Mengurai Benang Kusut Ketahanan Pangan

Rabu, 02 November 2022 - 15:48 WIB
loading...
Mengurai Benang Kusut Ketahanan Pangan
Moh Ilham A Hamudy (Foto: Ist)
A A A
Moh Ilham A Hamudy
Alumni Universitas Padjadjaran, Berkhidmat di Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri

ADA adagium yang mengatakan, sebuah bangsa yang kuat bukan sekadar bangsa yang memiliki senjata canggih dan tentara yang tangguh, melainkan juga pangan yang melimpah.

Oleh karena itu, ketahanan pangan adalah penting untuk dijaga. Apalagi, jumlah penduduk kita sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, memenuhi kriteria konsumsi maupun logistik, mudah diakses oleh setiap orang, dan diyakini bahwa esok masih ada pangan buat rakyat.

Indonesia memang negara besar yang didukung sumber daya alam seperti pantai, dataran rendah, bukit, dan gunung yang memiliki potensi dalam memperkuat ketahanan pangan. Akan tetapi, mirisnya, negara kita masih belum memiliki kedaulatan dalam urusan pangan.

Baca berita menarik lainnya di e-paper koran-sindo.com

Menurut data Badan Pusat Statistik, sepanjang 2021 lalu Indonesia masih mengimpor beras senilai USD183,80 juta dengan volume sebanyak 407.741,4 ton. Angka ini paling banyak dibanding India yang menggelontorkan duit senilai USD86,28 juta untuk membeli beras sebanyak 215.386,5 ton.

Tidak heran kalau data Global Food Security Index (GFSI) menunjukkan, ketahanan pangan Indonesia pada 2021 melemah dibanding 2020. GFSI mencatat skor indeks ketahanan pangan Indonesia 2020 mencapai level 61,4.

Namun, pada 2021 indeksnya turun menjadi 59,2. Indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara, jauh di bawah negara jiran, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina apalagi Singapura yang berada di peringkat ke-2. Padahal, Singapura bukanlah negara agrikultur.

Masalah Kompleks
Menyoal urusan pangan yang kompleks ini, pada umumnya masalah yang acap muncul memang seputar produksi yang lebih rendah dari pada tingkat konsumsi. Dari sisi produksi, kita memang belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Tingkat produksi kita masih jauh dari cita-cita swasembada. Kelembagaan produksi selama ini pun kurang membuat petani/peternak mandiri, terutama dalam penyediaan bibit, sarana dan prasarana, maupun input produksi lainnya.

Masalah pangan senyatanya juga masalah politik. Ada banyak pihak yang berkepentingan. Dalam konteks ini, mafia pangan masih bermain. Mafia pangan inilah yang menyebabkan ketahanan pangan Indonesia stagnan, setiap tahun ada saja bermunculan mafia pangan yang baru.

Proses ketersediaan dan akses pangan juga melibatkan banyak pihak, mulai dari petani, peternak, pedagang hingga industri pangan, yang peranannya harus saling memperkuat dan tidak dipersulit birokrasi. Kelembagaan distribusi, terutama tata niaga yang menghubungkan produsen dan konsumen belum efisien dan terlalu banyak pemburu rentenya.

Struktur pasar pun ditengarai hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok (oligopoli) yang mengejar keuntungan sepihak.

Selain itu, jumlah petani/pertenak kita tidak kunjung meningkat. Bahkan, didominasi oleh para petani yang secara umur tidak muda lagi. Dalam sebuah riset yang diinisiasi Universitas Erasmus di Rotterdam-Belanda berjudul “Becoming a Young Farmer: Young People’s Pathways into Farming in Four Countries” (2016) yang dilakukan di Indonesia, China, India, dan Kanada, menunjukkan, minat masyarakat terutama kaum muda untuk menggeluti bidang pertanian semakin menurun.

Dalam 30 tahun terakhir di Indonesia, kelompok usia petani di bawah 35 tahun menurun dari 25% menjadi 13%. Sementara petani yang berusia di atas 55 tahun meningkat dari 18% menjadi 33%. Bahkan, Presiden Jokowi pada 2021 lalu juga mengatakan, sebanyak 71% petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas dan yang di bawah 45 tahun hanya 29%.

