Omnibus Law dan Ongkos PHK
Selasa, 30 Juni 2020 - 07:00 WIB
Ketentuan ini sangat mengurangi beban pemberi kerja dalam proses PHK. Selain penghapusan UPH, RUU ini menetapkan nilai nominal yang sama atas semua jenis PHK. Pada titik ini, RUU berintensi untuk menurunkan ongkos PHK sebagai salah satu beban investasi Indonesia selama ini.
Namun, RUU CK mengabaikan sejumlah aspek substansial dan tetap mewarisi masalah UU No. 13/2003. Para penyusun RUU tersebut tidak membedakan biaya PHK berdasarkan alasan pemberhentian karena alasan/faktor dari sisi pekerja (pidana, sakit) atau sisi perusahaan (efisiensi, paiilit). Ketiadaan pembeda atas penyebab PHK justru berpotensi membebani pekerja, pemberi kerja, dan kepentingan perusahaan secara keseluruhan.
Selain itu, penetapan nominal UMPK berdasarkan masa kerja sesungguhnya memberi ruang ketidakadilan bagi pekerja dengan masa kerja 21 tahun atau lebih. Penetapan ini mengabaikan kenyataan di lapangan bahwa ada pekerja memiliki masa kerja tiga puluhan tahun.
Sebagai langkah penyeimbang dan mitigasi bagi kehilangan hak pekerja, RUU ini menambah dua norma baru. Pertama, Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP). Penambahan klausul JKP sesungguhnya mengikut trend negara-negara yang mempraktikkan nilai pesangon kecil. Pesangon kecil dan JKP menghadirkan skenario “sama-sama untung” antara pekerja dan pemberi kerja. Iuran JKP yang dibayar setiap bulan tidak membebani pekerja dan pemberi kerja jika terjadi PHK.
Persoalannya, penetapan JKP ini berpotensi menciptakan double pay bagi perusahaan yang menangung JKP karyawannya. Karena itu, peraturan pelaksanaan klausul ini perlu mengatur sedemikian sehingga JKP ini tidak menimbulkan beban bagi perusahaan dan pekerja.
Kedua, uang penghargaan lainnya. Nominalnya ditetapkan berdasarkan masa kerja. Selain sebagai pemanis, penetapan ini tampaknya ingin menetapkan basis legal bagi praktik pemberian bonus (fee) di sejumlah perusahaan selama ini. Namun, masa kerja sebagai dasar pemberian penghargaan ini bertentangan upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja berikut daya saing perusahaan.
Pada umumnya sektor usaha yang memberikan uang penghargaan kepada karyawannya menjadikan hal tersebut sebagai instrumen untuk memacu produktivitas dan performa tenaga kerja. Dasar pemberiannya pun tergantung pada performa atau beban kerja pekerja.
Penetapan uang penghargaan tanpa fleksibilitas atau perhatian pada point tersebut berpotensi membebani perusahaan berkali lipat, utamanya bagi perusahaan yang sudah memiliki sistem kepersonaliaan yang juga sudah mencakup point penghargaan berdasarkan performa pekerja.
Aroma kebermasalan ini sesungguhnya sudah tercium publik, khususnya pekerja dan pemberi kerja. Resistensi buruh dan riak-riak penolakan dunia usaha atas sejumlah ketentuan, memberikan alarm bagi DPR dan Pemerintah untuk tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU sapu jagad ini. Jika suara penolakan ini tak digubris, beleid baru itu nanti menjadi jalan terjal bagi penciptaan sumber-sumber kerja di Indonesia.
Catatan Akhir
Namun, RUU CK mengabaikan sejumlah aspek substansial dan tetap mewarisi masalah UU No. 13/2003. Para penyusun RUU tersebut tidak membedakan biaya PHK berdasarkan alasan pemberhentian karena alasan/faktor dari sisi pekerja (pidana, sakit) atau sisi perusahaan (efisiensi, paiilit). Ketiadaan pembeda atas penyebab PHK justru berpotensi membebani pekerja, pemberi kerja, dan kepentingan perusahaan secara keseluruhan.
Selain itu, penetapan nominal UMPK berdasarkan masa kerja sesungguhnya memberi ruang ketidakadilan bagi pekerja dengan masa kerja 21 tahun atau lebih. Penetapan ini mengabaikan kenyataan di lapangan bahwa ada pekerja memiliki masa kerja tiga puluhan tahun.
Sebagai langkah penyeimbang dan mitigasi bagi kehilangan hak pekerja, RUU ini menambah dua norma baru. Pertama, Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP). Penambahan klausul JKP sesungguhnya mengikut trend negara-negara yang mempraktikkan nilai pesangon kecil. Pesangon kecil dan JKP menghadirkan skenario “sama-sama untung” antara pekerja dan pemberi kerja. Iuran JKP yang dibayar setiap bulan tidak membebani pekerja dan pemberi kerja jika terjadi PHK.
Persoalannya, penetapan JKP ini berpotensi menciptakan double pay bagi perusahaan yang menangung JKP karyawannya. Karena itu, peraturan pelaksanaan klausul ini perlu mengatur sedemikian sehingga JKP ini tidak menimbulkan beban bagi perusahaan dan pekerja.
Kedua, uang penghargaan lainnya. Nominalnya ditetapkan berdasarkan masa kerja. Selain sebagai pemanis, penetapan ini tampaknya ingin menetapkan basis legal bagi praktik pemberian bonus (fee) di sejumlah perusahaan selama ini. Namun, masa kerja sebagai dasar pemberian penghargaan ini bertentangan upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja berikut daya saing perusahaan.
Pada umumnya sektor usaha yang memberikan uang penghargaan kepada karyawannya menjadikan hal tersebut sebagai instrumen untuk memacu produktivitas dan performa tenaga kerja. Dasar pemberiannya pun tergantung pada performa atau beban kerja pekerja.
Penetapan uang penghargaan tanpa fleksibilitas atau perhatian pada point tersebut berpotensi membebani perusahaan berkali lipat, utamanya bagi perusahaan yang sudah memiliki sistem kepersonaliaan yang juga sudah mencakup point penghargaan berdasarkan performa pekerja.
Aroma kebermasalan ini sesungguhnya sudah tercium publik, khususnya pekerja dan pemberi kerja. Resistensi buruh dan riak-riak penolakan dunia usaha atas sejumlah ketentuan, memberikan alarm bagi DPR dan Pemerintah untuk tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU sapu jagad ini. Jika suara penolakan ini tak digubris, beleid baru itu nanti menjadi jalan terjal bagi penciptaan sumber-sumber kerja di Indonesia.
Catatan Akhir
tulis komentar anda