Gender Gap di Sektor Pertanian
Kamis, 18 Agustus 2022 - 11:13 WIB
Padahal dengan mengarusutamakan otonomi perempuan, dipercaya petani perempuan memiliki daya ungkit yang lebih tinggi. Laporan McKinsey (2015) menyebutkan bagaimana upaya meningkatkan kesetaraan perempuan berpotensi meningkatkan GDP Global sebesar $12 Triliun pada tahun 2025. Hal yang hampir sama juga disampaikan FAO bahwa jika petani perempuan dilibatkan dalam proses produksi pertanian dan diberikan akses yang sama, maka dipercaya akan meningkatkan produktivitas pangan sekitar 20 - 30%.
Jelas ini sangat dahsat dan perlu menjadi cara pandang baru yang harus menjadi pijakan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pembangunan pertanian nasional. Dengan menutup gender gap di sektor pertanian tidak saja menguntungkan terutama peningkatan produksi dan penopang pertumbuhan ekonomi namun menutup gender gap juga berkontribusi pada pembangunan masyarakat melalui intervensi sensitif gender dan telah terbukti meningkatkan kesejahteraan petani perempuan secara keseluruhan, dan pendidikan anak (Fairtrade Foundation, 2015; Malapit et al., 2015; Bilfield et al., 2020).
Memerdekakan Petani Perempuan
Merdeka yang dimaksud bukan saja dari aspek terpenuhinya aset (memiliki lahan garapan) namun kepastian kehidupan petani lebih sejahtera. Menyambut 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045 (Indonesia Emas) yang mana salah satu visinya adalah pemantapan ketahanan nasional. di sini peran pertanian sangat krusial, selain memberi makan, sektor ini juga menjadi basis dasar untuk menggerakan sektor lain. Oleh karena itu, petani perempuan dan secara keseluruhan petani harus di merdekakan.
Disini penting mengingatkan kembali apa yang dipertanyakan Vandana Shiva, Siapa yang memberi makan dunia? Ia menjawabnya dan mungkin sangat berbeda dengan sebagian orang bahwa yang memberi makan dunia adalah para perempuan dan petani kecil - berlandaskan keanekaragaman hayati sebagai penyedia pangan di negara-negara dunia ketiga.
Apa yang disampaikan Vandana Shiva menjadi sangat relevan dengan tugas dan keterlibatan petani perempuan, terlibat dari pembukaan lahan, produksi, pascapanen sampai menjamin kecukupan gizi keluarga. Jadi sejatinya petani perempuan adalah ibu kedaulatan pangan.
Dengan demikian sangat penting untuk menggunakan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan pertanian. Sebagai pendekatan, PUG dijalankan dengan teknik analisis gender mulai dari identifikasi masalah, monitoring, evaluasi, sampai tindak lanjutnya.
Secara teoritis, identifikasi difokuskan pada tujuh prasyarat pelaksanaan PUG: komitmen pemimpin, kerangka kebijakan pembangunan, proses pelembagaan PUG, pengembangan sumber daya (SDM, modal), serta pengembangan partisipasi masyarakat. Implementasti PUG diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian, dan mengakselerasikan kesejahteraan rumah petani.
Dalam konteks komitmen pemimpin, menurut Sukesi dan Novia (2007) bahwa dalam PUG pertanian, apakah PUG pertanian telah menjadi komitmen politik terutama dari kepala daerah? Bila belum, berarti perlu sosialisasi masalah gender dalam pembangunan pertanian, apabila sudah dipahami, apakah menjadi kerangka kebijakan daerah? bagaimana SDM pelaksanannya?
Dalam hal kebijakan, harus terlihat dalam pendeligitimasian peranan petani perempuan dalam berbagai proses produksi mulai dari mendistribusikan lahan, jaminan modal, informasi, kemudian penggunaan teknologi ramah perempuan, peningkatan kapasitas meliputi pengetahuan dan manajemen usaha tani dan keterampilan melaui pendidikan dan pelatihan khususnya pasca panen--mengolah produk turunan pertanian. Minimnya kapasitas berdampak pada lemahnya aspek kelembagaan yang ada.
Jelas ini sangat dahsat dan perlu menjadi cara pandang baru yang harus menjadi pijakan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pembangunan pertanian nasional. Dengan menutup gender gap di sektor pertanian tidak saja menguntungkan terutama peningkatan produksi dan penopang pertumbuhan ekonomi namun menutup gender gap juga berkontribusi pada pembangunan masyarakat melalui intervensi sensitif gender dan telah terbukti meningkatkan kesejahteraan petani perempuan secara keseluruhan, dan pendidikan anak (Fairtrade Foundation, 2015; Malapit et al., 2015; Bilfield et al., 2020).
Memerdekakan Petani Perempuan
Merdeka yang dimaksud bukan saja dari aspek terpenuhinya aset (memiliki lahan garapan) namun kepastian kehidupan petani lebih sejahtera. Menyambut 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045 (Indonesia Emas) yang mana salah satu visinya adalah pemantapan ketahanan nasional. di sini peran pertanian sangat krusial, selain memberi makan, sektor ini juga menjadi basis dasar untuk menggerakan sektor lain. Oleh karena itu, petani perempuan dan secara keseluruhan petani harus di merdekakan.
Disini penting mengingatkan kembali apa yang dipertanyakan Vandana Shiva, Siapa yang memberi makan dunia? Ia menjawabnya dan mungkin sangat berbeda dengan sebagian orang bahwa yang memberi makan dunia adalah para perempuan dan petani kecil - berlandaskan keanekaragaman hayati sebagai penyedia pangan di negara-negara dunia ketiga.
Apa yang disampaikan Vandana Shiva menjadi sangat relevan dengan tugas dan keterlibatan petani perempuan, terlibat dari pembukaan lahan, produksi, pascapanen sampai menjamin kecukupan gizi keluarga. Jadi sejatinya petani perempuan adalah ibu kedaulatan pangan.
Dengan demikian sangat penting untuk menggunakan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan pertanian. Sebagai pendekatan, PUG dijalankan dengan teknik analisis gender mulai dari identifikasi masalah, monitoring, evaluasi, sampai tindak lanjutnya.
Secara teoritis, identifikasi difokuskan pada tujuh prasyarat pelaksanaan PUG: komitmen pemimpin, kerangka kebijakan pembangunan, proses pelembagaan PUG, pengembangan sumber daya (SDM, modal), serta pengembangan partisipasi masyarakat. Implementasti PUG diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian, dan mengakselerasikan kesejahteraan rumah petani.
Dalam konteks komitmen pemimpin, menurut Sukesi dan Novia (2007) bahwa dalam PUG pertanian, apakah PUG pertanian telah menjadi komitmen politik terutama dari kepala daerah? Bila belum, berarti perlu sosialisasi masalah gender dalam pembangunan pertanian, apabila sudah dipahami, apakah menjadi kerangka kebijakan daerah? bagaimana SDM pelaksanannya?
Dalam hal kebijakan, harus terlihat dalam pendeligitimasian peranan petani perempuan dalam berbagai proses produksi mulai dari mendistribusikan lahan, jaminan modal, informasi, kemudian penggunaan teknologi ramah perempuan, peningkatan kapasitas meliputi pengetahuan dan manajemen usaha tani dan keterampilan melaui pendidikan dan pelatihan khususnya pasca panen--mengolah produk turunan pertanian. Minimnya kapasitas berdampak pada lemahnya aspek kelembagaan yang ada.
tulis komentar anda