarankan bahwa penyederhanaan struktur tarif cukai rokok merupakan best practice bagi pengendalian konsumsi rokok. Perpres 18 tahun 2020 tentang RPJMN juga telah menggariskan simplifikasi cukai rokok sebagai upaya pencapaian visi Presiden yakni menciptakan sumber daya manusia unggul,” kata Danang.
Sebelumnya, aturan penyederhanaan struktur tarif cukai telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 tentang tarif cukai hasil tembakau. Dicantumkan dalam aturan tersebut, pemerintah akan menyederhanakan dari 12 layer pada tahun 2017 dan menjadi 5 layer pada 2021. Tujuannya, untuk optimalisasi penerimaan cukai hasil tembakau, meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik, serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai.
Namun demikian, kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok tersebut hanya berjalan 1 tahun di 2018 dan kemudian tidak dijalankan kembali, dengan dikeluarkannya PMK 156/2018 tentang perubahan atas PMK 146/2017 dan saat ini menjadi PMK 152/2019. Struktur tarif cukai dengan 10 layer dipertahankan untuk tahun fiskal 2019 sampai dengan saat ini.
“Struktur tarif yang diterapkan saat ini membuka peluang dan memberikan insentif bagi perusahaan besar multinasional untuk membayar cukai lebih rendah yang pada akhirnya berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar,” ujar Danang.
Menurut Danang, cukai bukan hanya sumber penerimaan negara, tetapi juga untuk pengendalian konsumsi rokok, penerimaan negara, bahkan perlindungan tenaga kerja seperti yang tercantum di UU 11 tahun 1995 juncto UU 39 tahun 2007 tentang Cukai.
Apalagi baru-baru ini Kementerian Keuangan juga telah menerbitkan PMK 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020 – 2024, yang menetapkan penyederhanaan struktur cukai hasil tembakau sebagai salah satu bagian strategi reformasi fiskal. (Baca juga: Pendiri KSP Indosurya Jamin Dana Nasabah Aman)
“Kebijakan cukai rokok jangka panjang tetap diperlukan untuk membangun iklim usaha yang baik, transparan, dan memberikan kepastian hukum. Karena itu, pembuatan kebijakan cukai jangka panjang perlu diformulasikan dan dituangkan pada peraturan yang memiliki kekuatan hukum dan dijalankan dengan konsisten,” jelas Danang dalam rilis yang diterima SINDOnews, Kamis (9/7/2020).
Menurut Danang, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui RPJMN yang kemudian diturunkan dalam PMK 77/2020 mengenai penyederhanaan struktur tarif cukai rokok, mencerminkan sikap dan komitmen pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus sebagai upaya pencapaian visi Presiden.
“Berbagai studi telah menyarankan bahwa penyederhanaan struktur tarif cukai rokok merupakan best practice bagi pengendalian konsumsi rokok. Perpres 18 tahun 2020 tentang RPJMN juga telah menggariskan simplifikasi cukai rokok sebagai upaya pencapaian visi Presiden yakni menciptakan sumber daya manusia unggul,” kata Danang.
Sebelumnya, aturan penyederhanaan struktur tarif cukai telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 tentang tarif cukai hasil tembakau. Dicantumkan dalam aturan tersebut, pemerintah akan menyederhanakan dari 12 layer pada tahun 2017 dan menjadi 5 layer pada 2021. Tujuannya, untuk optimalisasi penerimaan cukai hasil tembakau, meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik, serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai.
Namun demikian, kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok tersebut hanya berjalan 1 tahun di 2018 dan kemudian tidak dijalankan kembali, dengan dikeluarkannya PMK 156/2018 tentang perubahan atas PMK 146/2017 dan saat ini menjadi PMK 152/2019. Struktur tarif cukai dengan 10 layer dipertahankan untuk tahun fiskal 2019 sampai dengan saat ini.
“Struktur tarif yang diterapkan saat ini membuka peluang dan memberikan insentif bagi perusahaan besar multinasional untuk membayar cukai lebih rendah yang pada akhirnya berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar,” ujar Danang.
Menurut Danang, cukai bukan hanya sumber penerimaan negara, tetapi juga untuk pengendalian konsumsi rokok, penerimaan negara, bahkan perlindungan tenaga kerja seperti yang tercantum di UU 11 tahun 1995 juncto UU 39 tahun 2007 tentang Cukai.
tulis komentar anda