Kemesraan Muhammadiyah-Nahdlatul Ulama, Bagaimana Memahaminya?
Rabu, 07 September 2022 - 13:40 WIB
Untuk yang sendiri-sendiri, tentulah tidak perlu ditayangkan di sini. Namun yang datang berdua untuk satu tujuan, merekatkan silarurahmi antara warga Muhammadiyah dan NU di Sumbar, tentulah sangat bermakna. Terutama bagi warga akar rumput kedua persyarikatan dan jam'iah ini. Selebihnya menjadi uswah bagi masyarakat di Sumbar secara umum kala itu.
Sewaktu Jusuf Kalla menjabat Menko Kesra pada 2002 di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri, ada silaturahmi yang amat kompak.Ketiga tokoh ini, JK, Buya Syafii Maarif, dan KH Hasyim Muzadi menjadi pembicara kunci dan narasumber suatu agenda dialog interaktif Muhammadiyah-NU melawan korupsi.
Agenda itu berlangsung di Asrama Haji Parupuk Tabing. Ada sekitar seribuan orang yang menjadi peserta. Tentu saja yang hadir lintas ormas dan tokoh serta masyarakat luas kala itu.
Menko Kesra JK menjadi pembicara kunci dan membuka acara, serta Buya Syafii dan KH Hasyim Muzadi menjadi narasumber seminar berformat talk-show kala itu.
Sketsa itu membawa kepada suasana sejuk bagi ormas Islam terbesar di Sumbar. Bahkan ketika datang sendiri ke Sumbar, KH Hasyim Muzadi dipersilakan dengan hati lapang oleh PW Muhammadiyah menjadi khatib Jumat di Masjid Raya Muhammadiyah Jalan Bundo Kandung No 1 Padang, kawasan Pasar Raya. Konon, belum pernah ada tokoh apalagi Ketua Umum PBNU yang dipersilakan menjadi khatib Jumat di Masjid Muhammadiyah yang seperti itu.
Kini, apa yang terjadi?
Setelah berlalu masa kepemimpinan dua tokoh bangsa tadi, dari daerah atau wilayah provinsi, hubungan kedua persyarikatan itu, tampaknya lebih bersifat formalistik.
Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 24 Desember 2021 memilih KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU. Sementara silaturahmi Gus Yahya ke PP Muhammadiyah seperti pada intro tulisan ini baru Ahad, 4 September 2022 atau kurang lebih 9 bulan setelah Muktamar NU.
Apa makna tersirat?
Boleh jadi Gus Yahya menunggu Haedar untuk datang ke Kantor PBNU bersilaturahmi sekaligus mengucapkan selamat. Namun penantian itu terlalu lama, maka dengan besar hati Gus Yahya datang ke PP Muhammadiyah.
Sewaktu Jusuf Kalla menjabat Menko Kesra pada 2002 di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri, ada silaturahmi yang amat kompak.Ketiga tokoh ini, JK, Buya Syafii Maarif, dan KH Hasyim Muzadi menjadi pembicara kunci dan narasumber suatu agenda dialog interaktif Muhammadiyah-NU melawan korupsi.
Agenda itu berlangsung di Asrama Haji Parupuk Tabing. Ada sekitar seribuan orang yang menjadi peserta. Tentu saja yang hadir lintas ormas dan tokoh serta masyarakat luas kala itu.
Menko Kesra JK menjadi pembicara kunci dan membuka acara, serta Buya Syafii dan KH Hasyim Muzadi menjadi narasumber seminar berformat talk-show kala itu.
Sketsa itu membawa kepada suasana sejuk bagi ormas Islam terbesar di Sumbar. Bahkan ketika datang sendiri ke Sumbar, KH Hasyim Muzadi dipersilakan dengan hati lapang oleh PW Muhammadiyah menjadi khatib Jumat di Masjid Raya Muhammadiyah Jalan Bundo Kandung No 1 Padang, kawasan Pasar Raya. Konon, belum pernah ada tokoh apalagi Ketua Umum PBNU yang dipersilakan menjadi khatib Jumat di Masjid Muhammadiyah yang seperti itu.
Kini, apa yang terjadi?
Setelah berlalu masa kepemimpinan dua tokoh bangsa tadi, dari daerah atau wilayah provinsi, hubungan kedua persyarikatan itu, tampaknya lebih bersifat formalistik.
Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 24 Desember 2021 memilih KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU. Sementara silaturahmi Gus Yahya ke PP Muhammadiyah seperti pada intro tulisan ini baru Ahad, 4 September 2022 atau kurang lebih 9 bulan setelah Muktamar NU.
Apa makna tersirat?
Boleh jadi Gus Yahya menunggu Haedar untuk datang ke Kantor PBNU bersilaturahmi sekaligus mengucapkan selamat. Namun penantian itu terlalu lama, maka dengan besar hati Gus Yahya datang ke PP Muhammadiyah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda