Lemahnya Peran Struktur Hukum
Kamis, 16 Juni 2022 - 12:15 WIB
Ketiga, budaya hukum (legal culture), yaitu hubungan antara perilaku sosial dengan hukum, guna membentuk karakter masyarakat yang baik dalam melaksanakan prinsip dan nilai yang terkandung di peraturan perundang-undangan (norma hukum).
Peran struktur hukum yang baik akan mendukung terciptanya substansi hukum dan budaya hukum yang baik. Namun dalam pelaksanaannya tampak struktur hukum belum bekerja dengan baik, dan ini bisa dilihat dari beberapa regulasi yang dibuat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tidak dikenalnya metode Omnibus Law di UU PPP dan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pembahasannya mengonfirmas struktur hukum yaitu Presiden (beserta para pembantunya) dan DPR tidak berperan dengan baik dalam membuat UU tersebut. Putusan MK direspons Pemerintah dan DPR hanya sebatas merevisi UU PPP, namun tidak mengajak masyarakat memberikan masukan untuk membahas kembali UU Cipta Kerja.
Polemik lahirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 yang ingin mengembalikan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai Pasal 35 dan Pasal 37 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), seharusnya bisa dihindari bila Kementerian Ketenagakerjaan terlebih dahulu menyosialisasi program Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) dan memberlakukan Permenaker Nomor 2 setahun setelah ditandatangani.
Pada akhirnya Pemerintah menerbitkan Permenaker Nomor 4 Tahun 2022 sebagai revisi dari Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Isi Permenaker Nomor 4 jelas bertentangan dengan Pasal 35 dan Pasal 37 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan pertentangan ini melanggar hierarki hukum yang ada di UU PPP. Seharusnya Menteri Ketenagakerjaan tetap mematuhi UU PPP sehingga program Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dilaksanakan sesuai filosofinya yaitu mendukung kesejahteraan pekerja yang memasuki masa pensiun.
Lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 yang memuat aturan vaksinasi individu berbayar melalui skema Vaksinasi Gotong Royong menimbulkan protes masyarakat. Karena diprotes akhirnya Permenkes Nomor 19 dibatalkan. Ini juga merupakan contoh buruknya proses pembentukan peraturan perundangan yang tidak melibatkan masyarakat. Seharusnya Menteri Kesehatan meminta masukan dari masyarakat sebelum menandatangani Permenkes tersebut, sehingga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat tentang vaksinasi.
Penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 yang berlaku pafa 1 Februari 2022, ternyata tidak terimplementasi di masyarakat. Minyak goreng menjadi langka dan harga minyak goreng curah dijual lebih tinggi dari HET Rp11.500, harga minyak goreng kemasan sederhana di atas Rp13.500 per liter, dan harga minyak goreng kemasan premium di atas Rp. 14.000 per liter.
Pengawasan dan penegakan hukum mengawal HET minyak goreng yang menjadi tugas polisi, pengawasan di Kementerian Perdagangan, dan penegak hukum lainnya, tidak berjalan dengan baik sehingga masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng sesuai HET. Pada akhirnya Permendag Nomor 6 ini dicabut, dan harga minyak goreng naik mengikuti mekanisme pasar, lebih tinggi dari HET yang ditentukan.
Peraturan-peraturan menteri di atas dibuat dengan instan dan dibatalkan juga dengan mudah. Masyarakat diajak berpolemik pada saat peraturan menteri tersebut sudah jadi, bukan pada saat proses pembuatannya. Ini merupakan contoh buruk dalam membangun budaya hukum di Indonesia.
Proses pembuatan UU Cipta Kerja dan peraturan menteri yang menimbulkan polemik harus menjadi pembelajaran bagi kalangan struktur hukum kita dalam membuat peraturan perundangan ke depan, termasuk peran pengawasan dan penegakan hukum dalam mengawal berjalannya regulasi yang ada.
Peran struktur hukum yang baik akan mendukung terciptanya substansi hukum dan budaya hukum yang baik. Namun dalam pelaksanaannya tampak struktur hukum belum bekerja dengan baik, dan ini bisa dilihat dari beberapa regulasi yang dibuat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tidak dikenalnya metode Omnibus Law di UU PPP dan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pembahasannya mengonfirmas struktur hukum yaitu Presiden (beserta para pembantunya) dan DPR tidak berperan dengan baik dalam membuat UU tersebut. Putusan MK direspons Pemerintah dan DPR hanya sebatas merevisi UU PPP, namun tidak mengajak masyarakat memberikan masukan untuk membahas kembali UU Cipta Kerja.
Polemik lahirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 yang ingin mengembalikan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai Pasal 35 dan Pasal 37 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), seharusnya bisa dihindari bila Kementerian Ketenagakerjaan terlebih dahulu menyosialisasi program Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) dan memberlakukan Permenaker Nomor 2 setahun setelah ditandatangani.
Pada akhirnya Pemerintah menerbitkan Permenaker Nomor 4 Tahun 2022 sebagai revisi dari Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Isi Permenaker Nomor 4 jelas bertentangan dengan Pasal 35 dan Pasal 37 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan pertentangan ini melanggar hierarki hukum yang ada di UU PPP. Seharusnya Menteri Ketenagakerjaan tetap mematuhi UU PPP sehingga program Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dilaksanakan sesuai filosofinya yaitu mendukung kesejahteraan pekerja yang memasuki masa pensiun.
Lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 yang memuat aturan vaksinasi individu berbayar melalui skema Vaksinasi Gotong Royong menimbulkan protes masyarakat. Karena diprotes akhirnya Permenkes Nomor 19 dibatalkan. Ini juga merupakan contoh buruknya proses pembentukan peraturan perundangan yang tidak melibatkan masyarakat. Seharusnya Menteri Kesehatan meminta masukan dari masyarakat sebelum menandatangani Permenkes tersebut, sehingga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat tentang vaksinasi.
Penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 yang berlaku pafa 1 Februari 2022, ternyata tidak terimplementasi di masyarakat. Minyak goreng menjadi langka dan harga minyak goreng curah dijual lebih tinggi dari HET Rp11.500, harga minyak goreng kemasan sederhana di atas Rp13.500 per liter, dan harga minyak goreng kemasan premium di atas Rp. 14.000 per liter.
Pengawasan dan penegakan hukum mengawal HET minyak goreng yang menjadi tugas polisi, pengawasan di Kementerian Perdagangan, dan penegak hukum lainnya, tidak berjalan dengan baik sehingga masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng sesuai HET. Pada akhirnya Permendag Nomor 6 ini dicabut, dan harga minyak goreng naik mengikuti mekanisme pasar, lebih tinggi dari HET yang ditentukan.
Peraturan-peraturan menteri di atas dibuat dengan instan dan dibatalkan juga dengan mudah. Masyarakat diajak berpolemik pada saat peraturan menteri tersebut sudah jadi, bukan pada saat proses pembuatannya. Ini merupakan contoh buruk dalam membangun budaya hukum di Indonesia.
Proses pembuatan UU Cipta Kerja dan peraturan menteri yang menimbulkan polemik harus menjadi pembelajaran bagi kalangan struktur hukum kita dalam membuat peraturan perundangan ke depan, termasuk peran pengawasan dan penegakan hukum dalam mengawal berjalannya regulasi yang ada.
tulis komentar anda