Mengurai Benang Kusut Ketahanan Pangan
Rabu, 02 November 2022 - 15:48 WIB
Masalah Kompleks
Menyoal urusan pangan yang kompleks ini, pada umumnya masalah yang acap muncul memang seputar produksi yang lebih rendah dari pada tingkat konsumsi. Dari sisi produksi, kita memang belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Tingkat produksi kita masih jauh dari cita-cita swasembada. Kelembagaan produksi selama ini pun kurang membuat petani/peternak mandiri, terutama dalam penyediaan bibit, sarana dan prasarana, maupun input produksi lainnya.
Masalah pangan senyatanya juga masalah politik. Ada banyak pihak yang berkepentingan. Dalam konteks ini, mafia pangan masih bermain. Mafia pangan inilah yang menyebabkan ketahanan pangan Indonesia stagnan, setiap tahun ada saja bermunculan mafia pangan yang baru.
Proses ketersediaan dan akses pangan juga melibatkan banyak pihak, mulai dari petani, peternak, pedagang hingga industri pangan, yang peranannya harus saling memperkuat dan tidak dipersulit birokrasi. Kelembagaan distribusi, terutama tata niaga yang menghubungkan produsen dan konsumen belum efisien dan terlalu banyak pemburu rentenya.
Struktur pasar pun ditengarai hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok (oligopoli) yang mengejar keuntungan sepihak.
Selain itu, jumlah petani/pertenak kita tidak kunjung meningkat. Bahkan, didominasi oleh para petani yang secara umur tidak muda lagi. Dalam sebuah riset yang diinisiasi Universitas Erasmus di Rotterdam-Belanda berjudul “Becoming a Young Farmer: Young People’s Pathways into Farming in Four Countries” (2016) yang dilakukan di Indonesia, China, India, dan Kanada, menunjukkan, minat masyarakat terutama kaum muda untuk menggeluti bidang pertanian semakin menurun.
Dalam 30 tahun terakhir di Indonesia, kelompok usia petani di bawah 35 tahun menurun dari 25% menjadi 13%. Sementara petani yang berusia di atas 55 tahun meningkat dari 18% menjadi 33%. Bahkan, Presiden Jokowi pada 2021 lalu juga mengatakan, sebanyak 71% petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas dan yang di bawah 45 tahun hanya 29%.
Belum lagi soal alih fungsi lahan. Hampir sebanyak 60.000 hektare lahan pertanian/peternakan menyusut setiap tahunnya. Penyusutan ini disebabkan karena alih fungsi lahan ke area non pertanian/peternakan. Biasanya, alih fungsi ini dilakukan untuk proyek pembangunan jangka panjang seperti perumahan, pabrik dan jalan tol, serta fasilitas umum lainnya.
Solusi Mikro dan Makro
Menyoal urusan pangan yang kompleks ini, pada umumnya masalah yang acap muncul memang seputar produksi yang lebih rendah dari pada tingkat konsumsi. Dari sisi produksi, kita memang belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Tingkat produksi kita masih jauh dari cita-cita swasembada. Kelembagaan produksi selama ini pun kurang membuat petani/peternak mandiri, terutama dalam penyediaan bibit, sarana dan prasarana, maupun input produksi lainnya.
Masalah pangan senyatanya juga masalah politik. Ada banyak pihak yang berkepentingan. Dalam konteks ini, mafia pangan masih bermain. Mafia pangan inilah yang menyebabkan ketahanan pangan Indonesia stagnan, setiap tahun ada saja bermunculan mafia pangan yang baru.
Proses ketersediaan dan akses pangan juga melibatkan banyak pihak, mulai dari petani, peternak, pedagang hingga industri pangan, yang peranannya harus saling memperkuat dan tidak dipersulit birokrasi. Kelembagaan distribusi, terutama tata niaga yang menghubungkan produsen dan konsumen belum efisien dan terlalu banyak pemburu rentenya.
Struktur pasar pun ditengarai hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok (oligopoli) yang mengejar keuntungan sepihak.
Selain itu, jumlah petani/pertenak kita tidak kunjung meningkat. Bahkan, didominasi oleh para petani yang secara umur tidak muda lagi. Dalam sebuah riset yang diinisiasi Universitas Erasmus di Rotterdam-Belanda berjudul “Becoming a Young Farmer: Young People’s Pathways into Farming in Four Countries” (2016) yang dilakukan di Indonesia, China, India, dan Kanada, menunjukkan, minat masyarakat terutama kaum muda untuk menggeluti bidang pertanian semakin menurun.
Dalam 30 tahun terakhir di Indonesia, kelompok usia petani di bawah 35 tahun menurun dari 25% menjadi 13%. Sementara petani yang berusia di atas 55 tahun meningkat dari 18% menjadi 33%. Bahkan, Presiden Jokowi pada 2021 lalu juga mengatakan, sebanyak 71% petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas dan yang di bawah 45 tahun hanya 29%.
Belum lagi soal alih fungsi lahan. Hampir sebanyak 60.000 hektare lahan pertanian/peternakan menyusut setiap tahunnya. Penyusutan ini disebabkan karena alih fungsi lahan ke area non pertanian/peternakan. Biasanya, alih fungsi ini dilakukan untuk proyek pembangunan jangka panjang seperti perumahan, pabrik dan jalan tol, serta fasilitas umum lainnya.
Solusi Mikro dan Makro
tulis komentar anda