Relasi Kuasa dalam Fenomena Citayam Fashion Week

Selasa, 02 Agustus 2022 - 19:19 WIB
Pertama, CFW diawali oleh anak-anak usia sekolah yang "gagal" di kelas lalu mengekspresikannya di lapangan terbuka. Tentunya ini sekaligus menjadi kritik bahwa lembaga pendidikan formal dipandang kurang mampu mengakomodasi kreativitas anak milenial ini.

Tentunya penolak kritik selalu akan melakukan pembelaan, misalnya dengan menyatakan bahwa pendidikan sudah sedemikian rupa mengakomodasi pelbagai potensi, tetapi sayangnya sering bertentangan di level implementasi. Teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) ala Gardner harus menjadi perhatian dan kepedulian praktisi pendidikan. Karena pengabaian terhadap salah satu jenis kercerdasan itu adalah bentuk pelanggaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan (dehumanisasi).

Mengutip teori dehumanisasi mengingatkan pada seorang kritikus pendidikan Paulo Freire. Ia mengatakan bahwa pendidikan yang tidak memfasilitasi perkembangan manusia adalah pendidikan yang menindas. Padahal manusia adalah makhluk hidup yang terus berkembang dengan potensinya yang harus dioptimalkan.

Saluran-saluran kreasi adalah sebuah keniscayaan. Pelbagai bukti bahwa generasi milenial mendapatkan kesejahteraannya tidak terhubung langsung dengan apa yang didapatnya melalui pendidikan yang ditempuhnya adalah menegaskan "kemandulan" dunia pendidikan.

Kedua, CFW menjadi ajang artikulasi anak-anak muda yang memiliki keterbatasan akses terhadap modal dan otoritas. CFW seolah jadi ajang "perlawanan" terhadap penguasa yang selalu mengandalkan modal untuk jadi "orang besar".

Upaya Baim Wong yang berkeinginan mematenkan CFW adalah representasi arogansi "pemilik modal". Biasanya pemilik modal memiliki ideologi "dengan uang segalanya beres". Bisa jadi CFW menjadi miniatur "ajang pertarungan" kedua kelompok tersebut meski pertarungan ini tidak akan pernah menghasilkan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kebebasan yang diartikulasikan oleh anak-anak muda tersebut menunjukkan kecerdasannya yang cemerlang.

Ketiga, "perlawanan" terhadap otoritas mode. Kesulitan anak-anak muda mengakses catwalk berkelas yang didominasi para desainer otoritatif membuat anak-anak muda ini mendadak melakukan kreativitas tanpa batas dan menjadikan CFW sebagai catwalk kreatif yang melampaui usianya dan melampaui pemahaman umum masyarakat.

Mereka tidak kalah "unik" dengan produk desainer profesional. Perhatikan beberapa tayangan kreatif ini di media sosial yang tak kalah “gila”-nya dengan karya desainer dunia. "Tidak perlu modal besar untuk modis", begitu kira-kira ungkapan mereka.

Anak-anak muda tersebut hanya ingin mengatakan bahwa dengan potongan baju yang dibeli di kaki lima, tas tangan dibeli di pasar tradisional, kacamata keren dari penjual pinggir jalan, dan sebagainya mampu menjadikan mereka lebih trendi dan ciamik. Mereka hanya ingin mengatakan, "Selamat datang para pedagang kaki lima, Anda tidak perlu minder menghadapi mal maupun butik-butik mahal."

Sekali lagi, menarik mengutip teori dan pernyataan Foucault bahwa kekuasaan tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan. Sebelum hegemoni mode makin menguat di tangan para desainer yang dianggap “otoritatif”, CFW meng-ambyar-kan itu semua, yang bisa jadi melawan kuasa pengetahuan untuk melahirkan pengetahuan baru.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More