Mentransformasi Jaminan Sosial sebagai Budaya Masyarakat
Rabu, 26 Oktober 2022 - 12:17 WIB
Dengan berbagai ketentuan dan perluasan manfaat yang ada, yang di dalamnya secara tegas tersirat bahwa kehadiran regulasi ini dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar hidup masyarakat Indonesia dengan mengacu pada 9 (sembilan) prinsip yang salah satunya adalah gotong royong, sekali lagi adalah budaya yang sudah ada sejak Indonesia belum ada.
Dalam konteks global, International Social Security Association (ISSA) yang lahir di bawah naungan International Labour Organization (ILO) pada 1927 terus mengembangkan berbagai preferensi untuk mewujudkan jaminan sosial yang bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga dunia.
Termasuk dalam hal membangun budaya jaminan sosial, di mana dalam ISSA Guideline 20 yaitu Fostering a strong culture of social security and contribution responsibility, salah satu poinnya adalah membangun budaya jaminan sosial dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya jaminan sosial buat dirinya dan juga keluarganya. Namun pada praktiknya, sampai saat ini khususnya di Indonesia, masih belum menunjukkan ke arah sebagaimana yang di harapkan.
Ada beberapa hal yang bisa kita elaborasi dari persoalan tersebut; pertama image jaminan sosial yang identik dengan asuransi pada umumnya dan kedua adalah persoalan trust (kepercayaan) pada lembaga jaminan sosial dan lembaga asuransi.
Image Jaminan Sosial
Di sebagian masyarakat, keyakinan tentang penjaminan akan risiko baik kecelakaan kerja, kematian, dan hari tua masih merupakan “kewenangan” Yang Maha Kuasa. Doktrin tentang rezeki dan mati ada di tangan Tuhan melekat dan secara harfiah diterima begitu saja. Sehingga membangun persepsi, ketika menggantungkan persoalan tersebut pada rencana-rencana manusia seolah menegasikan peran utama Tuhan. Bahkan secara ekstrem bisa dianggap sedang mengambil peran itu.
Tentu hal ini tidak salah semuanya, namun harus diimbangi dengan literasi yang kuat tentang kewenangan Tuhan yang diberikan pada manusia untuk melakukan ikhtiar maksimal agar manusia sampai pada kesempurnaannya. Seperti di tuliskan oleh Taofik Yusmansyah (2008) bahwa ikhtiar merupakan proses usaha yang dilakukan dengan segala upaya dan kemampuan untuk mencapai hasil terbaik sesuai dengan keinginan. Jika merujuk pada salah satu kitab suci misalnya, seringkali Tuhan menyampaikan ajakan untuk berpikir, berbuat, menggunakan akal, dan banyak perintah-perintah af`aliyah yang harus dikerjakan oleh manusia.
Dalam konteks itu, merencanakan, menyiapkan, mengerjakan sesuatu untuk kebutuhan manusia itu sendiri diperintahkan oleh Sang Khaliq pada Makhluknya. Pun demikian dalam konteks jaminan sosial. Bahkan banyak hal yang ada dalam konteks itu, bukan hanya untuk menjamin dirinya sendiri dan keluarganya tetapi juga untuk bersama-sama saling menolong di antara para peserta, sesama masyarakat.
Budaya tolong menolong, saling asah, saling asih, dan saling asuh yang sejatinya sudah ada dan melekat dalam budaya bangsa ini, membutuhkan pemahaman tranformasial dari pengelolaan yang bersifat seadanya dengan hasil dan manfaat yang juga seadanya, pada pengelolaan yang lebih inklusif, tertata dengan dengan rapi, dan menghasilkan manfaat yang lebih besar untuk masyarakat.
Proses transformasi ini, perlu didorong kuat oleh semua stakeholder dan tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan lintas organisasi lainnya agar pemahaman masyarakat bisa segera mewujud dalam bentuk kesadaran penuh, bukan hanya pada sisi kebutuhan namun pada ujungnya budaya yang menjadikan “rasa malu” sebagai bentengnya.
Dalam konteks global, International Social Security Association (ISSA) yang lahir di bawah naungan International Labour Organization (ILO) pada 1927 terus mengembangkan berbagai preferensi untuk mewujudkan jaminan sosial yang bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga dunia.
Termasuk dalam hal membangun budaya jaminan sosial, di mana dalam ISSA Guideline 20 yaitu Fostering a strong culture of social security and contribution responsibility, salah satu poinnya adalah membangun budaya jaminan sosial dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya jaminan sosial buat dirinya dan juga keluarganya. Namun pada praktiknya, sampai saat ini khususnya di Indonesia, masih belum menunjukkan ke arah sebagaimana yang di harapkan.
Ada beberapa hal yang bisa kita elaborasi dari persoalan tersebut; pertama image jaminan sosial yang identik dengan asuransi pada umumnya dan kedua adalah persoalan trust (kepercayaan) pada lembaga jaminan sosial dan lembaga asuransi.
Image Jaminan Sosial
Di sebagian masyarakat, keyakinan tentang penjaminan akan risiko baik kecelakaan kerja, kematian, dan hari tua masih merupakan “kewenangan” Yang Maha Kuasa. Doktrin tentang rezeki dan mati ada di tangan Tuhan melekat dan secara harfiah diterima begitu saja. Sehingga membangun persepsi, ketika menggantungkan persoalan tersebut pada rencana-rencana manusia seolah menegasikan peran utama Tuhan. Bahkan secara ekstrem bisa dianggap sedang mengambil peran itu.
Tentu hal ini tidak salah semuanya, namun harus diimbangi dengan literasi yang kuat tentang kewenangan Tuhan yang diberikan pada manusia untuk melakukan ikhtiar maksimal agar manusia sampai pada kesempurnaannya. Seperti di tuliskan oleh Taofik Yusmansyah (2008) bahwa ikhtiar merupakan proses usaha yang dilakukan dengan segala upaya dan kemampuan untuk mencapai hasil terbaik sesuai dengan keinginan. Jika merujuk pada salah satu kitab suci misalnya, seringkali Tuhan menyampaikan ajakan untuk berpikir, berbuat, menggunakan akal, dan banyak perintah-perintah af`aliyah yang harus dikerjakan oleh manusia.
Dalam konteks itu, merencanakan, menyiapkan, mengerjakan sesuatu untuk kebutuhan manusia itu sendiri diperintahkan oleh Sang Khaliq pada Makhluknya. Pun demikian dalam konteks jaminan sosial. Bahkan banyak hal yang ada dalam konteks itu, bukan hanya untuk menjamin dirinya sendiri dan keluarganya tetapi juga untuk bersama-sama saling menolong di antara para peserta, sesama masyarakat.
Budaya tolong menolong, saling asah, saling asih, dan saling asuh yang sejatinya sudah ada dan melekat dalam budaya bangsa ini, membutuhkan pemahaman tranformasial dari pengelolaan yang bersifat seadanya dengan hasil dan manfaat yang juga seadanya, pada pengelolaan yang lebih inklusif, tertata dengan dengan rapi, dan menghasilkan manfaat yang lebih besar untuk masyarakat.
Proses transformasi ini, perlu didorong kuat oleh semua stakeholder dan tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan lintas organisasi lainnya agar pemahaman masyarakat bisa segera mewujud dalam bentuk kesadaran penuh, bukan hanya pada sisi kebutuhan namun pada ujungnya budaya yang menjadikan “rasa malu” sebagai bentengnya.
tulis komentar anda