Mendesak Reformasi Subsidi Energi
Selasa, 30 Agustus 2022 - 17:14 WIB
Dengan demikian, baik pada konteks sosial ekonomi maupun normatif, pengguna mobil pribadi jelas tidak termasuk masyarakat miskin dan ataupun masyarakat rentan miskin. Khusus pengguna sepeda motor, memang sekitar 10-15% profilnya adalah low income, alias masyarakat rentan miskin.
Inilah salah kaprah yang pertama dan utama, terkait peruntukan subsidi energi di Indonesia, khususnya subsidi BBM. Para penikmat subsidi energi bukan kelompok masyarakat miskin, sebagaimana mandat UU tentang Energi! Bahkan untuk BBM, semakin kaya semakin banyak menikmati subsidi BBM.
Subsidi energi yang implementasinya lebih baik adalah subsidi sektor ketenagalistrikan. Sedangkan untuk produk BBM, merujuk pada kajian Bank Dunia (2022) bahwa 70% lebih subsidi BBM dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah dan mampu. Sedangkan subsidi untuk gas elpiji 3 kg, antara 29-30% dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah dan mampu.
Salah kaprah berikutnya adalah, pada perspektif politik. Sejak rezim Orde Baru hingga kini, secara riil subsidi BBM telah dijadikan sebagai instrumen politik, untuk menjaga stabilitas politik. Bukan hanya oleh kalangan eksekutif, tetapi juga legislatif plus para politisi di partai politik.
Pertimbangan ekonomi sejatinya jauh lebih kecil daripada dimensi politiknya itu sendiri, apalagi saat mendekati pemilu. Subsidi BBM telah menjadi sandera politik yang berkepanjangan, tak terkecuali oleh Presiden Joko Widodo, yang pada awal kampanyenya terlihat “anti” terhadap subsidi energi.
Tak kalah pentingnya adalah salah kaprah secara ekologis. BBM adalah produk energi fosil, yang banyak menghasilkan jejak karbon, atau emisi gas buang. Semakin rendah kualitas BBM-nya, semakin tinggi emisi gas buangnya, dan sebaliknya.
Masalahnya, lebih dari 75% BBM yang kita gunakan belum memenuhi standar Euro, sekalipun Euro 2. Artinya, BBM yang kita gunakan masih menghasilkan emisi gas buang secara signifikan. Pertalite belum memenuhi standar Euro 2, karena level oktan number-nya hanya 90, begitu juga solar, cetan number-nya hanya 50.
Untuk memenuhi Euro 2, untuk jenis gasolin minimal oktan numbernya adalah 92, dan untuk jenis diesel/solar, cetan number-nya minimal 51. Sementara itu, di wilayah ASEAN sekalipun, jenis BBM-nya sudah mencapai standar Euro 4, dan di Eropa sudah mencapai Euro 6. Jadi betapa tertinggalnya kualitas BBM di Indonesia.
Dengan potret yang demikian, sungguh ironis jika dilekatkan subsidi/insentif pada produk BBM. Jika konsisten dengan protokol perubahan iklim global yang telah diratifikasi Presiden Jokowi, maka produk yang memicu kerusakan alam, seharusnya diberikan disinsentif, bukan insentif (subsidi).
Maka dari itu, yang sangat mendesak adalah melakukan reformasi terhadap mekanisme pemberian subsidi energi, baik itu subsidi BBM, subsidi gas elpiji 3 kg, bahkan subsidi listrik. Misalnya, pertama, idealnya subsidi BBM itu targetted, targetnya jelas, by name by address. Bukan non targetted seperti mekanisme saat ini, penerimanya sangat terbuka, dan terbukti masyarakat kaya yang menikmatinya.
Inilah salah kaprah yang pertama dan utama, terkait peruntukan subsidi energi di Indonesia, khususnya subsidi BBM. Para penikmat subsidi energi bukan kelompok masyarakat miskin, sebagaimana mandat UU tentang Energi! Bahkan untuk BBM, semakin kaya semakin banyak menikmati subsidi BBM.
Subsidi energi yang implementasinya lebih baik adalah subsidi sektor ketenagalistrikan. Sedangkan untuk produk BBM, merujuk pada kajian Bank Dunia (2022) bahwa 70% lebih subsidi BBM dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah dan mampu. Sedangkan subsidi untuk gas elpiji 3 kg, antara 29-30% dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah dan mampu.
Salah kaprah berikutnya adalah, pada perspektif politik. Sejak rezim Orde Baru hingga kini, secara riil subsidi BBM telah dijadikan sebagai instrumen politik, untuk menjaga stabilitas politik. Bukan hanya oleh kalangan eksekutif, tetapi juga legislatif plus para politisi di partai politik.
Pertimbangan ekonomi sejatinya jauh lebih kecil daripada dimensi politiknya itu sendiri, apalagi saat mendekati pemilu. Subsidi BBM telah menjadi sandera politik yang berkepanjangan, tak terkecuali oleh Presiden Joko Widodo, yang pada awal kampanyenya terlihat “anti” terhadap subsidi energi.
Tak kalah pentingnya adalah salah kaprah secara ekologis. BBM adalah produk energi fosil, yang banyak menghasilkan jejak karbon, atau emisi gas buang. Semakin rendah kualitas BBM-nya, semakin tinggi emisi gas buangnya, dan sebaliknya.
Masalahnya, lebih dari 75% BBM yang kita gunakan belum memenuhi standar Euro, sekalipun Euro 2. Artinya, BBM yang kita gunakan masih menghasilkan emisi gas buang secara signifikan. Pertalite belum memenuhi standar Euro 2, karena level oktan number-nya hanya 90, begitu juga solar, cetan number-nya hanya 50.
Untuk memenuhi Euro 2, untuk jenis gasolin minimal oktan numbernya adalah 92, dan untuk jenis diesel/solar, cetan number-nya minimal 51. Sementara itu, di wilayah ASEAN sekalipun, jenis BBM-nya sudah mencapai standar Euro 4, dan di Eropa sudah mencapai Euro 6. Jadi betapa tertinggalnya kualitas BBM di Indonesia.
Dengan potret yang demikian, sungguh ironis jika dilekatkan subsidi/insentif pada produk BBM. Jika konsisten dengan protokol perubahan iklim global yang telah diratifikasi Presiden Jokowi, maka produk yang memicu kerusakan alam, seharusnya diberikan disinsentif, bukan insentif (subsidi).
Maka dari itu, yang sangat mendesak adalah melakukan reformasi terhadap mekanisme pemberian subsidi energi, baik itu subsidi BBM, subsidi gas elpiji 3 kg, bahkan subsidi listrik. Misalnya, pertama, idealnya subsidi BBM itu targetted, targetnya jelas, by name by address. Bukan non targetted seperti mekanisme saat ini, penerimanya sangat terbuka, dan terbukti masyarakat kaya yang menikmatinya.
tulis komentar anda