Mencegah Kekerasan di Pesantren
Jum'at, 23 September 2022 - 17:41 WIB
Kinerja pengasuhan tidak mudah sehingga membutuhkan orang yang berpendidikan khusus seperti Guru Bimbingan Konseling (BK). Intinya, pengasuh harus bisa melembutkan hati santri-santri yang keras, jiwa tidak stabil, suka kekerasan, dan menjadikan mereka santri baru yang memiliki sikap welas asih kepada sesama santri. Maka kekerasan bisa dicegah atau diminimalisir. Kompetensi dan komitmen pengasuh santri sangat penting untuk mencegah kekerasan di pesantren.
Ketiga, sanksi ringan atau tidak tegas. Seharusnya santri yang melakukan kekerasan diberhentikan dan dipulangkan ke keluarganya. Ini aturan yang harus dipahami santri dan orangtua sejak awal masuk pesantren. Sanksi ringan pelaku kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan di masa datang karena tidak ada efek jera bagi santri-santri lainnya.
Kerap kali justru santri yang dirundung yang harus meninggalkan pesantren karena trauma. Pesantren malah menutupi kasus-kasus kekerasan karena takut citranya buruk di mata masyarakat. Atau pesantren mementingkan kuantitas santri karena alasan ekonomi pesantren, atau benar-benar ingin memperbaiki akhlak santri pelaku perundungan?
Tanpa sanksi yang tegas dan berat, perundungan di pesantren akan terus berulang. Maka tugas orangtua juga semestinya adalah selalu mengingatkan anak-anak mereka agar welas asih terhadap teman-temannya di pesantren.
Orangtua tidak boleh melakukan kekerasan terhadap anak. Orangtua tidak boleh sepenuhnya pasrah kepada ustaz dan kiyai, lalu tidak memberikan nasihat-nasihat atau pendidikan kepada anak-anaknya.
Dukungan Semua Pihak
Pesantren sangat potensial terhadap kekerasan antarsantri sehingga yang dibutuhkan tidak hanya aturan selevel menteri atau pesantren tetapi dukungan pengasuh yang kompeten, pengawasan, evaluasi, dan penegakkan aturan yang semestinya. Komitmen pengawasan dan penegakkan aturan pesantren dijalankan oleh kiai.
Hal ini bukan berarti pesantren hanya mau mendidik santri-santri yang baik, tapi agar mereka belajar bertanggung jawab atas perbuatannya, dan memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi santri-santri lainnya. Peristiwa ini juga pelajaran bagi para orangtua bahwa mereka juga masih dibutuhkan sebagai pendidik utama anak-anak mereka.
Terakhir, kiai memiliki peran besar dalam pembentukan karakter santri. Hal ini diakui dalam UU Pesantren Pasal 9, bahwa kiai sebagai pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan pesantren.
Diharapkan kiai menaruh perhatian besar atas potensi kekerasan senior-yunior di pesantren sehingga selalu mendakwahkan pentingnya welas asih kepada para santri. Bahwa pesantren tidak menoleransi sikap kekerasan, bahkan andai baru niat sekalipun.
Ketiga, sanksi ringan atau tidak tegas. Seharusnya santri yang melakukan kekerasan diberhentikan dan dipulangkan ke keluarganya. Ini aturan yang harus dipahami santri dan orangtua sejak awal masuk pesantren. Sanksi ringan pelaku kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan di masa datang karena tidak ada efek jera bagi santri-santri lainnya.
Kerap kali justru santri yang dirundung yang harus meninggalkan pesantren karena trauma. Pesantren malah menutupi kasus-kasus kekerasan karena takut citranya buruk di mata masyarakat. Atau pesantren mementingkan kuantitas santri karena alasan ekonomi pesantren, atau benar-benar ingin memperbaiki akhlak santri pelaku perundungan?
Tanpa sanksi yang tegas dan berat, perundungan di pesantren akan terus berulang. Maka tugas orangtua juga semestinya adalah selalu mengingatkan anak-anak mereka agar welas asih terhadap teman-temannya di pesantren.
Orangtua tidak boleh melakukan kekerasan terhadap anak. Orangtua tidak boleh sepenuhnya pasrah kepada ustaz dan kiyai, lalu tidak memberikan nasihat-nasihat atau pendidikan kepada anak-anaknya.
Dukungan Semua Pihak
Pesantren sangat potensial terhadap kekerasan antarsantri sehingga yang dibutuhkan tidak hanya aturan selevel menteri atau pesantren tetapi dukungan pengasuh yang kompeten, pengawasan, evaluasi, dan penegakkan aturan yang semestinya. Komitmen pengawasan dan penegakkan aturan pesantren dijalankan oleh kiai.
Hal ini bukan berarti pesantren hanya mau mendidik santri-santri yang baik, tapi agar mereka belajar bertanggung jawab atas perbuatannya, dan memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi santri-santri lainnya. Peristiwa ini juga pelajaran bagi para orangtua bahwa mereka juga masih dibutuhkan sebagai pendidik utama anak-anak mereka.
Terakhir, kiai memiliki peran besar dalam pembentukan karakter santri. Hal ini diakui dalam UU Pesantren Pasal 9, bahwa kiai sebagai pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan pesantren.
Diharapkan kiai menaruh perhatian besar atas potensi kekerasan senior-yunior di pesantren sehingga selalu mendakwahkan pentingnya welas asih kepada para santri. Bahwa pesantren tidak menoleransi sikap kekerasan, bahkan andai baru niat sekalipun.
Lihat Juga :
tulis komentar anda