Pemolisian New Normal
Senin, 06 Juli 2020 - 07:29 WIB
Ini semua, lebih lanjut berakibat pada potensi konflik antarwarga dan antara warga dengan pemerintah khususnya petugas penegak protocol Covid-19; atau bahkan konflik antar pejabat pengelola wilayah atau negara atau dengan sesama pejabat, yang kerap sekali terjadi. Dalam skala yang lebih besar lagi, ini potensial menimbulkan masalah di masyarakat yang tidak semata terkait dengan penyebaran virus corona tetapi juga masalah kejahatan secara umum atau kejahatan yang menyertai pandemi corona ini. (Baca juga: Jubir Covid-19 Ungkap ada 552 Kasus Baru Covid di Jawa Timur)
Kerusuhan di Amerika Serikat (AS) sebagai akibat meninggalnya George Floyd di Minnesota dan seminggu kemudian Brooks di Atlanta, telah memicu kerusuhan yang meluas alih-alih fakta bahwa keduanya -menurut informasi yang ada- adalah pelanggar hukum, kalaupun tidak boleh disebut sebagai penjahat. Mereka berdua tewas di tangan petugas kepolisian di masing-masing negara bagian di AS. Seorang pembicara dalam sebuah webinar, menyatakan bahwa sistem kepolisian yang fragmented di AS-lah yang jadi penyebab police brutality tersebut, -karena tidak ada pedoman yang jelas tentang kontrol terhadap praktik kepolisian di negara bagian di AS. Namun demikian, kerusuhan yang meluas itu secara kriminologis-sosiologis tentunya terkait juga dengan situasi kondisi pandemi Covid-19 di AS dan negara-negara bagiannya.
Di Indonesia, walaupun sistem kepolisiannya berbeda dengan AS perlu juga diantisipasi kemungkinan terjadinya hal yang sama terkait pelaksanaan new normal. Personel Polri sudah tentu telah dibekali dengan pemahaman terhadap aturan tentang penegakan hukum dan ketertiban terhadap para pelaku kejahatan dan pelanggar ketertiban umum, termasuk pelanggar protokol Covid-19. Namun demikian, mengikut sertakan masyarakat dalam pengawasan penerapan protokol Covid-19 adalah pilihan yang paling baik.
Ini bukan hanya akan menutup kekurangan jumlah dan kualitas personel dan juga anggaran, tetapi juga akan memaksimalkan peran masyarakat dalam melakukan self help untuk mencegah penularan virus ini; dan sekaligus mencegah kejahatan, khususnya kejahatan yang menyertai pandemiCovid 19. (Baca juga: Pasien Covid-19 Kabur Naik Kapal Ferry, Seluruh Penumpang Terpaksa Dikarantina)
Kejelasan Sanksi
Namun begitu, tetap diperlukan kejelasan sanksi yang dapat diberikan kepada para pelanggar Protokol Covid-19. Sanksi tersebut akan menjadi dasar penegakan protokol ini karena para pelanggar tidak seperti pelanggar hukum pada umumnya yang dapat dikenakan sanksi yang selama ini berlaku.
Tugas pokok dan fungsi Polri di era new normal ini jelas tidak ringan. Walaupun dalam konteks kriminologi, siapa pun, kelompok masyarakat apapun, organisasi apapun, bila perilakunya merugikan orang lain, termasuk menyebabkan penularan virus corona, bahkan menyebabkan kematian karenanya, individu, kelompok masyarakat atau organisasi tersebut dapat dikategorikan sebagai telah melakukan kejahatan, dan apabila karena kesengajaan melakukan pelanggaran tersebut, mereka dapat dianggap sebagai penjahat -bukan hanya sebagai pelanggar hukum.
Namun, masalahnya adalah sejauh mana Polri dapat melakukan upaya penegakkan hukum secara lebih tegas? Seperti apa dan bagaimana sanksi yang harus diterapkan bagi para pelanggar hukum? Cukupkah dengan tindakan persuasif atau harus memberikan sanksi secara refresif ? Tugas yang jelas tidak mudah yang harus dijalankan oleh Polri di dalam kondisi new normal yang sebetulnya tidak normal ini, meskipun beberapa peraturan perundang-undangan sudah mengaturnya.
Tema peringatan Ulang Tahun Polri 2020: Kamtibmas Kondusif Masyarakat Semakin Produktif, menunjukkan bahwa peran polisi dalam pengawasan perilaku masyararakat di masa new normal akan sangat berpengaruh pada produktivitas masyarakat.
