Sepuluh Prasyarat Obat Penangkal Covid-19

Rabu, 08 Juli 2020 - 07:05 WIB
loading...
Sepuluh Prasyarat Obat...
Tulus Abadi
A A A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

WARGA dunia kini tengah dirundung gundah gulana, bahkan duka mendalam. Pasalnya wabah korona (Covid-19) nyaris belum bisa dikendalikan (secara signifikan). Korban terus berjatuhan, lebih dari 10 juta warga dunia terinfeksi virus dari Wuhan ini. Tak kurang dari 500.000-an nyawa manusia terenggut karenanya. Di negeri khatulistiwa Indonesia ini Covid-19 telah menginfeksi tak kurang dari 60.000-an manusia dan lebih dari 2.500 nyawa melayang. Tragisnya, kendati luapan wabah itu belum terkendali, hingga kini belum ada satu pun obat yang ampuh untuk menyembuhkannya. Pun dengan vaksin, hingga kini masih terus diuji coba di berbagai belahan dunia. Pemerintah dan ahli-ahli di Indonesia terbilang tak tinggal diam menyikapi hal ini. Upaya untuk menemukan obat Covid-19 berikut vaksinnya juga terus diupayakan.

Bahkan awal Juni lalu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerja sama dengan Badan Inteligen Negara (BIN) plus Universitas Airlangga (Unair) meluncurkan temuan adanya lima kombinasi jenis obat yang diklaim ampuh untuk mengobati Covid-19, yaitu lopinavir/ritonavir, hydroxychloroquine, azithromycin, doxycycline, dan clarithromycin. Hasil penelitian menunjukkan, obat-obat itu mampu mengeliminasi virus SARS-CoV2/virus korona dari tubuh pasien. Demikian pernyataan Ketua Litbang Stem Cell Unair Dr dr Purwati, SpPD K-PTI FINASIM dalam paparan di Kantor Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC), (12/6). Dari penelitian itu bisa disimpulkan bahwa kombinasi kelima jenis obat itu dinyatakan aman untuk menyembuhkan Covid-19. Tentu saja pernyataan dan hasil penelitian ini menimbulkan sengkarut antarlembaga, para ahli, dan praktisi di Indonesia.

Menyikapi fenomena tersebut, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah menginisiasi sebuah dialog publik bertajuk "Polemik Klaim Khasiat Obat/Herbal untuk Menangkal Covid-19" yang diselenggarakan pada Ahad, 30 Juni 2020, pukul 14.00-17.00, WIB. Diskusi publik secara online (via Zoom) tersebut dihadiri lebih kurang 150 orang yang terdiri atas narasumber, pembahas, peserta aktif, dan jurnalis. Narasumber utama terdiri atas lima orang, yaitu Dr Dra Agusdini Banun Saptaningsih (Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes), Dr Lucia Rizka Andalusia, Apt, MPharm (Direktur Registrasi Obat Badan POM), Dr M Nasser, SpKK, LLM (BNPB), Dr Pandu Riono, MPH, PhD (akademisi FKM UI), dan Dr Dr Erlina Burhan, MSc (Kepala Humas RS Persahabatan). Kemudian terdapat empat pembahas, yaitu Sudaryatmo (anggota Pengurus Harian YLKI), Prof Dr Sukman Tulus (Konsil Kedokteran Indonesia), Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Dr Immanuel Melkiades Laka Lena, dan perwakilan dari Badan Inteligen Negara Dewa Gede.

Selain narasumber dan pembahas, dari kalangan peserta aktif hadir beberapa pakar/profesor, antara lain Prof Dr Akmal Taher (guru besar FK UI, Kemenkes), Prof Dr Agus Purwadianto (guru besar FK UI), dan Prof Suharjono (guru besar Farmasi Unair). Diskusi publik ini juga dihadiri praktisi dari rumah sakit, farmakologi, akademisi dari berbagai perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, ormas keagamaan seperti dari PP Muhammadiyah, PBNU, Kowani, LSM perlindungan konsumen dari berbagai kota di Indonesia, dan perwakilan masyarakat. Diskusi yang berlangsung selama tiga jam penuh itu menghasilkan 10 simpulan dan pokok-pokok pikiran seperti narasi berikut ini.

Keselamatan Publik
Pertama, sebelum ditemukan obat yang khusus untuk Covid-19 dan/atau vaksin, dokter bisa memberikan jenis-jenis obat yang ada yang sudah terbukti secara ilmiah punya standar dan izin edar untuk mengobati pasien Covid-19. Misalnya obat antivirus yang sudah ada untuk mencegah makin seriusnya penyakit yang diderita pasien dan/atau kematian. Kedua, paralel dengan itu, dalam kondisi wabah atau pandemi sekalipun, tetap harus dikedepankan aspek perlindungan kepada masyarakat dan pasien dalam upayanya menemukan obat baru dan sektor kesehatan harus menjadi garda depan. Ditegaskan oleh Dr Pandu Riono bahwa dalam kondisi emergensi apa pun perlu berorientasi pada keamanan publik, jangan mengedepankan ego yang di luar tupoksi (tugas pokok dan fungsi), tetapi mengesampingkan keilmuan. Karena semua ini dilakukan demi keselamatan publik, semua sudah ada aturannya dan role model yang telah diatur oleh undang-undang. Tidak ada cara-cara jalan pintas untuk mengklaim suatu yang dapat menyembuhkan suatu penyakit dan ini harus ada pengawasannya dari pemerintah.

