Permainan 'Asap dan Cermin' dalam RUU Sisdiknas
Kamis, 22 September 2022 - 14:25 WIB
Satu atau Multisistem Pendidikan Nasional
Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 berbunyi pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Faktanya, apakah benar Indonesia memiliki satu sistem pendidikan nasional?
Jika secara nasional bidang pendidikan dikelola oleh dua kementerian yang berbeda, yaitu Kemendibud Ristek dan Kementerian Agama untuk madrasah serta pesantren, apakah bisa disebut satu sistem?
Bahkan pada periode 2014-2019 lalu, pendidikan tinggi dikelola oleh sebuah kementerian lain. Masing-masing daerah seakan juga memiliki sistem pendidikan sendiri dan minim koordinasi antara pusat dan daerah. Sebagai contoh beberapa daerah memiliki ujian daerah sendiri sebagai pengganti ujian nasional yang dihentikan oleh pemerintah pusat.
Belum lagi urusan pendidik dan tenaga kependidikan, antara pusat dan daerah selalu mengeluhkan ketidaksinkronan kebijakan pendidikan seperti kasus perekrutan PPPK.
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2022, anggaran pendidikan yang jumlahnya 20% dari APBN, ternyata hampir separuh dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk 22 kementerian dan lembaga negara yang tidak mengurusi bidang pendidikan sama sekali.
Dan, alokasi anggaran tersebut tidak pernah dijabarkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik pada UU Nomor 20 Tahun 2003 maupun draf UU Sisdiknas yang baru. Ironisnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas yang menyusun alokasi anggaran pendidikan tidak disebutkan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan kata lain anggaran pendidikan Indonesia berada di luar Sistem Pendidikan Nasional.
Kondisi tersebut menunjukkan kalau Indonesia masih menerapkan multisistem pendidikan nasional. Seyogianya, Sistem Pendidikan Nasional harus ditata ulang sesuai dengan amanat konstitusi yang diselenggarakan dalam satu sistem saja. Perlu sebuah langkah out of the box tanpa menggunakan kerangka yang sudah ada, misalnya dengan menggunakan sistem distrik sekolah.
Distrik sekolah adalah lembaga pemerintah yang tugasnya khusus mengurusi sekolah, dibuat berdasarkan wilayah tetapi berbeda dengan batas kota/kabupaten, dan manajemen lembaga ini terlepas dari komando pemerintah kota/kabupaten (bukan seperti dinas pendidikan). Orang-orang yang dipilih untuk mengelola lembaga ini adalah para profesional di bidang pendidikan sehingga bukan jabatan karier maupun politik.
Sebagai penutup, perlu diingatkan lagi bahwa Sistem Pendidikan Nasional tidak sama dengan Sistem Persekolahan Nasional. Untuk itu pendidikan informal dan nonformal perlu mendapatkan porsi yang setara dengan pendidikan formal karena ketiga model pendidikan tersebut akan membentuk ekosistem pendidikan yang ideal dan mencerdaskan.
Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 berbunyi pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Faktanya, apakah benar Indonesia memiliki satu sistem pendidikan nasional?
Jika secara nasional bidang pendidikan dikelola oleh dua kementerian yang berbeda, yaitu Kemendibud Ristek dan Kementerian Agama untuk madrasah serta pesantren, apakah bisa disebut satu sistem?
Bahkan pada periode 2014-2019 lalu, pendidikan tinggi dikelola oleh sebuah kementerian lain. Masing-masing daerah seakan juga memiliki sistem pendidikan sendiri dan minim koordinasi antara pusat dan daerah. Sebagai contoh beberapa daerah memiliki ujian daerah sendiri sebagai pengganti ujian nasional yang dihentikan oleh pemerintah pusat.
Belum lagi urusan pendidik dan tenaga kependidikan, antara pusat dan daerah selalu mengeluhkan ketidaksinkronan kebijakan pendidikan seperti kasus perekrutan PPPK.
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2022, anggaran pendidikan yang jumlahnya 20% dari APBN, ternyata hampir separuh dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk 22 kementerian dan lembaga negara yang tidak mengurusi bidang pendidikan sama sekali.
Dan, alokasi anggaran tersebut tidak pernah dijabarkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik pada UU Nomor 20 Tahun 2003 maupun draf UU Sisdiknas yang baru. Ironisnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas yang menyusun alokasi anggaran pendidikan tidak disebutkan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan kata lain anggaran pendidikan Indonesia berada di luar Sistem Pendidikan Nasional.
Kondisi tersebut menunjukkan kalau Indonesia masih menerapkan multisistem pendidikan nasional. Seyogianya, Sistem Pendidikan Nasional harus ditata ulang sesuai dengan amanat konstitusi yang diselenggarakan dalam satu sistem saja. Perlu sebuah langkah out of the box tanpa menggunakan kerangka yang sudah ada, misalnya dengan menggunakan sistem distrik sekolah.
Distrik sekolah adalah lembaga pemerintah yang tugasnya khusus mengurusi sekolah, dibuat berdasarkan wilayah tetapi berbeda dengan batas kota/kabupaten, dan manajemen lembaga ini terlepas dari komando pemerintah kota/kabupaten (bukan seperti dinas pendidikan). Orang-orang yang dipilih untuk mengelola lembaga ini adalah para profesional di bidang pendidikan sehingga bukan jabatan karier maupun politik.
Sebagai penutup, perlu diingatkan lagi bahwa Sistem Pendidikan Nasional tidak sama dengan Sistem Persekolahan Nasional. Untuk itu pendidikan informal dan nonformal perlu mendapatkan porsi yang setara dengan pendidikan formal karena ketiga model pendidikan tersebut akan membentuk ekosistem pendidikan yang ideal dan mencerdaskan.
tulis komentar anda