Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia
Selasa, 16 Agustus 2022 - 17:09 WIB
Bhima Yudhistira
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies
ADA yang terasa berbeda dari perayaan kemerdekaan tahun ini. Jalanan kampung mulai dipenuhi umbul-umbul, dan lomba yang ramai, setelah hampir tiga tahun sepi karena pandemi Covid-19. Masyarakat tumpah ruah mulai kerja bakti mempersiapkan acara 17 Agustus-an. Tapi ada yang mengganjal, setelah libur perayaan kemerdekaan usai, masyarakat mulai dihadapkan pada nafkah yang tak sebanding dengan harga-harga barang. Itulah tantangan nyata yang dihadapi 115 juta kelas menengah rentan atau aspiring middle class.
Dalam merayakan 77 tahun kemerdekaan Indonesia, kita masih diliputi keprihatinan. Meskipun berbagai angka pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya pemulihan dibanding 2020, tapi hal itu lebih disebabkan blessing in disguise dari booming harga komoditas. Sepanjang kuartal ke II 2022, ekonomi berhasil tumbuh 5,44% jauh di atas prediksi berbagai ekonom. Namun, masih ada 11,5 juta tenaga kerja yang terdampak pandemi, dari mulai korban pemotongan gaji, jam kerja hingga di-PHK. Angka ketimpangan atau rasio gini pun bergerak di 0,384 alias meningkat dibanding posisi September 2022, yakni 0,381. Jelas kualitas pertumbuhan jadi pekerjaan rumah fundamental ekonomi bangsa.
Di tengah naiknya harga barang, dan pemulihan daya beli yang belum merata kelas menengah rentan tak punya banyak pilihan dalam situasi saat ini. Selama masa pandemi, ketika omset usaha menurun atau gaji terpaksa dipotong oleh perusahaan, motor pun terpaksa digadai atau dijual. Jumlah aset menurun signifikan. Sekarang tinggal sisa perabotan rumah tangga, ditambah rumah yang masih dalam proses cicilan. Apa perlu dijual atau digadai semua? Kenaikan inflasi hampir 5% sepanjang Juli lalu bukan sekadar data statistik, tapi sudah dirasakan masyarakat di berbagai aspek.
Harga pangan yang naik jelas anomali karena lebaran sudah lewat. Artinya, masalah pangan merupakan dampak dari pasokan yang terganggu. Produksi gandum yang macet di Ukraina karena perang masih berlanjut, memengaruhi harga mie instan. Begitu juga bawang putih yang 85% diperoleh dari impor, bergantung dari cuaca dan stok dari China maupun India. Gejolak yang terjadi secara global menyulut api inflasi di mana-mana. Benar bahwa inflasi tidak selalu buruk, tapi kali ini inflasi lebih disebabkan sisi pasokan bukan membaiknya permintaan.
Pelajaran berharga dalam menghadapi krisis pangan dan stagflasi adalah berdikari secara pangan. Idealnya kemerdekaan harus dimaknai sebagai upaya untuk keluar dari ketergantungan impor pangan yang cukup berisiko. Waktunya berpikir ulang soal lepas dari ketergantungan pada gandum, karena berbagai alternatif pengganti gandum sebenarnya tersedia, ada tapioka, hingga sorgum. Kendala terbesar adalah skala produksi produk pangan pengganti impor masih kecil dan terfragmentasi.
Ambil contoh sorgum, banyak ditanam di daerah Nusa Tenggara Timur, tapi mekanisme harga pembelian dari Bulog apakah sudah ada? Bagaimana dengan pengelolaan lahan, teknologi pertanian hingga pengolahan pascapanen? Belum ditambah tantangan klasik sektor pertanian, anak muda tidak tertarik menjadi petani. Hasil sensus menunjukkan petani muda berusia di bawah 35 tahun hanya 12,8% dari total petani. Akibatnya, petani sorgum hanya sekadar subsisten atau bertani untuk bertahan hidup bukan pemain utama dalam rantai pasok dan menghasilkan uang yang menarik.
Banyak yang perlu dibenahi dari masalah ketergantungan pangan impor, tapi perlu ada optimisme bahwa masalah ini bisa diselesaikan asal ada integrasi kebijakan termasuk pengendalian impor yang eksesif.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies
ADA yang terasa berbeda dari perayaan kemerdekaan tahun ini. Jalanan kampung mulai dipenuhi umbul-umbul, dan lomba yang ramai, setelah hampir tiga tahun sepi karena pandemi Covid-19. Masyarakat tumpah ruah mulai kerja bakti mempersiapkan acara 17 Agustus-an. Tapi ada yang mengganjal, setelah libur perayaan kemerdekaan usai, masyarakat mulai dihadapkan pada nafkah yang tak sebanding dengan harga-harga barang. Itulah tantangan nyata yang dihadapi 115 juta kelas menengah rentan atau aspiring middle class.
Dalam merayakan 77 tahun kemerdekaan Indonesia, kita masih diliputi keprihatinan. Meskipun berbagai angka pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya pemulihan dibanding 2020, tapi hal itu lebih disebabkan blessing in disguise dari booming harga komoditas. Sepanjang kuartal ke II 2022, ekonomi berhasil tumbuh 5,44% jauh di atas prediksi berbagai ekonom. Namun, masih ada 11,5 juta tenaga kerja yang terdampak pandemi, dari mulai korban pemotongan gaji, jam kerja hingga di-PHK. Angka ketimpangan atau rasio gini pun bergerak di 0,384 alias meningkat dibanding posisi September 2022, yakni 0,381. Jelas kualitas pertumbuhan jadi pekerjaan rumah fundamental ekonomi bangsa.
Di tengah naiknya harga barang, dan pemulihan daya beli yang belum merata kelas menengah rentan tak punya banyak pilihan dalam situasi saat ini. Selama masa pandemi, ketika omset usaha menurun atau gaji terpaksa dipotong oleh perusahaan, motor pun terpaksa digadai atau dijual. Jumlah aset menurun signifikan. Sekarang tinggal sisa perabotan rumah tangga, ditambah rumah yang masih dalam proses cicilan. Apa perlu dijual atau digadai semua? Kenaikan inflasi hampir 5% sepanjang Juli lalu bukan sekadar data statistik, tapi sudah dirasakan masyarakat di berbagai aspek.
Harga pangan yang naik jelas anomali karena lebaran sudah lewat. Artinya, masalah pangan merupakan dampak dari pasokan yang terganggu. Produksi gandum yang macet di Ukraina karena perang masih berlanjut, memengaruhi harga mie instan. Begitu juga bawang putih yang 85% diperoleh dari impor, bergantung dari cuaca dan stok dari China maupun India. Gejolak yang terjadi secara global menyulut api inflasi di mana-mana. Benar bahwa inflasi tidak selalu buruk, tapi kali ini inflasi lebih disebabkan sisi pasokan bukan membaiknya permintaan.
Pelajaran berharga dalam menghadapi krisis pangan dan stagflasi adalah berdikari secara pangan. Idealnya kemerdekaan harus dimaknai sebagai upaya untuk keluar dari ketergantungan impor pangan yang cukup berisiko. Waktunya berpikir ulang soal lepas dari ketergantungan pada gandum, karena berbagai alternatif pengganti gandum sebenarnya tersedia, ada tapioka, hingga sorgum. Kendala terbesar adalah skala produksi produk pangan pengganti impor masih kecil dan terfragmentasi.
Ambil contoh sorgum, banyak ditanam di daerah Nusa Tenggara Timur, tapi mekanisme harga pembelian dari Bulog apakah sudah ada? Bagaimana dengan pengelolaan lahan, teknologi pertanian hingga pengolahan pascapanen? Belum ditambah tantangan klasik sektor pertanian, anak muda tidak tertarik menjadi petani. Hasil sensus menunjukkan petani muda berusia di bawah 35 tahun hanya 12,8% dari total petani. Akibatnya, petani sorgum hanya sekadar subsisten atau bertani untuk bertahan hidup bukan pemain utama dalam rantai pasok dan menghasilkan uang yang menarik.
Banyak yang perlu dibenahi dari masalah ketergantungan pangan impor, tapi perlu ada optimisme bahwa masalah ini bisa diselesaikan asal ada integrasi kebijakan termasuk pengendalian impor yang eksesif.
Lihat Juga :
tulis komentar anda