Soekarno: Pancasila Versus RUU HIP
Senin, 29 Juni 2020 - 21:43 WIB
Tonggak lahirnya Pancasila itulah yang menjadi starting point, negeri yang bernama Indonesia hadir ditengah-tengah negara lain yang berdaulat. Secara de facto dan de jure, legalitas Pancasila itulah yang dijadikan yuridis formal sebagai sebuah state hingga saat ini.
Soekarno, yang kemudian didaulat menjadi presiden pertama, paham benar dasar negara Pancasila tidak akan pernah lahir tanpa ruh dan sokongan umat Islam yang mayoritas. Warna Islam era pergerakan tentu dipahami Soekarno saat menentang imperalisme. Apalagi Soekarno saat awal terjun di politik merupakan kader muda Serikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto sebelum PNI dilahirkan.
Menyandarkan kekuatan Indonesia pada kekuatan Illahiyah dalam bernegara, pada sila pertama dan pada pembukaan UUD 1945, merupakan keniscayaan Soekarno yang tak terbantahkan sampai akhir wafat 21 juni 1970. Karena sejak berkuasa, sila dalam Pancasila tidak pernah diubah apalagi diamandemen.
Kembali lagi soal RUU HIP yang kontroversial itu. Sekadar berkontemplasi, apa benar Soekarno menginginkan Pancasila di-down grade sesuai draf aktor intlektual RUU HIP untuk implementatif era kini? Saya yakin tidak. Karena sekiranya Soekarno masih hidup tentu beliau menangis. Beliau pasti menentang keras draf RUU itu yang ditenggarai sarat dengan kepentingan diluar frame kesepakatan awal kemerdekaan.
Beliau tentunya tidak ingin elan vital ajarannya disalahtafsirkan untuk era saat ini. Apalagi untuk kepentingan satu golongan yang pernah mengkudeta dan memberontak karena bisa menyulut perpecahan dari anak bangsa.
Jika hari ini RUU HIP menjadi gejolak, tentu ada masalah besar yang tidak boleh dianggap remeh oleh semua pemangku kepentingan negeri ini. TNI/Polri yang menjadi garda terdepan keamanan negara dan ketertiban masyarakat, seharusnya tidak bersikap netral. Bukankah UU No 27/1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (pasal 107 melarang ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme) sudah mengamanatkan itu? Karena kegaduhan dan distabilitas negara sudah di depan mata serta eskalasi politik berbahaya sedang menyelimuti bangsa ini.
Melihat objektivitas dan subjektivitas yang berkembang terkait transformasi gagasan trisila dan ekasila dalam draf RUU HIP adalah sebuah kemunduran berbangsa dan bernegara. Ketidakpekaan yang sengaja di-setting di parlemen itu yang membuat publik gaduh dan panas.
Fatalnya rentetan kejadian semuanya terang benderang, karena adanya stimulisasi oleh aktor intelektual di balik hilangnya konsideran TAP MPRS/XXV/1966 tentang Pembubaran PKI dan Ajaran Komunisme. Ini yang paling berbahaya.
Bisa jadi manuver pengusul RUU HIP memiliki agenda besar untuk melencengkan Pancasila dan Soekarno dalam arti sebenarnya. Mungkin, mereka dengan sebagian yang lain sudah memperlihatkan dirinya sebagai kelompok yang perlahan ingin menggeser ruh dan jiwa rakyat Indonesia. Inilah yang menjadi kewaspadaan kita bersama.
Sekadar menukil ucapan SBY tentang RUU HIP, menyusun sesuatu yang berkaitan dengan ideologi dan dasar negara mesti dilakukan secara hati-hati. Jangan ada ideological clash dan perpecahan bangsa. Jika ada kekeliruan, maka akan berdampak besar terhadap aspek kehidupan bernegara. Pernyataan ini jelas warning keras, bahwa masa depan negeri ini ada dipersimpangan jalan jika para elite politik dan penguasa lemah dalam memahami filosofi bernegara.
Soekarno, yang kemudian didaulat menjadi presiden pertama, paham benar dasar negara Pancasila tidak akan pernah lahir tanpa ruh dan sokongan umat Islam yang mayoritas. Warna Islam era pergerakan tentu dipahami Soekarno saat menentang imperalisme. Apalagi Soekarno saat awal terjun di politik merupakan kader muda Serikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto sebelum PNI dilahirkan.
Menyandarkan kekuatan Indonesia pada kekuatan Illahiyah dalam bernegara, pada sila pertama dan pada pembukaan UUD 1945, merupakan keniscayaan Soekarno yang tak terbantahkan sampai akhir wafat 21 juni 1970. Karena sejak berkuasa, sila dalam Pancasila tidak pernah diubah apalagi diamandemen.
Kembali lagi soal RUU HIP yang kontroversial itu. Sekadar berkontemplasi, apa benar Soekarno menginginkan Pancasila di-down grade sesuai draf aktor intlektual RUU HIP untuk implementatif era kini? Saya yakin tidak. Karena sekiranya Soekarno masih hidup tentu beliau menangis. Beliau pasti menentang keras draf RUU itu yang ditenggarai sarat dengan kepentingan diluar frame kesepakatan awal kemerdekaan.
Beliau tentunya tidak ingin elan vital ajarannya disalahtafsirkan untuk era saat ini. Apalagi untuk kepentingan satu golongan yang pernah mengkudeta dan memberontak karena bisa menyulut perpecahan dari anak bangsa.
Jika hari ini RUU HIP menjadi gejolak, tentu ada masalah besar yang tidak boleh dianggap remeh oleh semua pemangku kepentingan negeri ini. TNI/Polri yang menjadi garda terdepan keamanan negara dan ketertiban masyarakat, seharusnya tidak bersikap netral. Bukankah UU No 27/1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (pasal 107 melarang ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme) sudah mengamanatkan itu? Karena kegaduhan dan distabilitas negara sudah di depan mata serta eskalasi politik berbahaya sedang menyelimuti bangsa ini.
Melihat objektivitas dan subjektivitas yang berkembang terkait transformasi gagasan trisila dan ekasila dalam draf RUU HIP adalah sebuah kemunduran berbangsa dan bernegara. Ketidakpekaan yang sengaja di-setting di parlemen itu yang membuat publik gaduh dan panas.
Fatalnya rentetan kejadian semuanya terang benderang, karena adanya stimulisasi oleh aktor intelektual di balik hilangnya konsideran TAP MPRS/XXV/1966 tentang Pembubaran PKI dan Ajaran Komunisme. Ini yang paling berbahaya.
Bisa jadi manuver pengusul RUU HIP memiliki agenda besar untuk melencengkan Pancasila dan Soekarno dalam arti sebenarnya. Mungkin, mereka dengan sebagian yang lain sudah memperlihatkan dirinya sebagai kelompok yang perlahan ingin menggeser ruh dan jiwa rakyat Indonesia. Inilah yang menjadi kewaspadaan kita bersama.
Sekadar menukil ucapan SBY tentang RUU HIP, menyusun sesuatu yang berkaitan dengan ideologi dan dasar negara mesti dilakukan secara hati-hati. Jangan ada ideological clash dan perpecahan bangsa. Jika ada kekeliruan, maka akan berdampak besar terhadap aspek kehidupan bernegara. Pernyataan ini jelas warning keras, bahwa masa depan negeri ini ada dipersimpangan jalan jika para elite politik dan penguasa lemah dalam memahami filosofi bernegara.
Lihat Juga :
tulis komentar anda