Mendesak Reformasi Subsidi Energi

Selasa, 30 Agustus 2022 - 17:14 WIB
Pertimbangan ekonomi sejatinya jauh lebih kecil daripada dimensi politiknya itu sendiri, apalagi saat mendekati pemilu. Subsidi BBM telah menjadi sandera politik yang berkepanjangan, tak terkecuali oleh Presiden Joko Widodo, yang pada awal kampanyenya terlihat “anti” terhadap subsidi energi.

Tak kalah pentingnya adalah salah kaprah secara ekologis. BBM adalah produk energi fosil, yang banyak menghasilkan jejak karbon, atau emisi gas buang. Semakin rendah kualitas BBM-nya, semakin tinggi emisi gas buangnya, dan sebaliknya.

Masalahnya, lebih dari 75% BBM yang kita gunakan belum memenuhi standar Euro, sekalipun Euro 2. Artinya, BBM yang kita gunakan masih menghasilkan emisi gas buang secara signifikan. Pertalite belum memenuhi standar Euro 2, karena level oktan number-nya hanya 90, begitu juga solar, cetan number-nya hanya 50.

Untuk memenuhi Euro 2, untuk jenis gasolin minimal oktan numbernya adalah 92, dan untuk jenis diesel/solar, cetan number-nya minimal 51. Sementara itu, di wilayah ASEAN sekalipun, jenis BBM-nya sudah mencapai standar Euro 4, dan di Eropa sudah mencapai Euro 6. Jadi betapa tertinggalnya kualitas BBM di Indonesia.

Dengan potret yang demikian, sungguh ironis jika dilekatkan subsidi/insentif pada produk BBM. Jika konsisten dengan protokol perubahan iklim global yang telah diratifikasi Presiden Jokowi, maka produk yang memicu kerusakan alam, seharusnya diberikan disinsentif, bukan insentif (subsidi).

Maka dari itu, yang sangat mendesak adalah melakukan reformasi terhadap mekanisme pemberian subsidi energi, baik itu subsidi BBM, subsidi gas elpiji 3 kg, bahkan subsidi listrik. Misalnya, pertama, idealnya subsidi BBM itu targetted, targetnya jelas, by name by address. Bukan non targetted seperti mekanisme saat ini, penerimanya sangat terbuka, dan terbukti masyarakat kaya yang menikmatinya.

Target yang jelas untuk subsidi BBM ya masyarakat miskin. Ini kalau kita konsisten dengan mandat dari UU tentang Energi, plus bentuk keadilan sosial dan keadilan ekologis.

Kedua, pengenaan dis-insentif (semacam cukai pada rokok), pada produk BBM. Hal ini urgen sebagai upaya untuk menekan penggunaan energi fosil, yang ending-nya menekan produksi emisi gas buang (gas karbon). Artinya, tidak ada ceritanya BBM itu disubsidi, apalagi untuk jenis “BBM kotor”, seperti pertalite, dan solar.

Kalau mau memberikan subsidi, dari sisi ekologis, adalah BBM yang kualitasnya baik (BBM yang lebih ramah lingkungan), seperti pertamaks, pertamaks turbo, Pertamina dex, dan yang setara dengan itu. Seharusnya semua produk dan jenis BBM dikenai cukai, sebagaimana rokok. Sebab sama-sama menimbulkan dampak ekternalitas negatif bagi lingkungan dan kesehatan.

Relevan dengan fluktuasi harga minyak mentah dunia dan kemudian berimplikasi pada harga ritel BBM di dalam negeri, maka ke depan idealnya kita mempunyai dana tabungan untuk minyak, semacam oil fund. Saat harga minyak mentah turun, selisihnya bisa disimpan dalam “tabung minyak” oil fund ini. Dan, saat harga minyak mentah melambung, seperti sekarang, dana dari oil fund ini bisa digunakan untuk intervensi pasar.

Jadi ketika terjadi gejolak harga minyak mentah dunia, maka harga ritel BBM di dalam negeri tak perlu dinaikkan, bisa digelontor dari oil fund tersebut. Dengan mekanisme semacam ini, harga BBM di dalam negeri akan lebih stabil, sehingga masyarakat konsumen tidak terkena efek domino atas kenaikan harga BBM.

Baca Juga: koran-sindo.com

Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More