Kenyataannya sebagian fungsi pemeliharaan ketertiban masyarakat memang telah diambilalih oleh agen pemolisian lainnya di masyarakat; tetapi, dalam konteks penegakan hukum, apabila sudah terjadi pelanggaran, maka penegakan tetap harus dilaksanakan oleh Polri sebagai lembaga yang kompeten yang pelaksanaan fungsinya dilindungi undang-undang. (Baca juga: Kader Senior Ancam Mundur Jika Partai Golkar Dukung RUU HIP)
Kerusuhan di Amerika Serikat (AS) sebagai akibat meninggalnya George Floyd di Minnesota dan seminggu kemudian Brooks di Atlanta, telah memicu kerusuhan yang meluas alih-alih fakta bahwa keduanya -menurut informasi yang ada- adalah pelanggar hukum, kalaupun tidak boleh disebut sebagai penjahat. Mereka berdua tewas di tangan petugas kepolisian di masing-masing negara bagian di AS. Seorang pembicara dalam sebuah webinar, menyatakan bahwa sistem kepolisian yang fragmented di AS-lah yang jadi penyebab police brutality tersebut, -karena tidak ada pedoman yang jelas tentang kontrol terhadap praktik kepolisian di negara bagian di AS. Namun demikian, kerusuhan yang meluas itu secara kriminologis-sosiologis tentunya terkait juga dengan situasi kondisi pandemi Covid-19 di AS dan negara-negara bagiannya.
Di Indonesia, walaupun sistem kepolisiannya berbeda dengan AS perlu juga diantisipasi kemungkinan terjadinya hal yang sama terkait pelaksanaan new normal. Personel Polri sudah tentu telah dibekali dengan pemahaman terhadap aturan tentang penegakan hukum dan ketertiban terhadap para pelaku kejahatan dan pelanggar ketertiban umum, termasuk pelanggar protokol Covid-19. Namun demikian, mengikut sertakan masyarakat dalam pengawasan penerapan protokol Covid-19 adalah pilihan yang paling baik.
Ini bukan hanya akan menutup kekurangan jumlah dan kualitas personel dan juga anggaran, tetapi juga akan memaksimalkan peran masyarakat dalam melakukan self help untuk mencegah penularan virus ini; dan sekaligus mencegah kejahatan, khususnya kejahatan yang menyertai pandemiCovid 19. (Baca juga: Pasien Covid-19 Kabur Naik Kapal Ferry, Seluruh Penumpang Terpaksa Dikarantina)
Kejelasan Sanksi
Namun begitu, tetap diperlukan kejelasan sanksi yang dapat diberikan kepada para pelanggar Protokol Covid-19. Sanksi tersebut akan menjadi dasar penegakan protokol ini karena para pelanggar tidak seperti pelanggar hukum pada umumnya yang dapat dikenakan sanksi yang selama ini berlaku.
Tugas pokok dan fungsi Polri di era new normal ini jelas tidak ringan. Walaupun dalam konteks kriminologi, siapa pun, kelompok masyarakat apapun, organisasi apapun, bila perilakunya merugikan orang lain, termasuk menyebabkan penularan virus corona, bahkan menyebabkan kematian karenanya, individu, kelompok masyarakat atau organisasi tersebut dapat dikategorikan sebagai telah melakukan kejahatan, dan apabila karena kesengajaan melakukan pelanggaran tersebut, mereka dapat dianggap sebagai penjahat -bukan hanya sebagai pelanggar hukum.
Namun, masalahnya adalah sejauh mana Polri dapat melakukan upaya penegakkan hukum secara lebih tegas? Seperti apa dan bagaimana sanksi yang harus diterapkan bagi para pelanggar hukum? Cukupkah dengan tindakan persuasif atau harus memberikan sanksi secara refresif ? Tugas yang jelas tidak mudah yang harus dijalankan oleh Polri di dalam kondisi new normal yang sebetulnya tidak normal ini, meskipun beberapa peraturan perundang-undangan sudah mengaturnya.
Tema peringatan Ulang Tahun Polri 2020: Kamtibmas Kondusif Masyarakat Semakin Produktif, menunjukkan bahwa peran polisi dalam pengawasan perilaku masyararakat di masa new normal akan sangat berpengaruh pada produktivitas masyarakat.
Kenyataannya sebagian fungsi pemeliharaan ketertiban masyarakat memang telah diambilalih oleh agen pemolisian lainnya di masyarakat; tetapi, dalam konteks penegakan hukum, apabila sudah terjadi pelanggaran, maka penegakan tetap harus dilaksanakan oleh Polri sebagai lembaga yang kompeten yang pelaksanaan fungsinya dilindungi undang-undang. (Baca juga: Kader Senior Ancam Mundur Jika Partai Golkar Dukung RUU HIP)
tulis komentar anda