Sepuluh Prasyarat Obat Penangkal Covid-19
Rabu, 08 Juli 2020 - 07:05 WIB
Persoalan Izin Edar
Kelima, mengenai izin edar. Bahwa produk obat, obat tradisional, jamu, dan obat herbal harus mengantongi izin edar sebelum diedarkan/didistribusikan dan dikonsumsi masyarakat sebagai konsumen pengguna obat. Dan izin edar dimaksud menjadi ranah/tupoksi sektor kesehatan, baik itu Kementerian Kesehatan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Ditegaskan oleh Dr Mohammad Nasser, mewakili BNPB, dalam regulasi sediaan alat farmasi dan alat kesehatan bisa diedarkan hanya atas izin oleh pejabat yang berwenang; apabila ada obat yang beredar tanpa izin, maka sudah melanggar pasal ini. Penyediaan obat seharusnya diproduksi oleh orang-orang yang punya kompetensi keahlian farmasi.
Keenam, dalam kondisi apa pun, baik kondisi normal/reguler maupun kondisi darurat, seperti Covid-19 saat ini; standar untuk obat, obat tradisional, jamu, dan herbal adalah sama saja karena demi kepentingan perlindungan dan keselamatan publik secara luas dan/atau pasien. Ketujuh, dokter yang dalam praktik (mengobati pasien Covid-19) meresepkan obat, jamu, obat tradisional, dan herbal yang belum mengantongi izin edar dan belum memiliki standar yang jelas adalah bentuk pelanggaran disiplin profesi dan bahkan merupakan pelanggaran hukum. Demikian ditegaskan Prof Dr Sukman Tulus mewakili Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Sinergi Antar Lembaga
Wabah korona (Covid-19) harus dikendalikan dan yang sakit harus segera disembuhkan. Kedelapan, masalah dominan (80%) dalam wabah ini adalah masalah kesehatan publik sehingga yang terpenting adalah memperkuat surveil l ance , sedangkan 20%-nya adalah aspek kuratif/pengobatan yang berfungsi utama untuk mencegah potensi kematian dari pasien. Oleh karena itu, kesembilan, dalam masa pandemi seperti saat ini sangat diperlukan sinergi yang kuat antarlembaga/kementerian untuk mendorong percepatan ditemukannya obat/vaksin, untuk tetap melakukan uji klinis dalam semua fase/tahapan (terdapat 4 fase untuk melakukan uji klinis) yang tak boleh ditawar-tawar. Terakhir, kesepuluh, sebagaimana di China yang sudah berjalan sangat lama, antara produk obat modern dan obat tradisional bisa berjalan seiring, paralel untuk pengobatan pasien, saling melengkapi dan memperkuat. Poin ini diusulkan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Imanuel Melkiades Laka Lena. Namun jamu, obat tradisional, dan/atau herbal lebih direkomendasikan untuk memperkuat imunitas, bukan pengobatan.
Merujuk pada 10 indikator tersebut, seharusnya tidak ada sengkarut lagi mengenai upaya menelurkan obat penyembuh Covid-19. Klaim suasana darurat karena wabah tidak boleh meruntuhkan prasyarat yang ada, bahwa suatu obat harus memenuhi tahapan, baik uji praklinis maupun uji klinis, yang tahapan-tahapannya jelas (ada 4 tahap), yang tak boleh dilanggar sedikit pun. Sebab pada hakikatnya obat diberikan memang untuk suatu kondisi darurat, wabah atau nonwabah. Oleh karena itu upaya relaksasi hanya dibenarkan jika terkait persyaratan yang bertujuan memudahkan perihal teknis dan birokrasinya, bukan terkait dengan aspek fundamentalnya. Uji praklinis, uji klinis, dan izin edar adalah aspek fundamental yang tak boleh ditawar dan dikompromikan demi perlindungan yang asasi dan hakiki bagi masyarakat dan konsumen sebagai pengguna produk farmasi.
Kelima, mengenai izin edar. Bahwa produk obat, obat tradisional, jamu, dan obat herbal harus mengantongi izin edar sebelum diedarkan/didistribusikan dan dikonsumsi masyarakat sebagai konsumen pengguna obat. Dan izin edar dimaksud menjadi ranah/tupoksi sektor kesehatan, baik itu Kementerian Kesehatan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Ditegaskan oleh Dr Mohammad Nasser, mewakili BNPB, dalam regulasi sediaan alat farmasi dan alat kesehatan bisa diedarkan hanya atas izin oleh pejabat yang berwenang; apabila ada obat yang beredar tanpa izin, maka sudah melanggar pasal ini. Penyediaan obat seharusnya diproduksi oleh orang-orang yang punya kompetensi keahlian farmasi.
Keenam, dalam kondisi apa pun, baik kondisi normal/reguler maupun kondisi darurat, seperti Covid-19 saat ini; standar untuk obat, obat tradisional, jamu, dan herbal adalah sama saja karena demi kepentingan perlindungan dan keselamatan publik secara luas dan/atau pasien. Ketujuh, dokter yang dalam praktik (mengobati pasien Covid-19) meresepkan obat, jamu, obat tradisional, dan herbal yang belum mengantongi izin edar dan belum memiliki standar yang jelas adalah bentuk pelanggaran disiplin profesi dan bahkan merupakan pelanggaran hukum. Demikian ditegaskan Prof Dr Sukman Tulus mewakili Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Sinergi Antar Lembaga
Wabah korona (Covid-19) harus dikendalikan dan yang sakit harus segera disembuhkan. Kedelapan, masalah dominan (80%) dalam wabah ini adalah masalah kesehatan publik sehingga yang terpenting adalah memperkuat surveil l ance , sedangkan 20%-nya adalah aspek kuratif/pengobatan yang berfungsi utama untuk mencegah potensi kematian dari pasien. Oleh karena itu, kesembilan, dalam masa pandemi seperti saat ini sangat diperlukan sinergi yang kuat antarlembaga/kementerian untuk mendorong percepatan ditemukannya obat/vaksin, untuk tetap melakukan uji klinis dalam semua fase/tahapan (terdapat 4 fase untuk melakukan uji klinis) yang tak boleh ditawar-tawar. Terakhir, kesepuluh, sebagaimana di China yang sudah berjalan sangat lama, antara produk obat modern dan obat tradisional bisa berjalan seiring, paralel untuk pengobatan pasien, saling melengkapi dan memperkuat. Poin ini diusulkan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Imanuel Melkiades Laka Lena. Namun jamu, obat tradisional, dan/atau herbal lebih direkomendasikan untuk memperkuat imunitas, bukan pengobatan.
Merujuk pada 10 indikator tersebut, seharusnya tidak ada sengkarut lagi mengenai upaya menelurkan obat penyembuh Covid-19. Klaim suasana darurat karena wabah tidak boleh meruntuhkan prasyarat yang ada, bahwa suatu obat harus memenuhi tahapan, baik uji praklinis maupun uji klinis, yang tahapan-tahapannya jelas (ada 4 tahap), yang tak boleh dilanggar sedikit pun. Sebab pada hakikatnya obat diberikan memang untuk suatu kondisi darurat, wabah atau nonwabah. Oleh karena itu upaya relaksasi hanya dibenarkan jika terkait persyaratan yang bertujuan memudahkan perihal teknis dan birokrasinya, bukan terkait dengan aspek fundamentalnya. Uji praklinis, uji klinis, dan izin edar adalah aspek fundamental yang tak boleh ditawar dan dikompromikan demi perlindungan yang asasi dan hakiki bagi masyarakat dan konsumen sebagai pengguna produk farmasi.
(ras)
tulis komentar anda