Maria P. Lumowa Ditunggu Vonis Seumur Hidup atau 20 Tahun Penjara

Kamis, 09 Juli 2020 - 08:17 WIB
Maria Pauline Lumowa sebelum dibawa ke Jakarta.foto: dok SINDOnews
JAKARTA - Maria Pauline Lumowa, tersangka kasus pembobolan Bank Negara Indonesia (BNI) yang baru saja tertangkap di Serbia, ditunggu hukuman maksimal: penjara 20 tahun atau seumur hidup. Ini mengacu pada tiga terpidana perkara pembobolan uang negara sebesar Rp1,7 triliun yang telah lebih dulu dihukum. Mereka adalah Adrian Waworuntu (penjara seumur hidup), Dicky Iskandar Di Nata (20 tahun) dan John Hamenda (20 tahun). Maria, pemegang paspor Belanda yang sudah 17 tahun menjadi buronan Pemerintah Indonesia ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019. "Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly dalam keterangan persnya, Rabu (8/7/2020).

Sebagai catatan, Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai USD136 juta dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.

Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd, Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd, dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI. Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, tapi Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.



Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura. Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.

Kolega Maria di Gramarindo, Adrian Herling Waworuntu, sempat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas vonis seumur hidup yang diketuk Mahkamah Agung pada 12 September 2005. Sejak dari persidangan tingkat petama di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan ia sudah dijatuhi hukuman seumur hidup. Upaya hukum banding dan kasasinya pun selalu mentok lantaran majelis hakim yang mengadilinya ogah mengoreksi vonis pengadilan tingkat satu.

Sedangkan Dicky Iskandar Di Nata sedikit lebih beruntung. Sejatinya ia dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum. Alasan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Dicky pernah terlibat dalam perbuatan serupa, yakni pembobolan Bank Duta pada tahun 1991 senilai Rp811 miliar. Perbuatan itu diganjar vonis 8 tahun penjara. Majelis hakim PN Jakarta Selatan menolak tuntutan JPU dengan alasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 yang dijadikan dasar oleh JPU mengajukan tuntutan tersebut tidak tercantum dalam surat dakwaan. Majelis memvonis Dicky dengan pidana penjara selama 20 tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsidair 5 (lima) bulan kurungan. Dicky dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan terdakwa lainnya.

Dalam pertimbangannya, majelis mengungkapkan fakta-fakta persidangan yang diantaranya mengenai penerimaan dana sebesar Rp49,2 miliar dan AS$2,9 juta yang awalnya dikatakan berasal dari investor asing dariIsrael. Namun setelah diaudit, ternyata kucuran dana tersebut berasal dari pencairan LC fiktif.

Ayah sutradara terkenal Nia Dinata itu tak perlu menjalani hukumannnya secara penuh. Ia meninggal dunia pada 28 November 2015 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Adapun John Hamenda dijatuhi sanksi 20 tahun penjara dan denda Rp1miliar setelah dinyatakan terbukti korupsi sebesar Rp 8,9 miliar. John adalah Direktur Utama PT Petindo Perkasa yang telah menandatangani 13 dokumen ekspor fiktif senilai AS$ 10 juta. Dokumen tersebut diajukan oleh perusahaannya kepada BNI cabang Kebayoran Baru. Pemberian fasilitas diskonto L/C tersebut dinilai tidak sesuai dengan prosedur BNI, karena bank penerbit di luar negeri yang mendiskonto L/C tersebut ternyata bukan bank koresponden dari BNI.

Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!