Bahkan, ketiga, dalam masa pandemi seperti saat ini banyak beredar obat/obat tradisional yang menjanjikan kesembuhan untuk Covid-19, sementara obat/herbal tersebut belum memiliki izin edar dan bukti ilmiah terkait hal tersebut. Oleh karena itu Badan POM harus berani menegur minimal mengingatkan pihak yang memberikan pernyataan tersebut sekalipun yang menyatakan adalah seorang Menteri Kesehatan, bahkan Presiden sekalipun. Dan yang tak boleh disepelekan, keempat, adalah pentingnya membangun awareness (kesadaran) konsumen. Konsumen perlu diberi informasi yang utuh mengenai produk obat-obatan dan herbal sehingga konsumen tidak terjebak pada informasi yang keliru dan menyesatkan atas klaim obat atau herbal yang menjanjikan kesembuhan terhadap Covid-19. Keamanan dan perlindungan konsumen harus menjadi dasar dan prioritas utama dan pertama dalam mengambil kebijakan atas obat Covid-19.

Persoalan Izin Edar
Kelima, mengenai izin edar. Bahwa produk obat, obat tradisional, jamu, dan obat herbal harus mengantongi izin edar sebelum diedarkan/didistribusikan dan dikonsumsi masyarakat sebagai konsumen pengguna obat. Dan izin edar dimaksud menjadi ranah/tupoksi sektor kesehatan, baik itu Kementerian Kesehatan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Ditegaskan oleh Dr Mohammad Nasser, mewakili BNPB, dalam regulasi sediaan alat farmasi dan alat kesehatan bisa diedarkan hanya atas izin oleh pejabat yang berwenang; apabila ada obat yang beredar tanpa izin, maka sudah melanggar pasal ini. Penyediaan obat seharusnya diproduksi oleh orang-orang yang punya kompetensi keahlian farmasi.

Keenam, dalam kondisi apa pun, baik kondisi normal/reguler maupun kondisi darurat, seperti Covid-19 saat ini; standar untuk obat, obat tradisional, jamu, dan herbal adalah sama saja karena demi kepentingan perlindungan dan keselamatan publik secara luas dan/atau pasien. Ketujuh, dokter yang dalam praktik (mengobati pasien Covid-19) meresepkan obat, jamu, obat tradisional, dan herbal yang belum mengantongi izin edar dan belum memiliki standar yang jelas adalah bentuk pelanggaran disiplin profesi dan bahkan merupakan pelanggaran hukum. Demikian ditegaskan Prof Dr Sukman Tulus mewakili Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Sinergi Antar Lembaga
Wabah korona (Covid-19) harus dikendalikan dan yang sakit harus segera disembuhkan. Kedelapan, masalah dominan (80%) dalam wabah ini adalah masalah kesehatan publik sehingga yang terpenting adalah memperkuat surveil l ance , sedangkan 20%-nya adalah aspek kuratif/pengobatan yang berfungsi utama untuk mencegah potensi kematian dari pasien. Oleh karena itu, kesembilan, dalam masa pandemi seperti saat ini sangat diperlukan sinergi yang kuat antarlembaga/kementerian untuk mendorong percepatan ditemukannya obat/vaksin, untuk tetap melakukan uji klinis dalam semua fase/tahapan (terdapat 4 fase untuk melakukan uji klinis) yang tak boleh ditawar-tawar. Terakhir, kesepuluh, sebagaimana di China yang sudah berjalan sangat lama, antara produk obat modern dan obat tradisional bisa berjalan seiring, paralel untuk pengobatan pasien, saling melengkapi dan memperkuat. Poin ini diusulkan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Imanuel Melkiades Laka Lena. Namun jamu, obat tradisional, dan/atau herbal lebih direkomendasikan untuk memperkuat imunitas, bukan pengobatan.

Merujuk pada 10 indikator tersebut, seharusnya tidak ada sengkarut lagi mengenai upaya menelurkan obat penyembuh Covid-19. Klaim suasana darurat karena wabah tidak boleh meruntuhkan prasyarat yang ada, bahwa suatu obat harus memenuhi tahapan, baik uji praklinis maupun uji klinis, yang tahapan-tahapannya jelas (ada 4 tahap), yang tak boleh dilanggar sedikit pun. Sebab pada hakikatnya obat diberikan memang untuk suatu kondisi darurat, wabah atau nonwabah. Oleh karena itu upaya relaksasi hanya dibenarkan jika terkait persyaratan yang bertujuan memudahkan perihal teknis dan birokrasinya, bukan terkait dengan aspek fundamentalnya. Uji praklinis, uji klinis, dan izin edar adalah aspek fundamental yang tak boleh ditawar dan dikompromikan demi perlindungan yang asasi dan hakiki bagi masyarakat dan konsumen sebagai pengguna produk farmasi.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0683 seconds (0.1#10.140)