Mendesak Reformasi Subsidi Energi

Selasa, 30 Agustus 2022 - 17:14 WIB
loading...
Mendesak Reformasi Subsidi Energi
Tulus Abadi (Foto: Ist)
A A A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI, Pemerhati Energi

SEBULAN terakhir ini Presiden Joko Widodo lantang “berteriak” terkait tingginya alokasi subsidi energi, yang sudah mencapai Rp502 triliun. Presiden pun mengingatkan jika tak ada upaya pengendalian, jumlah tersebut akan melambung lebih tinggi lagi.

Lebih detail Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahwa bahan bakar minyak bersubsidi (pertalite dan solar), kuotanya akan habis pada September-Oktober 2022. Peruntukan subsidi energi meliputi subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, dan subsidi gas elpiji 3 kg. Genderang harga BBM akan dinaikkan pun sepertinya menjadi sebuah keniscayaan.

Lalu bagaimana sejatinya kita musti memaknai subsidi energi, khususnya subsidi BBM, baik pada konteks normatif, sosial ekonomi, energi bahkan konteks politik ?

Jika merujuk pada sisi regulasi, khususnya yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, subsidi energi itu adalah hak kelompok masyarakat yang tidak mampu. Tegasnya yang berhak atas subsidi energi (BBM, listrik, dan gas elpiji) adalah masyarakat miskin.

Untuk energi listrik, masyarakat tidak mampu diejawantahkan pada konsumen listrik kategori 450-900 Volt ampere (VA). Konsumen 450 VA bahkan nyaris full subsidi, sejak 2002. Sedangkan pada gas elpiji, diejawantahkan pada tabung gas elpiji 3 kg, alias gas melon.

Nah, untuk subsidi BBM siapa sesungguhnya penikmatnya? Ya, tentu para pemilik kendaraan bermotor, baik mobil pribadi dan atau sepeda motor. Berbagai riset menunjukkan, BBM bersubsidi jenis pertalite lebih dari 70% dinikmati oleh pemilik mobil pribadi, dan sisanya oleh pengguna sepeda motor.

Pertanyaannya, apakah para pemilik mobil pribadi ini kategori masyarakat tidak mampu sebagaimana mandat dari UU tentang Energi? Atau bahkan pemilik sepeda motor sekalipun? Sebab jika merujuk pada data Kementerisn Sosial, masyarakat tidak mampu (masyarakat miskin) jumlahnya berkisar 26 jutaan. Memang ada juga kelompok masyarakat yang rentan miskin, yang jumlahnya mencapai 62 jutaan.

Dengan demikian, baik pada konteks sosial ekonomi maupun normatif, pengguna mobil pribadi jelas tidak termasuk masyarakat miskin dan ataupun masyarakat rentan miskin. Khusus pengguna sepeda motor, memang sekitar 10-15% profilnya adalah low income, alias masyarakat rentan miskin.

Inilah salah kaprah yang pertama dan utama, terkait peruntukan subsidi energi di Indonesia, khususnya subsidi BBM. Para penikmat subsidi energi bukan kelompok masyarakat miskin, sebagaimana mandat UU tentang Energi! Bahkan untuk BBM, semakin kaya semakin banyak menikmati subsidi BBM.

Subsidi energi yang implementasinya lebih baik adalah subsidi sektor ketenagalistrikan. Sedangkan untuk produk BBM, merujuk pada kajian Bank Dunia (2022) bahwa 70% lebih subsidi BBM dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah dan mampu. Sedangkan subsidi untuk gas elpiji 3 kg, antara 29-30% dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah dan mampu.

Salah kaprah berikutnya adalah, pada perspektif politik. Sejak rezim Orde Baru hingga kini, secara riil subsidi BBM telah dijadikan sebagai instrumen politik, untuk menjaga stabilitas politik. Bukan hanya oleh kalangan eksekutif, tetapi juga legislatif plus para politisi di partai politik.

Pertimbangan ekonomi sejatinya jauh lebih kecil daripada dimensi politiknya itu sendiri, apalagi saat mendekati pemilu. Subsidi BBM telah menjadi sandera politik yang berkepanjangan, tak terkecuali oleh Presiden Joko Widodo, yang pada awal kampanyenya terlihat “anti” terhadap subsidi energi.

Tak kalah pentingnya adalah salah kaprah secara ekologis. BBM adalah produk energi fosil, yang banyak menghasilkan jejak karbon, atau emisi gas buang. Semakin rendah kualitas BBM-nya, semakin tinggi emisi gas buangnya, dan sebaliknya.

Masalahnya, lebih dari 75% BBM yang kita gunakan belum memenuhi standar Euro, sekalipun Euro 2. Artinya, BBM yang kita gunakan masih menghasilkan emisi gas buang secara signifikan. Pertalite belum memenuhi standar Euro 2, karena level oktan number-nya hanya 90, begitu juga solar, cetan number-nya hanya 50.

Untuk memenuhi Euro 2, untuk jenis gasolin minimal oktan numbernya adalah 92, dan untuk jenis diesel/solar, cetan number-nya minimal 51. Sementara itu, di wilayah ASEAN sekalipun, jenis BBM-nya sudah mencapai standar Euro 4, dan di Eropa sudah mencapai Euro 6. Jadi betapa tertinggalnya kualitas BBM di Indonesia.

Dengan potret yang demikian, sungguh ironis jika dilekatkan subsidi/insentif pada produk BBM. Jika konsisten dengan protokol perubahan iklim global yang telah diratifikasi Presiden Jokowi, maka produk yang memicu kerusakan alam, seharusnya diberikan disinsentif, bukan insentif (subsidi).

Maka dari itu, yang sangat mendesak adalah melakukan reformasi terhadap mekanisme pemberian subsidi energi, baik itu subsidi BBM, subsidi gas elpiji 3 kg, bahkan subsidi listrik. Misalnya, pertama, idealnya subsidi BBM itu targetted, targetnya jelas, by name by address. Bukan non targetted seperti mekanisme saat ini, penerimanya sangat terbuka, dan terbukti masyarakat kaya yang menikmatinya.

Target yang jelas untuk subsidi BBM ya masyarakat miskin. Ini kalau kita konsisten dengan mandat dari UU tentang Energi, plus bentuk keadilan sosial dan keadilan ekologis.

Kedua, pengenaan dis-insentif (semacam cukai pada rokok), pada produk BBM. Hal ini urgen sebagai upaya untuk menekan penggunaan energi fosil, yang ending-nya menekan produksi emisi gas buang (gas karbon). Artinya, tidak ada ceritanya BBM itu disubsidi, apalagi untuk jenis “BBM kotor”, seperti pertalite, dan solar.

Kalau mau memberikan subsidi, dari sisi ekologis, adalah BBM yang kualitasnya baik (BBM yang lebih ramah lingkungan), seperti pertamaks, pertamaks turbo, Pertamina dex, dan yang setara dengan itu. Seharusnya semua produk dan jenis BBM dikenai cukai, sebagaimana rokok. Sebab sama-sama menimbulkan dampak ekternalitas negatif bagi lingkungan dan kesehatan.

Relevan dengan fluktuasi harga minyak mentah dunia dan kemudian berimplikasi pada harga ritel BBM di dalam negeri, maka ke depan idealnya kita mempunyai dana tabungan untuk minyak, semacam oil fund. Saat harga minyak mentah turun, selisihnya bisa disimpan dalam “tabung minyak” oil fund ini. Dan, saat harga minyak mentah melambung, seperti sekarang, dana dari oil fund ini bisa digunakan untuk intervensi pasar.

Jadi ketika terjadi gejolak harga minyak mentah dunia, maka harga ritel BBM di dalam negeri tak perlu dinaikkan, bisa digelontor dari oil fund tersebut. Dengan mekanisme semacam ini, harga BBM di dalam negeri akan lebih stabil, sehingga masyarakat konsumen tidak terkena efek domino atas kenaikan harga BBM.

Baca Juga: koran-sindo.com





(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1956 seconds (0.1#10.140)