Rabu Pahing Kembali Dipilih Jokowi untuk Pelantikan Menteri, Ini Makna di Baliknya
Rabu, 15 Juni 2022 - 15:15 WIB
Sedangkan watake dina (sifat hari) Pahing, digambarkan demen pradah yang artinya suka menyelesaikan tugas atau pekerjaan secara ikhlas. Sehingga ketika digabungkan Rabu Pahing, maknanya menjadi lebih dominan baik.
Sifat dominan baik pada hari Rabu ini juga diungkapkan oleh pengajar Sastra Jawa Universitas Negeri Malang (UM), Teguh Tri Wahyudi. Dalam tradisi Jawa, menurutnya Rabu Pahing itu karakternya lebih kuat ke air. "Mungkin saja dipilih Rabu Pahing karena air memiliki sifat yang banyak dibutuhkan manusia," ungkapnya.
Peran penting air dalam kehidupan manusia, menurut Teguh, juga ditunjukkan dalam pepatah Jawa, "Wong Urip Mung Mampir Ngombe" artinya manusia hidup hanya untuk singgah sejenak untuk minum, dan melanjutkan perjalanan panjang yang kekal abadi.
Air sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup, sebagai sumber kehidupan. Air yang tenang tentunya juga sangat mendamaikan. Namun, jangan sampai keseimbangan alam itu diganggu, pastinya air bisa juga menjadi petaka.
Pemilihan hari dalam setiap kegiatan penting, diakui Teguh, telah menjadi tradisi yang mengakar kuat di tengah masyarakat. "Bahkan, dalam setiap membuat karya sastra, para pujangga di masa lampau, selalu memilih hari khusus dan dibarengi dengan puasa atau tirakat," tuturnya.
Tujuan dari semua itu, menurutnya, adalah untuk mengumpulkan energi, menyelaraskan hidup dengan alam semesta, sehingga apa yang dikerjakan atau yang ditulis tidak asal saja. Dicontohkan Kitab Pararaton dan Negarakertagama yang hingga kini masih abadi, karena ditulis oleh pujangga yang mampu menyatukan energi semesta.
Demikian juga dengan penobatan raja atau pejabat penting. Dalam tradisi Jawa, diakui Teguh, selalu dihitung harinya terlebih dahulu, untuk mencari yang paling baik dari yang baik. "Semua hari itu baik, tetapi karena ini ada kekhususan, maka dicarilah yang paling baik," katanya.
Penobatan raja-raja baik di Yogyakarta maupun Surakarta, atau bahkan sejak era Mataram kuno, Singasari, hingga Majapahit, dipastikan akan memilih hari yang paling baik. Di mana, energi semesta mampu menyatu dalam kekuatan yang baik.
Raja atau pejabat yang dilantik, menurut Teguh, memiliki hubungan yang kekal dengan hajat hidup orang banyak. "Pejabat itu dilantik sebagai pemimpin yang menjadi panutan masyarakat, sekaligus menjadi pelayan masyarakat. Selain itu, pemimpin itu juga memiliki hubungan dengan sang pencipta. Tentunya dalam menjalankan kepemimpinan, para pemimpin membutuhkan dukungan energi dari alam semesta," katanya.
Sebagai manusia apalagi pemimpin masyarakat, menurut Teguh, memiliki tanggung jawab untuk "Memayu Hanuning Bawana". Apabila diartikan secara harafiah dalam Bahasa Indonesia, memiliki arti memperindah keindahan dunia.
Sifat dominan baik pada hari Rabu ini juga diungkapkan oleh pengajar Sastra Jawa Universitas Negeri Malang (UM), Teguh Tri Wahyudi. Dalam tradisi Jawa, menurutnya Rabu Pahing itu karakternya lebih kuat ke air. "Mungkin saja dipilih Rabu Pahing karena air memiliki sifat yang banyak dibutuhkan manusia," ungkapnya.
Peran penting air dalam kehidupan manusia, menurut Teguh, juga ditunjukkan dalam pepatah Jawa, "Wong Urip Mung Mampir Ngombe" artinya manusia hidup hanya untuk singgah sejenak untuk minum, dan melanjutkan perjalanan panjang yang kekal abadi.
Air sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup, sebagai sumber kehidupan. Air yang tenang tentunya juga sangat mendamaikan. Namun, jangan sampai keseimbangan alam itu diganggu, pastinya air bisa juga menjadi petaka.
Pemilihan hari dalam setiap kegiatan penting, diakui Teguh, telah menjadi tradisi yang mengakar kuat di tengah masyarakat. "Bahkan, dalam setiap membuat karya sastra, para pujangga di masa lampau, selalu memilih hari khusus dan dibarengi dengan puasa atau tirakat," tuturnya.
Tujuan dari semua itu, menurutnya, adalah untuk mengumpulkan energi, menyelaraskan hidup dengan alam semesta, sehingga apa yang dikerjakan atau yang ditulis tidak asal saja. Dicontohkan Kitab Pararaton dan Negarakertagama yang hingga kini masih abadi, karena ditulis oleh pujangga yang mampu menyatukan energi semesta.
Demikian juga dengan penobatan raja atau pejabat penting. Dalam tradisi Jawa, diakui Teguh, selalu dihitung harinya terlebih dahulu, untuk mencari yang paling baik dari yang baik. "Semua hari itu baik, tetapi karena ini ada kekhususan, maka dicarilah yang paling baik," katanya.
Penobatan raja-raja baik di Yogyakarta maupun Surakarta, atau bahkan sejak era Mataram kuno, Singasari, hingga Majapahit, dipastikan akan memilih hari yang paling baik. Di mana, energi semesta mampu menyatu dalam kekuatan yang baik.
Raja atau pejabat yang dilantik, menurut Teguh, memiliki hubungan yang kekal dengan hajat hidup orang banyak. "Pejabat itu dilantik sebagai pemimpin yang menjadi panutan masyarakat, sekaligus menjadi pelayan masyarakat. Selain itu, pemimpin itu juga memiliki hubungan dengan sang pencipta. Tentunya dalam menjalankan kepemimpinan, para pemimpin membutuhkan dukungan energi dari alam semesta," katanya.
Sebagai manusia apalagi pemimpin masyarakat, menurut Teguh, memiliki tanggung jawab untuk "Memayu Hanuning Bawana". Apabila diartikan secara harafiah dalam Bahasa Indonesia, memiliki arti memperindah keindahan dunia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda