Terus Didukung, Langkah Erick Thohir Perbaiki Kinerja BUMN
Senin, 06 Juli 2020 - 17:57 WIB
JAKARTA - Kiprah Menteri BUMN Erick Tohir masih terus menjadi sorotan. Sejauh ini kinerja Erick sebagai pembantu presiden dinilai menunjukkan sikap profesional dan tegas dalam mengambil kebijakan.
Banyak pihak berharap kepada Erick untuk tetap berjuang di masa pandemi virus Corona (Covid-19). "Erick butuh waktu untuk menata BUMN seluas-luasnya," kata Ketua Dewan Pakar Indonesia Maju Institut (IMI), HM Lukman Edy di Jakarta, Senin (6/7/2020).
Menurut dia, Jokowi sudah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada pengusaha muda ini. Untuk itu, ia berharap Erick dapat terus berkiprah di posisinya sebagai menteri BUMN dengan visi efisiensi dan transformasi.
Dia menilai, kebijakan Erick yang memasukkan 22 anggota aktif dari unsur Polri atau TNI ke jajaran komisaris di perusahaan pelat merah masih dalam koridor mengedepankan profesionalitas. Kebijakan itu dinilai tidak ada sangkut pautnya dengan wacana kembali dwi fungsi ABRI seperti mas Orde Baru.
"Isu ini sama sekali ahistoris dan mengada-ada. Terhapusnya Dwi Fungsi ABRI ditandai dengan berpisahnya TNI dan Polri. Selain itu, masing-masing diatur dengan UU yang berbeda, TNI sebagai kekuatan militer untuk menjaga kedaulatan negara, sementara Polri menjadi kekuatan sipil untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Jadi kalau Polisi banyak mengisi jabatan sipil, seharusnya tidak dipermasalahkan lagi," tuturnya.
( )
Dia menjelaskan, dihapusnya dwi fungsi ABRI menegaskan TNI tidak boleh masuk dalam wilayah politik praktis. Berbeda dengan masa orde baru yang memposisikan militer dalam Fraksi ABRI dalam DPR.
Pada saat itu, kata dia, ABRI (sebelum TNI) bisa menjadi anggota DPR, DPRD dan secara sistematis ada representasinya di kepala daerah (Bupati/Gubernur). Sekarang jabatan politik praktis tersebut harus melalui partai politik sebagai simbol supremasi sipil.
“Baik di undang-undang pemilu maupun pemilihan kepala daerah, semuanya jelas disitu bahwa TNI dan Polri tidak memiliki hak suara untuk memilih; apalagi untuk dipilih. Mereka harus mundur dari jabatan aktifnya kalo mau mencalonkan diri menduduki kursi legislatif maupun pimpinan eksekutif, seperti DPR, DPRD propinsi maupun DPRD kabupaten/ kota, gubernur/ wakil gubernur, bupati/ wakil bupati, wali kota/ wakil walikota; apalagi untuk mencalonkan diri jadi presiden: wakil presiden,” tuturnya.
Menurut dia, peran para anggota kepolisian dan militer di BUMN tidak menyalahi konsep trias politika yang membagi kekuasan negara pada tiga elemen, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
"Ketiganya tidak boleh campur aduk, tetapi tetap ada check and balances. Legislatif lah yang dianggap sebagai simbol supremasi sipil, untuk mewakili kekuatan rakyat itu sendiri," katanya.
Banyak pihak berharap kepada Erick untuk tetap berjuang di masa pandemi virus Corona (Covid-19). "Erick butuh waktu untuk menata BUMN seluas-luasnya," kata Ketua Dewan Pakar Indonesia Maju Institut (IMI), HM Lukman Edy di Jakarta, Senin (6/7/2020).
Menurut dia, Jokowi sudah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada pengusaha muda ini. Untuk itu, ia berharap Erick dapat terus berkiprah di posisinya sebagai menteri BUMN dengan visi efisiensi dan transformasi.
Dia menilai, kebijakan Erick yang memasukkan 22 anggota aktif dari unsur Polri atau TNI ke jajaran komisaris di perusahaan pelat merah masih dalam koridor mengedepankan profesionalitas. Kebijakan itu dinilai tidak ada sangkut pautnya dengan wacana kembali dwi fungsi ABRI seperti mas Orde Baru.
"Isu ini sama sekali ahistoris dan mengada-ada. Terhapusnya Dwi Fungsi ABRI ditandai dengan berpisahnya TNI dan Polri. Selain itu, masing-masing diatur dengan UU yang berbeda, TNI sebagai kekuatan militer untuk menjaga kedaulatan negara, sementara Polri menjadi kekuatan sipil untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Jadi kalau Polisi banyak mengisi jabatan sipil, seharusnya tidak dipermasalahkan lagi," tuturnya.
( )
Dia menjelaskan, dihapusnya dwi fungsi ABRI menegaskan TNI tidak boleh masuk dalam wilayah politik praktis. Berbeda dengan masa orde baru yang memposisikan militer dalam Fraksi ABRI dalam DPR.
Pada saat itu, kata dia, ABRI (sebelum TNI) bisa menjadi anggota DPR, DPRD dan secara sistematis ada representasinya di kepala daerah (Bupati/Gubernur). Sekarang jabatan politik praktis tersebut harus melalui partai politik sebagai simbol supremasi sipil.
“Baik di undang-undang pemilu maupun pemilihan kepala daerah, semuanya jelas disitu bahwa TNI dan Polri tidak memiliki hak suara untuk memilih; apalagi untuk dipilih. Mereka harus mundur dari jabatan aktifnya kalo mau mencalonkan diri menduduki kursi legislatif maupun pimpinan eksekutif, seperti DPR, DPRD propinsi maupun DPRD kabupaten/ kota, gubernur/ wakil gubernur, bupati/ wakil bupati, wali kota/ wakil walikota; apalagi untuk mencalonkan diri jadi presiden: wakil presiden,” tuturnya.
Menurut dia, peran para anggota kepolisian dan militer di BUMN tidak menyalahi konsep trias politika yang membagi kekuasan negara pada tiga elemen, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
"Ketiganya tidak boleh campur aduk, tetapi tetap ada check and balances. Legislatif lah yang dianggap sebagai simbol supremasi sipil, untuk mewakili kekuatan rakyat itu sendiri," katanya.
(dam)
tulis komentar anda