Serapan Anggaran Corona Rendah, Intan Fauzi: Rakyat yang Dirugikan
Kamis, 02 Juli 2020 - 20:48 WIB
JAKARTA - Virus coronajenis baru, COVID-19 tidak hanya mengancam kesehatan, tapi berimplikasi besar bagi kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Dampaknya juga berimbas kepada perekonomian nasional.
Anggota Komisi IX DPR Intan Fauzi mengatakan, penanganan wabah bencana nonalam COVID-19 dengan berbagai dampaknya perlu upaya luar biasa oleh pemerintah untuk mengeksekusi semua program yang direncanakan. "Pemerintah harus optimal tapi terukur dalam membelanjakan anggaran di masa status keadaan darurat ini. Apalagi, payung hukum yang menjadi amunisi bagi pengambil kebijakan sudah tersedia," katanya, Kamis (2/7/2020).
Pemerintah dan DPR telah menetapkan Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang No 2 tahun 2020. Untuk mengakselerasi belanja negara, diikuti juga dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 terkait penyesuan kembali postur dan rincian APBN. ( )
Anggaran Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga terus mengalami kenaikan sebanyak empat kali dalam jangka waktu singkat. Awalnya pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp405,1 triliun, kemudian naik signifikan menjadi Rp677,2 triliun, lalu naik lagi menjadi Rp695,2 triliun. Kemudian Pemerintah memproyeksi dana penanganan melonjak hingga Rp905,1 triliun.
"Sayangnya, kita menghadapi persoalan klasik yang hampir terus terjadi di setiap tahun anggaran yakni persoalan kemampuan serapan anggaran kementerian dan lembaga yang masih rendah. Persoalan ini jelas berdampak langsung bagi masyarakat karena program pemerintah untuk masyarakat menjadi tersendat. Apalagi, program ini bersentuhan dengan kebutuhan yang mendesak bagi publik," tuturnya.
Intan mengatakan, persoalan akut menahun ini sepatutnya tidak perlu terjadi. Sebab, anggaran yang disusun itu berbadasarkan program berbasis kinerja yang juga merupakan hasil pembahasan panjang dengan mitra kerja pemerintah di DPR. Jadi, alokasi anggaran di APBN itu bukan lahir dari sim salabim, tetapi hasil sebuah proses politik di Parlemen.
"Menjadikan COVID-19 sebagai kambing hitam penyebab rendahnya daya serap anggaran adalah mengada-ngada dan ironis," katanya. ( )
Dikatakan Intan, realisasi anggaran kementerian/lembaga sampai Mei 2020 hanya 10,41%. Khusus anggaran kesehatan sebesar Rp85,77 triliun yang ditujukan untuk belanja penanganan COVID-19 mendapat sorotan, karena realisasi angggaran stimulus kesehatan tersebut baru mencapai 4,68% dari total alokasi anggaran.
"Betapa ruginya rakyat, akibat tidak optimalnya pemanfaatan anggaran yang ada. Semakin sedikit anggaran yang terserap maka fungsi anggaran sebagai alat distribusi dan pemerataan pembangunan tidak tercapai," paparnya.
Anggota Komisi IX DPR Intan Fauzi mengatakan, penanganan wabah bencana nonalam COVID-19 dengan berbagai dampaknya perlu upaya luar biasa oleh pemerintah untuk mengeksekusi semua program yang direncanakan. "Pemerintah harus optimal tapi terukur dalam membelanjakan anggaran di masa status keadaan darurat ini. Apalagi, payung hukum yang menjadi amunisi bagi pengambil kebijakan sudah tersedia," katanya, Kamis (2/7/2020).
Pemerintah dan DPR telah menetapkan Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang No 2 tahun 2020. Untuk mengakselerasi belanja negara, diikuti juga dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 terkait penyesuan kembali postur dan rincian APBN. ( )
Anggaran Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga terus mengalami kenaikan sebanyak empat kali dalam jangka waktu singkat. Awalnya pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp405,1 triliun, kemudian naik signifikan menjadi Rp677,2 triliun, lalu naik lagi menjadi Rp695,2 triliun. Kemudian Pemerintah memproyeksi dana penanganan melonjak hingga Rp905,1 triliun.
"Sayangnya, kita menghadapi persoalan klasik yang hampir terus terjadi di setiap tahun anggaran yakni persoalan kemampuan serapan anggaran kementerian dan lembaga yang masih rendah. Persoalan ini jelas berdampak langsung bagi masyarakat karena program pemerintah untuk masyarakat menjadi tersendat. Apalagi, program ini bersentuhan dengan kebutuhan yang mendesak bagi publik," tuturnya.
Intan mengatakan, persoalan akut menahun ini sepatutnya tidak perlu terjadi. Sebab, anggaran yang disusun itu berbadasarkan program berbasis kinerja yang juga merupakan hasil pembahasan panjang dengan mitra kerja pemerintah di DPR. Jadi, alokasi anggaran di APBN itu bukan lahir dari sim salabim, tetapi hasil sebuah proses politik di Parlemen.
"Menjadikan COVID-19 sebagai kambing hitam penyebab rendahnya daya serap anggaran adalah mengada-ngada dan ironis," katanya. ( )
Dikatakan Intan, realisasi anggaran kementerian/lembaga sampai Mei 2020 hanya 10,41%. Khusus anggaran kesehatan sebesar Rp85,77 triliun yang ditujukan untuk belanja penanganan COVID-19 mendapat sorotan, karena realisasi angggaran stimulus kesehatan tersebut baru mencapai 4,68% dari total alokasi anggaran.
"Betapa ruginya rakyat, akibat tidak optimalnya pemanfaatan anggaran yang ada. Semakin sedikit anggaran yang terserap maka fungsi anggaran sebagai alat distribusi dan pemerataan pembangunan tidak tercapai," paparnya.
tulis komentar anda