Tak Proporsional, Perludem Kembali Uji Materi Ambang Batas Parlemen ke MK

Jum'at, 26 Juni 2020 - 07:42 WIB
Perludem kembali mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis 25 Juni 2020 untuk melakukan uji materi Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Perludem kembali mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis 25 Juni 2020 untuk melakukan uji materi Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebelumnya, Perludem juga melakukan uji materi terhadap undang-undang yang sama mengenai penataan ulang desain keserentakan pemilu eksekutif dan legislatif yang sudah diputus oleh Mahakmah Konstitusi melalui putusan No. 55/PUU-XVII/2019. (Baca juga: Penerapan Ambang Batas Parlemen 7 Persen Picu Banyak Persoalan)

"Kali ini Perludem melakukan uji materi terhadap ketentuan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen. Permohonan tersebut diserahkan pada pukul 11.15 ke Mahakmah Konstitusi dengan nomor tanda terima No. 1992/PAN-MK/VI/2020. Adapun empat jenis dokumen yang disampaikan antar lain, naskah permohonan, surat kuasa khusus, daftar alat bukti dan bukti fisik alat bukti," ujar Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil kepada SINDOnews, Jumat (26/6/2020).



Dia menjelaskan, ambang batas parlemen merupakan syarat minimal perolehan suara yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi. Sederhananya, ambang batas parlemen adalah syarat bagi partai politik untuk mendapatkan kursi legislatif. Menurutnya, ketentuan ini sudah berlaku sejak Pemilu 2009 sampai dengan Pemilu 2019 lalu dengan besaran yang berbeda-beda. (Baca juga:Ambang Batas Parlemen 7%, AHY: Ada Upaya Eliminasi Partai Papan Bawah)

Pada Pemilu 2009 besaran ambang batas parlemen adalah 2,5%, kemudian 3,5% di Pemilu 2014, dan 4% pada Pemilu 2019. Sejak 2009 hingga 2019 ambang batas parlemen hanya berlaku pada level Pemilu DPR saja. Sehingga setiap partai politik yang ingin mendapatkan kursi DPR harus memperoleh suara sah nasional sebesar persentase ambang batas parlemen yang berlaku. "Sedangkan bagi partai politik yang tidak memenuhi ambang batas tersebut tidak bisa diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi dan suaranya terbuang begitu saja (wasted vote)," katanya.

Dalam praktik selama ini, lanjut Fadli, penentuan angka ambang batas parlemen dalam undang-undang pemilu tidak pernah didasarkan pada basis perhitungan yang transparan, terbuka, dan sesuai dengan prinsp pemilu proporsional. Sedangkan, bagi Fadli, menjaga proporsionalitas atau keberimbangan hasil pemilu legislatif menjadi tujuan utama dari diajukannya uji materi mengenai ketentuan ambang batas parlemen di undang-undang pemilu oleh lembaganya ini. (Baca juga: Soal Usulan PT 5-7%, Parpol Non Parlemen Minta Partai Besar Tak Pongah)

Di sisi lain, kata Fadli, sebagai negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional di pemilu legislatif sudah sepatutnya proporsionalitas harus terpenuhi secara baik. Terlebih lagi Pasal 22E UUD NRI 1945 secara tegas menyebutkan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap llima tahun sekali,” ucapnya.

Namun keberadaan ambang batas parlemen dalam praktiknya sedikit banyak mengganggu prinsip adil utamanya keadilan dalam konversi suara ke kursi bagi partai politik selaku peserta pemilu dan juga bagi pemilih yang memberikan suaranya. "Untuk itu, dengan diajukannya uji materi ketentuan ambang batas parlemen ini ke Mahkamah Konstitusi harapannya dapat semakin mempertegas dan menjaga proporsionalitas pemilu di Indonesia kedepan," paparnya.

Meski demikian, sambung dia, uji materi terhadap ambang batas parlemen ini bukan berarti pihaknya tidak setuju pada penerapan ambang batas parlemen. Melainkan, menyoal besaran ambang batas yang basis penentuannya mengabaikan prinsip pemilu proporsional dan tiap pemilu cenderung mengalami peningkatan tanpa akuntabilitas metode penentuan yang rasional.

Sehingga dalam penentuan besaran ambang batas parlemen diperlukan metode penghitungan yang jelas dan mengedepankan proporsionalitas pemilu. Misalnya, Tageepara (2002), merumuskan metode penghitungan besaran ambang batas efektif (effective threshold) yang dapat dijadikan rujukan dalam penentuan besaran ambang batas parlemen. "Metode ini melibatkan tiga variabel utama di antarnya: rata-rata besaran alokasi kursi per-daerah pemilihan (district magnitude), jumlah daerah pemilihan, jumlah kursi parlemen," beber Fadli.
(cip)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More