Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia

Selasa, 16 Agustus 2022 - 17:09 WIB
Setelah persoalan inflasi pangan masalah berikut yang muncul adalah soal suku bunga. Bank Indonesia (BI) memang belum menyesuaikan tingkat suku bunga. Tapi nampaknya, tinggal menunggu momentum BI akan naikkan suku bunga acuan, minimal 100 basis poin atau 1% tahun ini. Efeknya bunga pinjaman semakin mahal, karena bank harus menyesuaikan suku bunga acuan. Tidak semua pelaku usaha termasuk segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) siap menghadapi mahalnya bunga kredit.

Masalah suku bunga tidak bisa dipandang remeh, dari zaman kolonialisasi Belanda hingga hari ini, nampaknya masalah bunga pinjaman tetap jadi persoalan fundamental. Rata-rata bunga pinjaman lembaga formal di Indonesia berkisar 10%, sementara negara tetangga di kawasan ASEAN misalnya Vietnam sebesar 7,7%, Filipina 7,1%, Malaysia yang 4,9% dan Thailand hanya 4,1%. Semakin mahal bunga pinjaman, semakin lemah gairah untuk melakukan pembukaan usaha baru.

Ruang untuk melakukan perubahan fundamental dari sisi moneter terbuka dalam RUU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) di mana BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa diberi kewenangan ekstra untuk mempercepat transmisi bunga acuan ke bunga kredit terutama pada saat penurunan suku bunga. Reward dan punishment bagi perbankan perlu lebih jelas, jangan sampai mengulang interest rate rigidity atau kekakuan suku bunga, di mana saat bunga acuan turun, bank lambat sekali menyesuaikan suku bunga pinjaman. Sebaliknya ketika bunga acuan naik meski kecil, bank berlomba-lomba naikan suku bunga pinjaman.

Lepas dari Roller Coaster Komoditas

Ketika Indonesia lepas dari penjajahan 77 tahun yang lalu, mimpi untuk melakukan transformasi struktural sudah banyak digaungkan. Presiden Soekarno mengirim banyak mahasiswa hebat kala itu untuk mempelajari industrialisasi di Jerman Timur. Setiap pemimpin bangsa pasti sadar bahwa ketergantungan terhadap komoditas berdampak buruk apabila tidak diolah secara maksimal.

Ternyata mimpi reformasi struktural bisa dikatakan macet. Struktur ekonomi tak kunjung berubah. Gonjang ganjing harga komoditas sangat tidak sehat bagi anggaran negara. Memang betul, APBN masih mendapat surplus Rp106 triliun lebih sampai Juli 2022 akibat masih tingginya harga minyak. Tapi harga komoditas unggulan ekspor pertambangan dan perkebunan mulai terkoreksi turun. Ketakutan resesi ekonomi secara global, terutama di negara berbasis industri memacu penurunan harga komoditas lebih cepat.

Jika terjadi pembalikan arah harga komoditas, diperkirakan kehilangan dari pemasukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp100 triliun. Angka ini didapat dari asumsi harga minyak mentah kembali lagi ke USD63 per barel, dari sebelumnya mencapai USD110 per barel.

Industrialisasi adalah kunci untuk membenahi struktur ekonomi yang pincang sebelah ke pengerukan kekayaan alam, hanya berhenti pada olahan primer. Porsi industri terhadap PDB sebaiknya dikembalikan di atas 25%. Adapun digitalisasi yang bertumpu pada sektor jasa merupakan sektor pendukung untuk menjual hasil industri bukan mematikan industri. Aneh jika penjual di platform digital hanya didominasi reseller produk impor. Jelas tidak sinkron antara gempar digitalisasi dengan industri manufaktur yang loyo. Dibanding heboh mendorong industri baterai dan mobil listrik, mengapa tidak kuasai dulu platform e-commerce dengan hasil industri buatan anak negeri?

Terkadang gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di ujung lautan sangat jelas terlihat. Dengan memperkuat industrialisasi, fundamental ekonomi akan lebih kokoh menghadapi roller coaster harga komoditas.

Kita tidak pernah tahu kapan perang di Rusia berakhir, atau krisis Taiwan bisa berdampak pada turun naiknya harga komoditas primer.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More