Fiksi yang Bukan Cerita Kita
Sabtu, 13 Agustus 2022 - 06:16 WIB
Dari Kartika kita paham, bahwa kenangan kadang teramat kejam mengikat. Dari Yemima kita paham, bahwa sebuah keinginan, jika tidak disikapi dengan bijak, bisa berakhir fatal. Dan, dari Leafi kita paham, bahwa luka yang ada di dalam hanya bisa mengering sementara tanpa pernah sembuh dengan benar.
Dari dua puluh dua cerita yang ada, Aroma Kenanga menjadi salah satu yang menarik pikiran saya ke mana-mana. “Gisa paham kalau aku menikahinya lantaran tergila-gila dengan aroma kenanga yang ada di dadanya. Aroma segar itu menguar dari kelopak dua tangkai kenanga yang tumbuh di dadanya. Saat pertama kali dia mempertontonkannya kepadaku, kemudian mengizinkanku untuk sedikit menghirupnya, serta-merta kepalaku ditanami serbuk candu. Acap kali, saat menikmati lekuk-lekuk kenanga itu, aku tergoda untuk menjemba, merengkuh, dan kulumat tanpa sisa.” (Aroma Kenanga, halaman 42)
Tidak perlu dijelaskan lagi bagaimana apiknya penulis menuntun pembaca untuk turut serta menikmati aroma kenanga. Rasanya, orang yang baru melihat bunga kenanga tanpa pernah menghidu aromanya, akan mengerti kebahagiaan macam apa yang dialami si tokoh dalam cerita. Narasi yang persuasif sekaligus menghanyutkan.
Mengawinkan Realitas dan Fiksi
Pengalaman adalah guru terbaik. Ia mengajarkan banyak hal yang tidak pernah ada di bangku sekolah. Hidup dan kehidupan adalah sarana belajar. Tentu, ada yang berhasil dan sukses, ada pula yang tampak jalan di tempat. Namun, sejatinya, semua bergantung dari sudut mana kita melihat. Juga, seberapa besar level penerimaan kita terhadap segala yang terjadi.
Lakon hidup yang beragam ini yang coba digambarkan oleh Teguh Affandi melalui kata-kata. Ada yang berhasil mengantarkan/menyampaikan pesan dan rasa simpati, ada pula yang cenderung hanya menghasilkan kerut-kerut di dahi pembaca. Secara umum, usaha Teguh cukup berhasil. Dalam artian, ia memang bisa menulis dengan baik.
Terbukti, dari sekian banyak judul dalam buku ini pernah tayang di berbagai media cetak nasional. Tentu itu sebuah prestasi yang luar biasa sebab tidak semua penulis fiksi bisa mencapainya. Hanya saja, seperti halnya hidup yang tidak sempurna, beberapa kali mata saya terjungkal ketika menemukan kesalahan teknis, alur yang tidak selaras, bahkan kesamaan tema pada beberapa judul.
Setidaknya ada lima judul dengan tema serupa yang ditempatkan berurutan di bagian akhir. Cerita-cerita itu mungkin saja tidak ditulis pada waktu yang relatif berdekatan, tetapi menempatkannya berurutan bisa jadi menimbulkan kesan bahwa penulis kehabisan ide dan hanya sanggup mengganti detail serta momen.
Apa pun latarnya, saya yakin penulis dan editor punya pertimbangan khusus dalam menyusun judul demi judul. Saya menduga penulis ingin memastikan bahwa pembaca tidak mengait-ngaitkan isi cerita sebagai pengalaman pribadi sang penulis. Pasalnya, memang begitulah yang kerap terjadi. Pembaca yang usil tentu akan menggoda penulis agar mengakui bahwa hal itu adalah bagian dari pengalaman hidup penulis. Saya rasa ini memang kasar, tetapi penulis cerpen (dan novel) punya jurus andalan untuk mengelak: “Itu cuma fiksi.”
