Ketum PB Mathlaul Anwar: Dalam Pancasila, Agama Itu Menyatukan Bukan Memecah Belah
Senin, 15 Agustus 2022 - 12:37 WIB
“Dulu bangsa kita ini kan ada 200 kerajaan lebih, dan hampir 400 tahun kita dijajah oleh Belanda karena kita tidak bersatu. Nah ketika Allah menyatukan hati bangsa Indonesia kita bersatu. Kita bisa merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan,” katanya.
Sila yang keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Kata Hikmah itu juga ada di dalam Al-Qur'an. Demikian juga kata Permusyawaratan itu juga bahasa Al-Quran lagi. Sedangkan kata wakil dari kata perwakilan itu termasuk sifat Allah. “Wakil itu artinya apa? Tempat sandaran. Silakan cari di kitab suci lain pasti tidak ada,” ucapnya.
Sedangkan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ini menurutnya merupakan cita-cita. Sila kelima ini bisa terwujud kalau empat sila sebelumnya dijalankan.
“Jadi kelima sila itu semua merupakan kesepakatan. Islam itu agama yang melarang kita untuk melanggar kesepakatan. Pancasila itu adalah kesepakatan konsensus nasional yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini,” katanya.
Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten ini juga mengkritisi pentingnya tadabbur Al-Qur’an untuk menangkap pesan-pesan Al Qur’an, mengamalkan dan berpegang pada isi kandungannya. Agar kemudian tidak keliru memaknai pesan atau ayat Al Qur’an yang sejatinya telah terkandung dalam Pancasila.
”Mungkin ya selama ini umat kurang mentadaburi Al-Qur’an, kalau menghapal itu tentu sudah banyak yang menghapal. Tapi kalau hanya sekadar menghapal tapi tanpa mentadaburi itu tentunya tidak sempurna,” ucapnya.
Menurutnya, banyak masyarakat yang belum paham terkait hal ini. Mereka cenderung terjebak dalam kepercayaan bahwa Pancasila, demokrasi dan nasionalisme adalah thogut dan merupakan sebuah kontradiksi dalam agama.
”Banyak masyarakat kita yang belum paham. Kelima sila itu semua merupakan kesepakatan. Dan Islam melarang kita untuk melanggar kesepakatan konsensus nasional yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini. Jadi kenapa kesepakatan ini di thogut-thogut kan?” jelas ulama kelahiran Pandeglang, Banten, 4 Maret 1952 ini.
Islam sejatinya tidak pernah mengatur terkait bentuk negara, sehingga bentuknya diserahkan kepada kesepakatan yang ada. Hal-hal inilah yang menurutnya perlu disosialisasikan secara sistematis dan masif mulai dari tingkat nasional sampai ke lingkungan RT, guna memantapkan pemahaman masyarakat terkait kekeliruan narasi kontradiksi antara agama dan negara.
”Ini yang harus terus-menerus di sosialisasikan. Misalnya harus ada semacam TOT ya, training of trainer dari mulai tingkat nasional sampai ke tingkat RT. Diundang para mufassir (Ahli tafsir kitab/Al-Quran), karena sekarang agama banyak disalahgunakan,” tegasnya.
Sila yang keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Kata Hikmah itu juga ada di dalam Al-Qur'an. Demikian juga kata Permusyawaratan itu juga bahasa Al-Quran lagi. Sedangkan kata wakil dari kata perwakilan itu termasuk sifat Allah. “Wakil itu artinya apa? Tempat sandaran. Silakan cari di kitab suci lain pasti tidak ada,” ucapnya.
Sedangkan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ini menurutnya merupakan cita-cita. Sila kelima ini bisa terwujud kalau empat sila sebelumnya dijalankan.
“Jadi kelima sila itu semua merupakan kesepakatan. Islam itu agama yang melarang kita untuk melanggar kesepakatan. Pancasila itu adalah kesepakatan konsensus nasional yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini,” katanya.
Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten ini juga mengkritisi pentingnya tadabbur Al-Qur’an untuk menangkap pesan-pesan Al Qur’an, mengamalkan dan berpegang pada isi kandungannya. Agar kemudian tidak keliru memaknai pesan atau ayat Al Qur’an yang sejatinya telah terkandung dalam Pancasila.
”Mungkin ya selama ini umat kurang mentadaburi Al-Qur’an, kalau menghapal itu tentu sudah banyak yang menghapal. Tapi kalau hanya sekadar menghapal tapi tanpa mentadaburi itu tentunya tidak sempurna,” ucapnya.
Menurutnya, banyak masyarakat yang belum paham terkait hal ini. Mereka cenderung terjebak dalam kepercayaan bahwa Pancasila, demokrasi dan nasionalisme adalah thogut dan merupakan sebuah kontradiksi dalam agama.
”Banyak masyarakat kita yang belum paham. Kelima sila itu semua merupakan kesepakatan. Dan Islam melarang kita untuk melanggar kesepakatan konsensus nasional yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini. Jadi kenapa kesepakatan ini di thogut-thogut kan?” jelas ulama kelahiran Pandeglang, Banten, 4 Maret 1952 ini.
Islam sejatinya tidak pernah mengatur terkait bentuk negara, sehingga bentuknya diserahkan kepada kesepakatan yang ada. Hal-hal inilah yang menurutnya perlu disosialisasikan secara sistematis dan masif mulai dari tingkat nasional sampai ke lingkungan RT, guna memantapkan pemahaman masyarakat terkait kekeliruan narasi kontradiksi antara agama dan negara.
”Ini yang harus terus-menerus di sosialisasikan. Misalnya harus ada semacam TOT ya, training of trainer dari mulai tingkat nasional sampai ke tingkat RT. Diundang para mufassir (Ahli tafsir kitab/Al-Quran), karena sekarang agama banyak disalahgunakan,” tegasnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda