Kasus ACT Bukti Regulasi Masih Memble

Rabu, 13 Juli 2022 - 11:35 WIB
Demi meminimalkan potensi penyalahgunaan dana masyarakat oleh lembaga filantropi, pemerintah perlu membangun literasi masyarakat agar menyalurkan sumbangan ke lembaga yang kredibel. (KORAN SINDO/Wawan Bastian)
GEGER seputar dugaan penyalahgunaan dana sosial hingga miliaran rupiah yang dihimpun oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) sangat mengagetkan dan membuat keprihatinan mendalam banyak pihak. Meski masih terus diinvestigasi, dari sisi dana yang diduga digelapkan, sangat mungkin nilainya amat besar. Apalagi melihat nama besar ACT saat ini, dugaan penyimpangan secara masif dan berlangsung cukup lama sangatlah terbuka.

Publik pantas geram dan marah atas kelakuan ACT ini. Tindakan ACT ini jelas mengkhianati kepercayaan (trust) tinggi yang diberikan masyarakat. Lebih-lebih, untuk menarik simpati publik, ACT selama ini dikenal pintar dengan mengusung berbagai narasi yang dibungkus nilai-nilai kemanusiaan dan agama.

Kini kasus ACT terkuak dan membuat kita terbelalak. Tak sebatas dipicu lantaran ulah pendiri dan mantan pemimpinnya, Ahyudin, yang dengan enak menggaji dirinya dengan angka fantastis. Namun kekagetan publik juga dipicu adanya data yang menggambarkan begitu besar himpunan dana di lembaga ini.



ACT adalah lembaga penggalangan dana sosial atau filantropi terbesar di Indonesia. Karena telah mendapatkan kepercayaan tinggi, dana seolah mengalir sendiri tanpa harus antre atau berharap sana sini. Praktis, tiap tahun, ratusan miliar rupiah akan mengalir deras di ACT. Ini seperti terpotret pada dana sosial untuk keluarga korban kecelakaan LionAir JT610 pada 2018 misalnya, dananya mencapai Rp138 miliar. Belum lagi dana CSR dari perusahaan-perusahaan “gajah” baik berlevel nasional maupun global.

Lantas, mengapa ACT bisa melakukan penyimpangan? Apakah selama ini tidak ada audit yang transparan terhadap pengelolaan keuangan dan kinerja lembaga filantropi di Indonesia? Sejauh mana pelaporan hasil audit ke publik, orang yang mengeluarkan zakat (muzakki), perusahaan, dan sebagainya?

Pertanyaan-pertanyaan di atas yang hingga kini belum sepenuhnya terjawab. Memang benar, pemerintah melalui Kementerian Sosial buru-buru menonaktifkan operasional ACT sebagai buntut terkuaknya kasus ini. Namun hal itu justru ini yang menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Mengapa pemerintah sampai kecolongan kasus ACT yang berlangsung cukup lama ini?

Bukankah sudah ada sederet regulasi untuk mengatur dan mengawasi dana-dana penggalangan dari masyarakat itu? Misalnya UU Nomor 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, Peraturan Pemerintah Nomor 29/1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Bahkan dalam level lebih teknis, ada juga peraturan daerah baik di level provinsi ataupun kabupaten/kota.

Mengapa petinggi ACT dengan mudah menetapkan besaran dana untuk operasional hingga 13,7% dari total dana terkumpul? Bukankah sudah tegas dan jelas dalam regulasi, maksimal dana operasional yang diizinkan hanya 10%? Kenapa langkah ACT ini seolah tak tersentuh? Bahkan petinggi ACT dengan bebas menetapkan persentase pengelolaan di atas aturan baku zakat yang mematok maksimal 1/8 dan atau 12,5%. Benarkah pengakuan mereka bahwa pemotongan itu baru dilakukan mulai 2017 hingga 2021? Pernyataan seorang petinggi ACT yang mengatakan potongan 13,7% itu di luar dari pengelolaan zakat sepertinya juga masih harus diuji kebenarannya. Ya, seberapa mampu ACT melakukan pemisahan dana zakat dan nonzakat?

Jika sejak awal regulasi itu dilaksanakan dengan baik, tentu celah penyimpangan bisa dihindari. Hal inilah yang perlu juga mendapat perhatian bersama. Kita sudah harus mengambil pelajaran berharga dari kasus ACT ini. Apakah dari sisi regulasi memang pasal-pasal yang ada sudah tidak adaptif dengan situasi zaman? Atau memang ini dimanfaatkan oleh oknum secara tersistem?
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More