Menjaga Utang Negara Tetap Prudent dan Produktif
Rabu, 22 Juni 2022 - 16:24 WIB
Prinsip kedua adalah utang sesuai kemampuan. Apabila kita mencermati perkembangan pengelolaan fiskal sebelum pandemi, pengelolaan fiskal sangat prudent dan sustainable. Hal ini terefleksi dari penerimaan perpajakan rata-rata tumbuh sebesar 10,2% PDB pada 5 tahun terakhir sebelum pandemi, keseimbangan primer sudah bergerak menuju positif, defisit APBN sebesar 2,3% PDB, dan rasio utang terkendali di level 29,04% PDB.
Berdasarkan perkembangan terkini, outstanding utang pemerintah per Mei 2022 adalah sebesar Rp7.002,2 triliun atau 38,9% PDB, dengan komposisi 71% dalam rupiah dan 29% dalam bentuk valas. Capaian tersebut jauh lebih rendah dari batas maksimal yang ditetapkan di fiscal rule, yaitu rasio utang sebesar 60% PDB. Apabila dibandingkan beberapa negara peers, rasio utang Indonesia juga masih relatif rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa utang Indonesia masih solvable dan tidak akan mengganggu kesinambungan fiskal.
Prinsip ketiga adalah utang untuk kegiatan produktif. Berdasarkan konsep golden rule, apabila utang digunakan untuk investasi, maka utang dapat menjadi instrumen untuk mengakselerasi pencapaian target pembangunan. Utang untuk investasi akan mendorong produktivitas utang lebih tinggi dari risikonya, hal ini berarti risiko utang terkendali dan sustainable. Hal ini yang terus dipegang teguh oleh pemerintah. Pada periode 2015-2021 terjadi penambahan utang sebesar Rp4.305,34 triliun, sementara itu pada periode yang sama kebutuhan anggaran produktif (infrastruktur, pendidikan dan kesehatan) mencapai Rp6.382,3 triliun.
Artinya, pemanfaatan utang diarahkan untuk kegiatan produktif (human capital dan physical capital) lebih besar dibanding penambahan utang.
Ketiga prinsip di atas nyatanya menjadi salah satu kunci keberhasilan pemerintah keluar dari krisis pandemi. Tentu masih lekat di ingatan bahwa sepanjang pandemi Covid-19 pemerintah menempuh kebijakan fiskal extraordinary. Konsekuensinya, defisit melebar mencapai 6,14% PDB dan diikuti peningkatan rasio utang mencapai 39,39% PDB pada 2020. Hal ini terutama dipengaruhi oleh kurang optimalnya pendapatan negara, seiring dengan pelemahan kinerja perekonomian dan digunakannya berbagai insentif perpajakan sebagai instrumen stimulus fiskal dimasa pandemi.
Sementara ini belanja negara justru meningkat untuk mendukung penguatan countercyclical dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Namun demikian, langkah pelebaran defisit dan penambahan utang tersebut justru mampu menahan pemburukan ekonomi yang semakin dalam. Pertumbuhan ekonomi walaupun terkontraksi -2,07% di tahun 2020 dapat kembali tumbuh positif 3,7% di tahun 2021, atau lebih baik dibanding mayoritas negara peers. Berbagai indikator kesejahteraan Indonesia juga mengalami perbaikan seiring implementasi kebijakan fiskal. Kemiskinan Indonesia berhasil mencapai level satu digit, yaitu 9,71% per September 2021, atau turun dari 10,19% pada September 2020. Selanjutnya, tingkat pengangguran juga mengalami penurunan sebesar 0,67 juta orang, ke level 6,5% di Agustus 2021 setelah sebelumnya mencapai 7,1% pada Agustus 2021.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, kita dapat belajar bahwa utang yang dikelola dengan manageable dapat menjadi instrumen penting bagi perekonomian, terutama untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Namun demikian, pemerintah juga menyadari bahwa pilihan kebijakan utang membawa konsekuensi risiko. Untuk itu, aspek prudent dan sustainable tetap menjadi pertimbangan utama Pemerintah ketika mengambil pembiayaan yang bersumber dari utang. Di samping itu, pemerintah juga telah mempersiapkan strategi keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah-panjang dengan melakukan langkah konsolidasi fiskal yang disertai reformasi fiskal.
(Pandangan dan pendapat dalam artikel ini sepenuhnya mencerminkan pandangan dan pendapat penulis, tidak mewakili institusi)
Berdasarkan perkembangan terkini, outstanding utang pemerintah per Mei 2022 adalah sebesar Rp7.002,2 triliun atau 38,9% PDB, dengan komposisi 71% dalam rupiah dan 29% dalam bentuk valas. Capaian tersebut jauh lebih rendah dari batas maksimal yang ditetapkan di fiscal rule, yaitu rasio utang sebesar 60% PDB. Apabila dibandingkan beberapa negara peers, rasio utang Indonesia juga masih relatif rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa utang Indonesia masih solvable dan tidak akan mengganggu kesinambungan fiskal.
Prinsip ketiga adalah utang untuk kegiatan produktif. Berdasarkan konsep golden rule, apabila utang digunakan untuk investasi, maka utang dapat menjadi instrumen untuk mengakselerasi pencapaian target pembangunan. Utang untuk investasi akan mendorong produktivitas utang lebih tinggi dari risikonya, hal ini berarti risiko utang terkendali dan sustainable. Hal ini yang terus dipegang teguh oleh pemerintah. Pada periode 2015-2021 terjadi penambahan utang sebesar Rp4.305,34 triliun, sementara itu pada periode yang sama kebutuhan anggaran produktif (infrastruktur, pendidikan dan kesehatan) mencapai Rp6.382,3 triliun.
Artinya, pemanfaatan utang diarahkan untuk kegiatan produktif (human capital dan physical capital) lebih besar dibanding penambahan utang.
Ketiga prinsip di atas nyatanya menjadi salah satu kunci keberhasilan pemerintah keluar dari krisis pandemi. Tentu masih lekat di ingatan bahwa sepanjang pandemi Covid-19 pemerintah menempuh kebijakan fiskal extraordinary. Konsekuensinya, defisit melebar mencapai 6,14% PDB dan diikuti peningkatan rasio utang mencapai 39,39% PDB pada 2020. Hal ini terutama dipengaruhi oleh kurang optimalnya pendapatan negara, seiring dengan pelemahan kinerja perekonomian dan digunakannya berbagai insentif perpajakan sebagai instrumen stimulus fiskal dimasa pandemi.
Sementara ini belanja negara justru meningkat untuk mendukung penguatan countercyclical dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Namun demikian, langkah pelebaran defisit dan penambahan utang tersebut justru mampu menahan pemburukan ekonomi yang semakin dalam. Pertumbuhan ekonomi walaupun terkontraksi -2,07% di tahun 2020 dapat kembali tumbuh positif 3,7% di tahun 2021, atau lebih baik dibanding mayoritas negara peers. Berbagai indikator kesejahteraan Indonesia juga mengalami perbaikan seiring implementasi kebijakan fiskal. Kemiskinan Indonesia berhasil mencapai level satu digit, yaitu 9,71% per September 2021, atau turun dari 10,19% pada September 2020. Selanjutnya, tingkat pengangguran juga mengalami penurunan sebesar 0,67 juta orang, ke level 6,5% di Agustus 2021 setelah sebelumnya mencapai 7,1% pada Agustus 2021.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, kita dapat belajar bahwa utang yang dikelola dengan manageable dapat menjadi instrumen penting bagi perekonomian, terutama untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Namun demikian, pemerintah juga menyadari bahwa pilihan kebijakan utang membawa konsekuensi risiko. Untuk itu, aspek prudent dan sustainable tetap menjadi pertimbangan utama Pemerintah ketika mengambil pembiayaan yang bersumber dari utang. Di samping itu, pemerintah juga telah mempersiapkan strategi keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah-panjang dengan melakukan langkah konsolidasi fiskal yang disertai reformasi fiskal.
(Pandangan dan pendapat dalam artikel ini sepenuhnya mencerminkan pandangan dan pendapat penulis, tidak mewakili institusi)
(bmm)
tulis komentar anda