Menuju Koalisi Substansial di Tahun Elektoral

Kamis, 07 Juli 2022 - 16:10 WIB
Ferry Kurnia Rizkiyansyah (Foto: Ist)
Ferry Kurnia Rizkiyansyah

Wakil Ketua Umum DPP Partai Perindo

TAHAPAN pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah dimulai. Pada 14 Juni lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan peluncuran Pemilu 2024. Peluncuran itu menandai pesta demokrasi lima tahunan secara resmi telah dimulai. Selain itu, hal ini juga sekaligus menepis keraguan dan kecemasan berbagai kalangan setelah beredar wacana di tingkat elite politik selama beberapa bulan lalu mengenai penundaan pemilu atas dalih menjaga pemulihan ekonomi akibat pandemi.

KPU juga telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Umum Tahun 2024. Seiring hal itu, saat ini partai-partai politik tengah sibuk melakukan sejumlah persiapan menuju pemilu 2024. Selain mempersiapkan diri untuk menghadapi tahapan verifikasi administrasi dan faktual, partai politik juga mulai terlihat aktif melakukan komunikasi politik penjajakan satu sama lain dalam rangka membangun koalisi untuk mengusung pasangan calon di pemilihan presiden mendatang.

Dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat disuguhkan dengan intensitas pertemuan antarelite partai politik dalam membangun koalisi. Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan bersepakat membentuk koalisi Indonesia bersatu. Partai NasDem, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat terlihat mantap untuk menjalin koalisi bersama. Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa saling menjajaki kemungkinan berkoalisi dengan mengajukan ketua umum mereka masing-masing sebagai paket pasangan calon di pemilihan presiden mendatang.



Adapun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai satu-satunya partai politik yang memenuhi ambang batas pencalonan presiden, baru akan mulai penjajakan koalisi dengan partai-partai politik pascarapat kerja nasional beberapa hari lalu. Koalisi merupakan hal lumrah untuk dilakukan dalam bangunan sistem pemerintahan di sejumlah negara.

Dalam konteks politik ketatanegaraan di Indonesia, hal itu semakin relevan mengingat aturan ambang batas pencalonan presiden yang mengharuskan setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden mendapatkan dukungan minimal 25% suara nasional atau 20% kursi di DPR RI. Keberadaan aturan ini kemudian menjadi salah satu pendorong utama di balik pembentukan koalisi partai-partai politik.

Karena itu, pembentukan koalisi partai politik selama ini memang lebih ditujukan bagi kepentingan untuk mengusung pasangan calon dalam pemilihan presiden. Hal ini tidak terbantahkan apabila meilihat sejarah pembentukan koalisi partai politik di Indonesia selama era pemilihan presiden secara langsung diberlakukan. Pembentukan koalisi partai politik sangat terkait erat dengan persoalan kandidasi.

Pembentukan koalisi partai politik di Indonesia dengan tujuan tersebut di atas kemungkinan cenderung bersifat pragmatis. Oleh karena pembentukan koalisi partai politik bukan hanya dalam rangka pelaksanaan ideologi tertentu, melainkan untuk memenangkan kontestasi elektoral dalam rangka memperoleh kekuasaan (office seeking).

Dengan karakter seperti itu, pembentukan koalisi partai politik akan cenderung lintas ideologi melibatkan kalangan-kalangan yang memiliki ideologi atau orientasi politik berbeda. Kondisi ini menunjukkan pembentukan koalisi di Indonesia sejak era pemilihan presiden secara langsung diberlakukan pada 2004 lalu hingga saat ini bukan ideologically driven atau juga atas dasar kesamaan platform kebijakan tertentu.

Padahal, bagi kalangan masyarakat saat ini tengah dihadapkan pada persoalan harga-harga kebutuhan pokok yang meroket seperti minyak goreng. Pertemuan-pertemuan dan komunikasi politik yang dilakukan oleh elite-elite partai politik diharapkan tidak sekadar menjadi sebuah pertemuan bersifat elitis, melainkan juga menjadi sebuah pintu harapan bagi masa depan lebih baik bagi kehidupan mereka. Apalagi kondisi pandemi selama dua tahun terakhir ini sangat melelahkan dan menguras energi masyarakat.

Karena itu, pertemuan-pertemuan antarelite partai politik yang tengah berlangsung saat ini tidak boleh berhenti pada hal-hal bersifat elitis dan simbolik. Lebih dari itu, masyarakat sangat menantikan gagasan dan program apa yang hendak diusung oleh koalisi partai-partai politik tersebut.

Kecenderungan koalisi di antara partai politik yang dianggap elitis tersebut tergambar dari penilaian publik dalam jajak pendapat litbang Kompas beberapa minggu lalu. Jajak pendapat yang dilakukan melalui telepon pada periode 8-10 Juni 2022 ini melibatkan 502 responden berusian 17 tahun dari 34 provinsi dengan proses penentuan sampel secara acak.

Hampir 54,0% responden menilai upaya partai politik membangun koalisi menuju pemilu cenderung lebih mengedepankan kepentingan partai politik. Kemudian 12,7% responden menilai upaya partai politik membangun koalisi menuju pemilu mengedepankan kepentingan elite. Sedangkan responden berpandangan koalisi partai politik mengutamakan kepentingan rakyat hanya dikatakan oleh 25,3% responden dan 8,4% responden lain mengatakan tidak tahu / tidak jawab.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More