Kemesraan Muhammadiyah-Nahdlatul Ulama, Bagaimana Memahaminya?
Rabu, 07 September 2022 - 13:40 WIB
Shofwan Karim
Ketua PW Muhammadiyah Sumbar 2000-2005; 2015 s/d sekarang;Dosen UM Sumbar;Ketua Umum YPKM
PADA Ahad pagi, 4 September 2020, datang berkunjung ke Kantor PP Muhammadiyah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (Ketum PBNU) KH Yahya Cholil Staquf dengan grup kecil. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir didampingi Sekretaris Umum Abdul Mu'ti menyambut dengan hangat.
Mengutip situs resmi Muhammadiyah, ada beberapa poin maksud kunjungan Gus Yahya, sapaan akrab Yahya Cholil Qoumas, ke PP Muhammadiyah. Pertama, kunjungan ini adalah silaturahmi pertama Gus Yahya ke Muhammadiyah setelah dirinya terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, beberapa waktu lalu. Kedua, silaturahmi tersebut untuk memperkuat dan mempererat kerja sama NU dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di dunia. Ketiga, Gus Yahya mengundang Muhammadiyah untuk hadir dalam pertemuan besar Religion for Twenty (R-20) di Bali pada 3-4 November 2022.
Kunjung-berkunjung antara petinggi NU dan Muhammadiyah sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Indonesia. Bukan kali ini saja, setiap masa periode kepimpinan dua organisasi umat yang lahir sebelum kemerdekaan ini juga melakukan hal yang sama. Tidak diragukan lagi, silaturahmi telah menjadi tradisi sejak Muhammadiyah lahir pada 1912 dan NU 1926.
Pernyataan Ustaz Adi Hidayat (UAH) di Channel YouTube bahkan pendiri Muhammadiyah dan NU, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari adalah satu nasab ke atas dari kakek-buyut mereka dalam rentang silsilah yang dekat. Video UAH ini kemudian viral di media sosial.
Namun apakah kemesraan tingkat nasional itu cukup merata sampai ke bawah? Tentu saja tidak serta-merta dapat dijawab, ya atau tidak. Pada daerah, wilayah atau provinsi tertentu, keadaan itu mungkin, ya. Namun pada wilayah lain, bisa jadi, tidak. Sayang kriteria ya atau tidak itu belum ada yang mengukurnya dalam suatu penelitian kualitatif, apalagi kasat mata.
Di Sumatera Barat, pascareformasi, nuansa akrab antara Muhammadiyah dan NU sangat terasa. Terutama di masa kepemimpinan nasional Muhammadiyah di tangan Buya Ahmad Syafii Maarif (1998-2005) dan NU di bawah kepemimpinan KH Ahmad Hasyim Muzadi (1999-2010).
Ahmad Hasyim Muzadi (8 Augustus 1944-16 March 2017) dan Ahmad Syafii Maarif (31 Mei 1935–27 Mei 2022) sering datang sendiri-sendiri dan sesekali berdua berkunjung ke Sumatera Barat dalam masa kepemimpinanan mereka.
Ketua PW Muhammadiyah Sumbar 2000-2005; 2015 s/d sekarang;Dosen UM Sumbar;Ketua Umum YPKM
PADA Ahad pagi, 4 September 2020, datang berkunjung ke Kantor PP Muhammadiyah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (Ketum PBNU) KH Yahya Cholil Staquf dengan grup kecil. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir didampingi Sekretaris Umum Abdul Mu'ti menyambut dengan hangat.
Mengutip situs resmi Muhammadiyah, ada beberapa poin maksud kunjungan Gus Yahya, sapaan akrab Yahya Cholil Qoumas, ke PP Muhammadiyah. Pertama, kunjungan ini adalah silaturahmi pertama Gus Yahya ke Muhammadiyah setelah dirinya terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, beberapa waktu lalu. Kedua, silaturahmi tersebut untuk memperkuat dan mempererat kerja sama NU dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di dunia. Ketiga, Gus Yahya mengundang Muhammadiyah untuk hadir dalam pertemuan besar Religion for Twenty (R-20) di Bali pada 3-4 November 2022.
Kunjung-berkunjung antara petinggi NU dan Muhammadiyah sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Indonesia. Bukan kali ini saja, setiap masa periode kepimpinan dua organisasi umat yang lahir sebelum kemerdekaan ini juga melakukan hal yang sama. Tidak diragukan lagi, silaturahmi telah menjadi tradisi sejak Muhammadiyah lahir pada 1912 dan NU 1926.
Pernyataan Ustaz Adi Hidayat (UAH) di Channel YouTube bahkan pendiri Muhammadiyah dan NU, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari adalah satu nasab ke atas dari kakek-buyut mereka dalam rentang silsilah yang dekat. Video UAH ini kemudian viral di media sosial.
Namun apakah kemesraan tingkat nasional itu cukup merata sampai ke bawah? Tentu saja tidak serta-merta dapat dijawab, ya atau tidak. Pada daerah, wilayah atau provinsi tertentu, keadaan itu mungkin, ya. Namun pada wilayah lain, bisa jadi, tidak. Sayang kriteria ya atau tidak itu belum ada yang mengukurnya dalam suatu penelitian kualitatif, apalagi kasat mata.
Di Sumatera Barat, pascareformasi, nuansa akrab antara Muhammadiyah dan NU sangat terasa. Terutama di masa kepemimpinan nasional Muhammadiyah di tangan Buya Ahmad Syafii Maarif (1998-2005) dan NU di bawah kepemimpinan KH Ahmad Hasyim Muzadi (1999-2010).
Ahmad Hasyim Muzadi (8 Augustus 1944-16 March 2017) dan Ahmad Syafii Maarif (31 Mei 1935–27 Mei 2022) sering datang sendiri-sendiri dan sesekali berdua berkunjung ke Sumatera Barat dalam masa kepemimpinanan mereka.
tulis komentar anda