Menteri LHK Minta Penilaian Soal Karhutla Harus Objektif dan Akurat
Minggu, 28 Juni 2020 - 18:31 WIB
JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya bakar menegaskan, untuk melihat masalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) harus akurat dan objektif. Mulai dari memahami definisi hotspots dan firespots, hingga kepada angka-angka peluang secara statistik dari hotspots menjadi firespots.
(Baca juga: Antisipasi Karhutla, Polda Sumsel dan Jambi Bangun Posko Bersama)
Selain itu kata Siti, menterjemahkan data harus dengan referensi lapangan yang tepat, bukan asal asumsi, apalagi hanya dengan prakiraan gambar-gambar ilustrasi. Sudah saatnya semua pihak bekerja secara riil bukan hanya atas dasar asumsi dan ilustrasi. Karena bila tidak objektif dan tidak akurat hanya akan merusak dan melemahkan psikologi politik rakyat.
"Dengan kata lain menjadi tidak adil bagi rakyat, termasuk juga bagi swasta, dan banyak pihak lainnya yang dalam 3 tahun terakhir sudah mau bekerja baik dan mau comply. Analisis karhutla yang digunakan harus betul-betul adil, jangan framing," ujar Siti Nurbaya dalam pernyataannya, Minggu (28/6/2020).
Sebelumnya, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Afni Zulkifli, dalam FW Talk Kebakaran Hutan dan Lahan bersama Lembaga Lingkungan Hidup dan Agromaritim (LHA) Forum Wacana IPB mengatakan, persoalan Karhutla masih menjadi ancaman di Indonesia, Sabtu (27/6/2020).
Tantangannya semakin besar karena terjadi banyak kesalahan persepsi memahami karhutla itu sendiri. Sehingga dalam berbagai diskusi dan evaluasi di ruang publik, sering tidak merumuskan rekomendasi yang tepat bagi para pihak. (Baca juga: Tempat Wisata Harus Bebas dari Sentimen Negatif Covid-19)
''Ancaman karhutla akan semakin besar bila kesalahan persepsi di ruang publik ini terus dibiarkan. Kesalahan persepsi bisa mendelegitimasi kerja-kerja yang sudah baik dengan pengaburan informasi tanpa edukasi di tengah masyarakat. Ini juga akan sangat mempengaruhi tindakan evaluasi, atau bahkan pengambilan kebijakan oleh para pemangku kepentingan'' kata Afni.
Menurutnya, kesalahan persepsi contohnya saat memahami definisi pengendalian karhutla. Banyak pihak memahami pengendalian hanya sebatas pemadaman dan penegakan hukum saja. Padahal pengendalian karhutla menurut Peraturan Menteri LHK 32/2016 merupakan konsep kerja dalam kesatuan utuh yang memuat enam elemen yaitu perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pasca kebakaran, koordinasi kerja, dan kesiagaan.
''Persepsi yang salah ini tidak boleh diteruskan. Semua sektor, baik pemerintah, Swasta, LSM atau bahkan masyarakat, harus menyamakan persepsi tentang apa itu pengendalian, sehingga gerak langkahnya akan sama. Harapannya pengendalian karhutla cukup berhenti di perencanaan atau tahapan pencegahan saja, tidak perlu sampai harus ada pemadaman. Pemerintah dalam hal ini KLHK berprinsip, mencegah lebih baik daripada memadamkan,'' ungkap Afni.
(Baca juga: Antisipasi Karhutla, Polda Sumsel dan Jambi Bangun Posko Bersama)
Selain itu kata Siti, menterjemahkan data harus dengan referensi lapangan yang tepat, bukan asal asumsi, apalagi hanya dengan prakiraan gambar-gambar ilustrasi. Sudah saatnya semua pihak bekerja secara riil bukan hanya atas dasar asumsi dan ilustrasi. Karena bila tidak objektif dan tidak akurat hanya akan merusak dan melemahkan psikologi politik rakyat.
"Dengan kata lain menjadi tidak adil bagi rakyat, termasuk juga bagi swasta, dan banyak pihak lainnya yang dalam 3 tahun terakhir sudah mau bekerja baik dan mau comply. Analisis karhutla yang digunakan harus betul-betul adil, jangan framing," ujar Siti Nurbaya dalam pernyataannya, Minggu (28/6/2020).
Sebelumnya, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Afni Zulkifli, dalam FW Talk Kebakaran Hutan dan Lahan bersama Lembaga Lingkungan Hidup dan Agromaritim (LHA) Forum Wacana IPB mengatakan, persoalan Karhutla masih menjadi ancaman di Indonesia, Sabtu (27/6/2020).
Tantangannya semakin besar karena terjadi banyak kesalahan persepsi memahami karhutla itu sendiri. Sehingga dalam berbagai diskusi dan evaluasi di ruang publik, sering tidak merumuskan rekomendasi yang tepat bagi para pihak. (Baca juga: Tempat Wisata Harus Bebas dari Sentimen Negatif Covid-19)
''Ancaman karhutla akan semakin besar bila kesalahan persepsi di ruang publik ini terus dibiarkan. Kesalahan persepsi bisa mendelegitimasi kerja-kerja yang sudah baik dengan pengaburan informasi tanpa edukasi di tengah masyarakat. Ini juga akan sangat mempengaruhi tindakan evaluasi, atau bahkan pengambilan kebijakan oleh para pemangku kepentingan'' kata Afni.
Menurutnya, kesalahan persepsi contohnya saat memahami definisi pengendalian karhutla. Banyak pihak memahami pengendalian hanya sebatas pemadaman dan penegakan hukum saja. Padahal pengendalian karhutla menurut Peraturan Menteri LHK 32/2016 merupakan konsep kerja dalam kesatuan utuh yang memuat enam elemen yaitu perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pasca kebakaran, koordinasi kerja, dan kesiagaan.
''Persepsi yang salah ini tidak boleh diteruskan. Semua sektor, baik pemerintah, Swasta, LSM atau bahkan masyarakat, harus menyamakan persepsi tentang apa itu pengendalian, sehingga gerak langkahnya akan sama. Harapannya pengendalian karhutla cukup berhenti di perencanaan atau tahapan pencegahan saja, tidak perlu sampai harus ada pemadaman. Pemerintah dalam hal ini KLHK berprinsip, mencegah lebih baik daripada memadamkan,'' ungkap Afni.
Lihat Juga :
tulis komentar anda