Belum lagi soal alih fungsi lahan. Hampir sebanyak 60.000 hektare lahan pertanian/peternakan menyusut setiap tahunnya. Penyusutan ini disebabkan karena alih fungsi lahan ke area non pertanian/peternakan. Biasanya, alih fungsi ini dilakukan untuk proyek pembangunan jangka panjang seperti perumahan, pabrik dan jalan tol, serta fasilitas umum lainnya.

Solusi Mikro dan Makro
Guna memecahkan hal itu, perlu penanganan mikro dan makro. Secara mikro, paling tidak ada lima hal yang bisa dilakukan. Pertama, pemerintah perlu memberikan akses lahan pertanian/peternakan kepada kaum muda yang ingin berprofesi sebagai peternak dan petani.

Akses lahan ini penting karena sebagian besar petani/peternak muda baru bisa mendapatkan akses lahan setelah mereka menikah atau setelah orangtuanya meninggal dunia.

Kedua, pemerintah harus mendorong dan memfasilitasi petani/peternak untuk berinovasi. Tentu saja hal ini berkaitan dengan pola pikir petani/peternak masa kini yang sudah maju dan ingin menggunakan hal yang baru seiring berkembangnya teknologi. Inovasi tersebut misalnya dengan melakukan indoor farming seperti hidroponik atau aquaponik.

Untuk peternak, harus ada pendekatan baru yang dapat dilakukan seperti peternakan yang adaptif terhadap kondisi tropis, perkembangan teknologi reproduksi, sistem peternakan terpadu, impor indukan, dan pengaplikasian agriculture precision dengan teknologi industri 4.0.

Ketiga, mengadakan pelatihan pada petani/peternak generasi muda. Pemerintah wajib memberikan pelatihan secara berkala dari jenjang sekolah sehingga para generasi muda tergerak kesadarannya. Keempat, memberikan kebijakan yang mendukung petani/peternak. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menjaga kestabilan harga pangan, sehingga mereka tidak merugi dengan hasil panennya.

Kelima, memberikan bantuan peralatan modern agar petani/peternak mendapatkan hasil yang lebih baik dan kemudahan dalam melakukan banyak hal. Selain itu, dengan bantuan teknologi tentu saja hasil panen akan lebih meningkat, hemat waktu, dan tenaga.

Sedangkan secara makro, kita harus fokus pada empat indikator, yaitu keterjangkauan harga pangan, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi dan keamanan makanan, serta ketahanan sumber daya alam.

Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kapasitas produksi dengan memperluas areal tanam dan peternakan baru; melakukan diversifikasi pangan lokal yang berbasis kearifan lokal seperti singkong, talas, porang, dan sorgum; mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat membahayakan kesehatan manusia; menguatkan cadangan dan sistem logistik pangan untuk stabilitas pasokan dan harga pangan.

Kemudian, mengembangkan pertanian modern, seperti pengembangan dan pemanfaatan screen house untuk meningkatkan produksi komoditas hortikultura di luar musim tanam.

Penegakan Hukum
Yang tidak kalah penting juga, pemerintah wajib memastikan ada kompetisi sehat, terbuka, dan efisien dalam rantai pasok pangan mulai dari produksi, pengolahan, hingga distribusi. Kompetisi dan keterbukaan yang melibatkan pelbagai pihak bisa mendorong inovasi demi tujuan bersama untuk mencapai ketahanan pangan.

Kalau pun terpaksa harus mengimpor pangan, persaingan usaha yang sehat dan membuka akses masyarakat pada komoditas berkualitas dengan harga lebih terjangkau, wajib dikedepankan. Perubahan cara pandang tentang pangan sebagai sebuah sistem yang saling terhubung dan melibatkan banyak pihak perlu diikuti oleh reformasi kebijakan impor pangan.

Harus ada evaluasi penerapan kebijakan non-tarif dengan melakukan kajian dampak kebijakan impor untuk memastikan impak dari kebijakan tersebut pada pangan dan gizi masyarakat.

Sebagai penutup, perlu ada pengaturan keseimbangan antara alam dan kebutuhan ruang, termasuk perlindungan lahan pertanian/peternakan dalam penataan ruang.

Penegakan hukum yang imparsial terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; PP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan Permendagri Nomor 115 Tahun 2017 tentang Mekanisme Pengendalian Pemanfaatan Ruang Daerah, adalah sebuah keniscayaan agar ketahanan pangan di negara kita bisa terwujud.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1759 seconds (0.1#10.140)