Mencegah Kekerasan di Pesantren
Jum'at, 23 September 2022 - 17:41 WIB
Jejen Musfah
Dosen Kebijakan Pendidikan Magister UIN Jakarta
KEMATIAN santri sebuah pesantren di Jawa Timur belum lama ini menambah catatan kelam pendidikan keagamaan. Disayangkan karena pihak pesantren sempat menutupi penyebab kematian yang sebenarnya, yaitu kekerasan oleh senior ke yunior. Sebelumnya santri pesantren di Tangerang, Banten, juga meninggal karena kekerasan.
Perundungan di pesantren, baik verbal maupun fisik, yang mengakibatkan luka ringan, luka berat, apalagi kematian harus menjadi perhatian bersama dan dicegah. Kekerasan antarsantri, senior-yunior, merupakan fenomena gunung es, hanya tampak yang di permukaan saja. Kasus kerap terjadi namun ditutupi atau tidak terekspose oleh media.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, pasal 3 dinyatakan, santri, selain diharapkan menjadi ahli ilmu agama juga berakhlak mulia. Artinya yang pertama dan utama adalah pembentukan karakter welas asih kepada para santri. Alasan mayoritas orangtua memasukan anak-anak mereka ke pesantren juga agar mereka menjadi orang yang berakhlak.
Tiga Faktor
Kekerasan di pesantren atau sekolah berasrama bisa terjadi karena pertama, kurang komitmen pada antiperundungan. Tidak ada orang atau divisi khusus yang bertugas mencegah perundungan. Pimpinan dan ustaz kurang atau jarang bicara tentang bahaya perundungan dan pentingnya mengembangkan sifat welas asih sesama santri.
Bisa jadi aturannya ada tapi dilupakan dan tidak ada orang yang bisa diminta laporan tentang tingkat atau fakta perundungan di pesantren. Aturan itu menjadi tidak efektif karena tidak ada yang menegakkannya. Komitmen pada antikekerasan penting seperti sebuah sekolah swasta di Depok yang menyebut sekolahnya sebagai “Sekolah Welas Asih”.
Kedua, pengawasan sangat lemah. Pengasuh santri tidak maksimal memonitor pergerakan dan aktivitas santri karena jumlah santri yang sangat banyak, dan banyak ruang-ruang di luar jangkauan mereka. Jumlah pengasuh tidak sebanding dengan jumlah santri, dan tidak ada kamera pengawas (CCTV) di pesantren. Santri melebihi kapasitas pesantren.
Dosen Kebijakan Pendidikan Magister UIN Jakarta
KEMATIAN santri sebuah pesantren di Jawa Timur belum lama ini menambah catatan kelam pendidikan keagamaan. Disayangkan karena pihak pesantren sempat menutupi penyebab kematian yang sebenarnya, yaitu kekerasan oleh senior ke yunior. Sebelumnya santri pesantren di Tangerang, Banten, juga meninggal karena kekerasan.
Perundungan di pesantren, baik verbal maupun fisik, yang mengakibatkan luka ringan, luka berat, apalagi kematian harus menjadi perhatian bersama dan dicegah. Kekerasan antarsantri, senior-yunior, merupakan fenomena gunung es, hanya tampak yang di permukaan saja. Kasus kerap terjadi namun ditutupi atau tidak terekspose oleh media.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, pasal 3 dinyatakan, santri, selain diharapkan menjadi ahli ilmu agama juga berakhlak mulia. Artinya yang pertama dan utama adalah pembentukan karakter welas asih kepada para santri. Alasan mayoritas orangtua memasukan anak-anak mereka ke pesantren juga agar mereka menjadi orang yang berakhlak.
Tiga Faktor
Kekerasan di pesantren atau sekolah berasrama bisa terjadi karena pertama, kurang komitmen pada antiperundungan. Tidak ada orang atau divisi khusus yang bertugas mencegah perundungan. Pimpinan dan ustaz kurang atau jarang bicara tentang bahaya perundungan dan pentingnya mengembangkan sifat welas asih sesama santri.
Bisa jadi aturannya ada tapi dilupakan dan tidak ada orang yang bisa diminta laporan tentang tingkat atau fakta perundungan di pesantren. Aturan itu menjadi tidak efektif karena tidak ada yang menegakkannya. Komitmen pada antikekerasan penting seperti sebuah sekolah swasta di Depok yang menyebut sekolahnya sebagai “Sekolah Welas Asih”.
Kedua, pengawasan sangat lemah. Pengasuh santri tidak maksimal memonitor pergerakan dan aktivitas santri karena jumlah santri yang sangat banyak, dan banyak ruang-ruang di luar jangkauan mereka. Jumlah pengasuh tidak sebanding dengan jumlah santri, dan tidak ada kamera pengawas (CCTV) di pesantren. Santri melebihi kapasitas pesantren.
Lihat Juga :
tulis komentar anda