Perlukah Koalisi Baru?

Sabtu, 03 September 2022 - 09:34 WIB
Pilpres 2024 mulai diramaikan dengan munculnya koalisi partai politik. FOTO/WAWAN BASTIAN
Perlukah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membuat poros koalisi tersendiri menghadapi kontestansi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2022 nanti? Harapan ini disampaikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Apa urgensi langkah tersebut dilakukan? Dan untuk kepentingan apa harapan tersebut harus diwujudkan?

Pernyataan yang disampaikan Wasekjen DPP PKB Syaiful Huda tersebut secara tidak langsung merespons manuver politik Puan Maharani yang dikemas dalam bentuk safari politik. Rencananya, puteri Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri ini akan menemui Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto. Sebelumnya Puan sudah bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.

Bisa jadi apa yang disampaikan PKB tersebut sebagai bentuk kekhawatiran akan mengganggu Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang telah dideklarasikan bersama Gerindra pada pertengahan Agustus lalu di Sentul, Bogor. Walaupun sudah bersepakat akan berjuang bersama memenangkan Pilpres 2024 - dalam hal ini dengan menyandingkan Prabowo dengan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar-, dalam politik yang mempertuhankan kepentingan, sangat mungkin Gerindra terpengaruh hingga mengubah kebutusan secara drastis.

Namun di sisi lain, safari Puan -yang mau tidak mau tidak mau harus dilihat persepektif konsolidasi menuju Pilres 2024- sebagai wujud kegalauan. Pasalnya, sejauh ini partai pemenang pemilu tersebut tertinggal dalam mencari mitra. Hingga awal September, partai yang memutuskan koaliasi hanya menyisakan Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nasdem sendiri pun telah mengumumkan bakal kandidat presidennya, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa.



Di luar Nasdem, semua partai sudah terbelah dalam kelompok koalisi. Selain PKB-Gerindra, partai lain seperti Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah meneguhkan komitmen dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Walaupun baru sebatas menggagas komitimen bersama mengusung program 10 tahun, secara de facto nama Airlangga Hartarto menjadi pilihan utama yang akan diusung sebagai calon presiden.

Melihatpuzzlekoalisi yang sudah tersusun tersebut, tentu PDIP hanya memiliki dua pilihan rasional, yakni bergabung dengan koalisi yang telah ada atau membuat koalisi sendiri. Bila pilihan bergabung dengan koalisi yang telah ada, sudah pasti akan merusak internal partai koalisi. Mengapa? Apakah mungkin seorang Puan yang berlatar partai terbesar di Tanah Air hanya berposisi sebagai wakil presiden? Sebaliknya, apakah partai-partai sudah bersatu sejak awal membangun koalisi rela dikendalikan partai pendatang baru dalam koalisi?

Kembali ke prinsip utama permainan politik yang mengedepankan kepentingan, masih sangat mungkin karena tekanan politik terhadap parpol atau elit atau kepentingan pragmatisme, komitmen yang sudah dideklarasikan tiba-tiba berubah hingga mereka memberikan red karpet untuk Puan dan menjadikannya sebagai capres: baik di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya maupun Koalisi Indonesia Baru. Sudah pasti riak di internal koalisi tetap akan muncul. Tapi bukan itu yang patut menjadi penekanan.

Bergabungnya Puan ke dalam salah satu kelompok koalisi akan mengurangi potensi terwujudnya lebih dari dua pasang kandidat dalam kontestansi Pilpres 2024. Harapan ini bisa terwujud bila PDIP membuat koalisi baru dengan partai-partai tersisa. Bagi PDIP, dengan perolehan suara pada Pemilu 2019 yang mencapai 27.594.839 suara yang dikonversi menjadi 128 kursi parlemen, sangat mudah membangun koalisi baru.

Cukup hanya merangkul satu partai tersisa, prasyarat 20% jumlah kursi DPR atau 25% suara sah secara nasional seperti diatur Pasal 222 UU No 7/2017 tentang Pemilu sudah bisa dipenuhi, dan koalisi pun bisa terbentuk. Misalnya, merangkul Nasdem yang secara ideologi partai dan politik tidak ada benturan.

Lantas apa urgensi terbentuknya lebih dari dua koalisi? Untuk membuat pertarungan pilpres lebih cair! Hingga demokrasi Indonesia bisa semakin sehat dan dewasa! Pelajaran dua pilpres sebelumnya yang diikuti hanya dua pasang kandidat, secara faktual telah membelah masyarakat dalam dua kelompok yang saling berhadapan. Suasana semakin tidak sehat dengan adanya bumbu-bumbu agama dan ideologis yang menyertainya.

Yang memprihatinkan, dampak pembelahan tersebut tidak bisa selesai seiring berakhirnya pilpres, tapi berlanjut hingga kini. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kondisi tersebut sangat tidak baik. Bukan hanya sekadar merusak keberadaban demokrasi, tapi juga menggangu konsolidasi untuk pembangunan bangsa.

Kiranya, bagi PDIP yang selama ini sangat percaya diri, pilihan apapun tidak mengurangi kans memenangkan pilres, apalagi Puan sudah meyakini nanti akan ada presiden perempuan lagi!
(ynt)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More