Baiknya saya kutip sedikit pengantar dari Budi Darma. Kendati fiksi adalah khayalan, jadi tidak mungkin terjadi dalam realita, pada hakikatnya fiksi tidak bisa melepaskan diri dari realita. Fiksi ditulis oleh pengarang, sementara itu, pengarang adalah sebuah individu dalam masyarakat. Keberadaan pengarang sebagai individu dalam masyarakat ini mau tidak mau mengikat pengarang untuk tidak lepas dari realita. Fiksi, dengan demikian, adalah abstraksi realita yang diolah oleh pengarang melalui senjata utamanya, yaitu imajinasi. Karena itu, fiksi bisa tidak masuk akal karena pengaruh imajinasi pengarangnya, dan juga bisa masuk akal karena pengarang tidak lain adalah produk berbagai permasalahan sosial. (halaman ix-x)
Dari dua puluh dua cerita yang ada, Aroma Kenanga menjadi salah satu yang menarik pikiran saya ke mana-mana. “Gisa paham kalau aku menikahinya lantaran tergila-gila dengan aroma kenanga yang ada di dadanya. Aroma segar itu menguar dari kelopak dua tangkai kenanga yang tumbuh di dadanya. Saat pertama kali dia mempertontonkannya kepadaku, kemudian mengizinkanku untuk sedikit menghirupnya, serta-merta kepalaku ditanami serbuk candu. Acap kali, saat menikmati lekuk-lekuk kenanga itu, aku tergoda untuk menjemba, merengkuh, dan kulumat tanpa sisa.” (Aroma Kenanga, halaman 42)
Tidak perlu dijelaskan lagi bagaimana apiknya penulis menuntun pembaca untuk turut serta menikmati aroma kenanga. Rasanya, orang yang baru melihat bunga kenanga tanpa pernah menghidu aromanya, akan mengerti kebahagiaan macam apa yang dialami si tokoh dalam cerita. Narasi yang persuasif sekaligus menghanyutkan.
Mengawinkan Realitas dan Fiksi
Pengalaman adalah guru terbaik. Ia mengajarkan banyak hal yang tidak pernah ada di bangku sekolah. Hidup dan kehidupan adalah sarana belajar. Tentu, ada yang berhasil dan sukses, ada pula yang tampak jalan di tempat. Namun, sejatinya, semua bergantung dari sudut mana kita melihat. Juga, seberapa besar level penerimaan kita terhadap segala yang terjadi.
Lakon hidup yang beragam ini yang coba digambarkan oleh Teguh Affandi melalui kata-kata. Ada yang berhasil mengantarkan/menyampaikan pesan dan rasa simpati, ada pula yang cenderung hanya menghasilkan kerut-kerut di dahi pembaca. Secara umum, usaha Teguh cukup berhasil. Dalam artian, ia memang bisa menulis dengan baik.
Terbukti, dari sekian banyak judul dalam buku ini pernah tayang di berbagai media cetak nasional. Tentu itu sebuah prestasi yang luar biasa sebab tidak semua penulis fiksi bisa mencapainya. Hanya saja, seperti halnya hidup yang tidak sempurna, beberapa kali mata saya terjungkal ketika menemukan kesalahan teknis, alur yang tidak selaras, bahkan kesamaan tema pada beberapa judul.
Setidaknya ada lima judul dengan tema serupa yang ditempatkan berurutan di bagian akhir. Cerita-cerita itu mungkin saja tidak ditulis pada waktu yang relatif berdekatan, tetapi menempatkannya berurutan bisa jadi menimbulkan kesan bahwa penulis kehabisan ide dan hanya sanggup mengganti detail serta momen.
Apa pun latarnya, saya yakin penulis dan editor punya pertimbangan khusus dalam menyusun judul demi judul. Saya menduga penulis ingin memastikan bahwa pembaca tidak mengait-ngaitkan isi cerita sebagai pengalaman pribadi sang penulis. Pasalnya, memang begitulah yang kerap terjadi. Pembaca yang usil tentu akan menggoda penulis agar mengakui bahwa hal itu adalah bagian dari pengalaman hidup penulis. Saya rasa ini memang kasar, tetapi penulis cerpen (dan novel) punya jurus andalan untuk mengelak: “Itu cuma fiksi.”
Baiknya saya kutip sedikit pengantar dari Budi Darma. Kendati fiksi adalah khayalan, jadi tidak mungkin terjadi dalam realita, pada hakikatnya fiksi tidak bisa melepaskan diri dari realita. Fiksi ditulis oleh pengarang, sementara itu, pengarang adalah sebuah individu dalam masyarakat. Keberadaan pengarang sebagai individu dalam masyarakat ini mau tidak mau mengikat pengarang untuk tidak lepas dari realita. Fiksi, dengan demikian, adalah abstraksi realita yang diolah oleh pengarang melalui senjata utamanya, yaitu imajinasi. Karena itu, fiksi bisa tidak masuk akal karena pengaruh imajinasi pengarangnya, dan juga bisa masuk akal karena pengarang tidak lain adalah produk berbagai permasalahan sosial. (halaman ix-x)
tulis komentar anda