Gender Gap di Sektor Pertanian
Kamis, 18 Agustus 2022 - 11:13 WIB
Dian Novita Susanto
Ketua Umum DPP Perempuan Tani HKTI
TAHUN ini, usia Indonesia sebagai negara bangsa sudah 77 tahun. Ada ragam persoalan yang belum terselesaikan sebagaimana cita-cita Indonesia merdeka; Indonesia yang adil dan sejahtera. Dari sudut agriculture, petani Indonesia sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan dan pertanian Indonesia tertinggal dari bangsa-bangsa lain walaupun dalam beberapa aspek ada kemajuan. Apalagi di masa pandemi Covid-19 sektor pertanian tetap tumbuh positif.
Mengutip Soekarno bahwa petani adalah sokoguru bangsa Indonesia, sokoguru revolusi. Ucapan tersebut penuh dengan makna yang dalam. Soekarno memahami dan merasakan betul bagaimana penderitaan rakyat (petani) yang saat itu hidup dalam penderitaan karena penjajahan kolonial dan feodalisme yang begitu kuat di lingkungannya.
Petani adalah pahlawan pangan nasional, memberi makan puluhan juta perut dan menghasilkan devisa bagi negara. Namun potret kehidupannya pebuh dengan kemiskinan, ada ketimpangan termasuk di dalamnya soal gender gap.
Persoalan semakin kompleks, gender gap menjadi isu dan tantangan krusial. Terjadi ketimpangan struktural yang menyebabkan petani perempuan tidak memiliki aset dan akses yang setara dengan petani laki-laki, meskipun petani laki-laki di Indonesia juga tidak memiliki tanah yang luas (rata-rata 0,3-0,5 hektare) sehingga petani Indonesia adalah petani pekerja, bukan petani kapital.
Adapun akses, petani perempuan sulit mendapatkan kredit dari bank, sarana dan prasarana produksi termasuk akses teknologi, informasi terutama dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM). Kondisi ini membawa kesenjangan dan berpotensi petani perempuan semakin termarjinalkan, representasi perempuan dalam kelompok tani yang rendah dan sebagainya.
Khusus kredit misalnya, lembaga perbankan masih kesulitan melihat posisi petani perempuan karena dipersepsikan bukan sebagai pengambil keputusan, begitu pula dengan potensi dampak finansialnya terhadap keuntungan usahataninya.
Inilah salah satu sebab yang membuat otoritas perbankan masih menganggap petani perempuan sebagai kelas dua. Padahal survei PRISMA mengenai Akses dan Inklusi Finansial (SOFIA) di rumah tangga perdesaan menunjukkan bahwa 61% perempuan adalah pengambil keputusan dalam keuangan rumah tangga.
Ketua Umum DPP Perempuan Tani HKTI
TAHUN ini, usia Indonesia sebagai negara bangsa sudah 77 tahun. Ada ragam persoalan yang belum terselesaikan sebagaimana cita-cita Indonesia merdeka; Indonesia yang adil dan sejahtera. Dari sudut agriculture, petani Indonesia sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan dan pertanian Indonesia tertinggal dari bangsa-bangsa lain walaupun dalam beberapa aspek ada kemajuan. Apalagi di masa pandemi Covid-19 sektor pertanian tetap tumbuh positif.
Mengutip Soekarno bahwa petani adalah sokoguru bangsa Indonesia, sokoguru revolusi. Ucapan tersebut penuh dengan makna yang dalam. Soekarno memahami dan merasakan betul bagaimana penderitaan rakyat (petani) yang saat itu hidup dalam penderitaan karena penjajahan kolonial dan feodalisme yang begitu kuat di lingkungannya.
Petani adalah pahlawan pangan nasional, memberi makan puluhan juta perut dan menghasilkan devisa bagi negara. Namun potret kehidupannya pebuh dengan kemiskinan, ada ketimpangan termasuk di dalamnya soal gender gap.
Persoalan semakin kompleks, gender gap menjadi isu dan tantangan krusial. Terjadi ketimpangan struktural yang menyebabkan petani perempuan tidak memiliki aset dan akses yang setara dengan petani laki-laki, meskipun petani laki-laki di Indonesia juga tidak memiliki tanah yang luas (rata-rata 0,3-0,5 hektare) sehingga petani Indonesia adalah petani pekerja, bukan petani kapital.
Adapun akses, petani perempuan sulit mendapatkan kredit dari bank, sarana dan prasarana produksi termasuk akses teknologi, informasi terutama dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM). Kondisi ini membawa kesenjangan dan berpotensi petani perempuan semakin termarjinalkan, representasi perempuan dalam kelompok tani yang rendah dan sebagainya.
Khusus kredit misalnya, lembaga perbankan masih kesulitan melihat posisi petani perempuan karena dipersepsikan bukan sebagai pengambil keputusan, begitu pula dengan potensi dampak finansialnya terhadap keuntungan usahataninya.
Inilah salah satu sebab yang membuat otoritas perbankan masih menganggap petani perempuan sebagai kelas dua. Padahal survei PRISMA mengenai Akses dan Inklusi Finansial (SOFIA) di rumah tangga perdesaan menunjukkan bahwa 61% perempuan adalah pengambil keputusan dalam keuangan rumah tangga.
tulis komentar anda